Liputan6.com, Yerevan - Dari balik jendela tempat tinggalnya, Radif Shamoyan hanya dapat menatap bangku di bawah pohon mulberi yang setiap malam menjadi tempat berkumpul warga untuk sekadar bertukar cerita.
Shamoyan ingat, terakhir kali ia berkumpul bersama para tetangganya di bangku itu sekitar 10 tahun lalu. Tepatnya, sebelum ia menjadi "tahanan" rumah.
Baca Juga
Kecelakaan membuatnya tak lagi dapat berjalan sejak usia 19 tahun. Namun ia mengaku, mampu berkeliling dengan kursi roda jika "diizinkan" keluar dari flatnya.
Advertisement
Lantas apa yang menyebabkan perempuan berusia 61 tahun itu tak bisa menghirup udara luar? Seperti yang dilansir The Guardian, Jumat (12/7/2016), tetangga Shamoyan ternyata telah membangun ruang penyimpanan di dekat pintu flat. Akibatnya, ia tidak mungkin lagi untuk keluar.Â
Pernah Shamoyan membawa kasus ini ke ranah hukum. Namun usahanya berakhir dengan kegagalan karena ia tak mampu membayar pengacara. Pengadilan memutuskan tidak terdapat cukup bukti untuk meloloskan kasusnya.
"Saya terpaksa meminta bantuan orang lain untuk belanja segala kebutuhan," ucap Shamoyan.
"Tidak mudah minta tolong dari orang lain. Saya sebenarnya melakukan semuanya sendiri jika dapat keluar dari flat ini," ujarnya.
Tak puas dengan putusan pengadilan, ia pun mengajukan banding. Namun itu pun terpaksa diberhentikan karena permohonannya tidak diajukan oleh advokat berlisensi.
"Ketika saya mendengar keputusan pengadilan, saya benar-benar kehilangan harapan. Saya berharap hakim akan menempatkan dirinya pada posisi saya, sesaat saja," ungkap perempuan itu.
Bagi sebagian orang, masalah yang dialami Shamoyan ini mungkin terdengar unik. Namun di sisi lain, ini menunjukkan kegagalan pemerintah Armenia untuk menyediakan fasilitas memadai mengingat terdapat 200.000 orang penyandang disabilitas di negeri itu.
Survei terbaru yang dilakukan kelompok advokat Agat menunjukkan, delapan persen perempuan Armenia yang merupakan penyandang disabilitas kurang lebih bernasib sama seperti Shamoyan.
Sementara laporan Unicef menyebutkan, pada 2012 setidaknya terdapat 200 anak perempuan difabel yang tidak pernah meninggalkan rumah atau mereka hanya keluar untuk mengunjungi dokter.
Negara itu sebenarnya sudah meratifikasi konvensi PBB tentang hak-hak penyandang cacat. Meski demikian menurut para aktivis, pemerintah telah gagal melaksanakan rekomendasinya.
"Mungkin mereka menilai bahwa menyediakan fasilitas bukan tanggung jawab mereka. Mereka selalu beralasan tidak mampu karena persoalan keuangan, sementara di sisi lain selalu ada cara untuk membeli mobil baru milik pemerintah atau meningkatkan fasilitas di kantor pejabat," ujar Presiden Koalisi Advokasi Disabilitas Nasional Armenia, Zaruhi Batoyan.
Meski upaya hukumnya ditolak di dalam negeri, ternyata Shamoyan yang kondisi kesehatannya terus memburuk ini belum menyerah. Kini ia membawa kasusnya ke Pengadilan HAM Eropa.
Armenia akan menggelar pemilu tahun depan dan perempuan itu percaya bahwa pemerintahan baru diperlukan untuk meningkatkan fasilitas bagi penyandang disabilitas di negara itu.