Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengancam akan memberlakukan darurat perang militer apabila aparat hukum melakukan intervensi terhadap perang narkoba yang kini sedang dilakukan.
Perang melawan narkoba yang dilancarkan sejak ia disumpah sebagai presiden -- yang dinilai sebagian orang brutal -- sejauh ini telah merenggut lebih dari 500 orang tewas.
Baca Juga
"Kalau ini akan berlanjut, dan kalau kalian sampai mencoba menghentikan saya, boleh-boleh saja. Itu berarti kalian memaksa saya memberlakukan darurat militer?" kata Duterte, marah dalam sebuah pernyataan seperti dilansir dari Aljazeera, Rabu (10/8/2016).
Advertisement
"Banyak warga Filipina yang tewas. Tapi, saya menduga lebih banyak perempuan diperkosa, pria tewas, anak-anak diperkosa. Semua oleh para pecandu narkoba," lanjut Duterte. "Tolong jangan ciptakan konfrontasi, atau kita semua akan kalah."
Reaksi Duterte tersebut dilakukan setelah menerima surat dari Ketua Mahkamah Agung, Lourdes Sereno yang mempertanyakan keputusan presiden mengeluarkan daftar nama aparat hukum yang diduga terkait dengan perdagangan obat bius.
Ketua Mahkamah Agung itu mengatakan, hanya pengadilan yang berhak mengeluarkan nama-nama hakim yang diduga terkait perbuatan tercela.
Dalam surat itu, Sereno menulis, kendati bahaya narkoba telah merusak kehidupan warga Filipina dan keluarga, namun proses hukum seharusnya diberlakukan sebelum membeberkan nama para hakim ke publik.
Ketua MA juga juga mengatakan bahwa para hakim itu juga menjadi target para kriminal termasuk bos obat bius, di mana 26 pengadil dilaporkan hilang semenjak 1999.
Duterte berkali-kali mengatakan ia punya tugas mulia untuk melindung warga Filipina dari narkoba dan politik yang dikuasai pengaruh obat-obatan haram.
Selain hakim, Duterte juga menyebut pejabat termasuk walikota dan anggota kongres. "Saya tak peduli soal hak asasi manusia. Percayalah," kata dia, bergeming terhadap kritik yang ditujukan kepadanya.
Filipina pernah memiliki sejarah pemerintahan di bawah darurat militer. Pada tahun 1972, mantan Presiden Ferdinand Marcos pernah mendeklarasikan martial law, yang ternyata memberi jalan kepadanya untuk menjadi diktaktor.
Darurat militer berakhir pada 1986 setelah sebuah revolusi digelar: People Power.
Namun, menurut pengamat militer Richard Javad Heydarian, Duterte akan mengalami banyak kesulitan andai ingin menerapkan darurat militer dibandingkan pendahulunya.
"Marcos sudah memerintah selama 7 tahun dan mengontrol militer. Semua jenderal loyal terhadapnya. Sedangkan Duterte baru 40 hari. Apakah dia yakin akan didukung militer?" tutup Heydarian.Â