Liputan6.com, Jakarta - Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa masih terus dilanjutkan oleh para pahlawan bangsa. Kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh penjajahan Belanda, masih membekas pada masa pemerintahan orde lama hingga orde baru.
Perjuangan untuk mendapatkan persamaan hak-hak pun berlangsung. Para pejuang dengan gigih memberantas ketidakadilan, yang mengakibatkan kini -- setelah 71 tahun -- warga Indonesia dapat hidup berdemokrasi.Â
Advertisement
Baca Juga
Di balik perjuangan membela hak asasi manusia pahlawan nasional, ada seorang asing yang ikut memperjuangkan hak warga Indonesia. Dia adalah Johannes Cornelis Princen, seorang militer Belanda yang membelot ke Indonesia, setelah melihat ketidakadilan yang dialami warga.Â
Di Indonesia, ia bergabung dalam tentara kerajaan Hindia Belanda atau KNIL. Saat itulah Poncke mulai mengendus ketidakadilan yang dilakukan Belanda kepada rakyat Indonesia. Pemberontakannya pun dimulai.
"Ia serdadu Belanda yg dikirimkan ke Indonesia dalam rangka menegakkan kembali Hindia Belanda. Namun kondisi politik dan sosial di Indonesia telah mengubah pandangannya terhadap kaum pribumi yang disebut kaum ekstremis oleh pemerintahan Belanda. Akhirnya ia meninggalkan kesatuannya dan ikut bergabung dengan para pejuang Indonesia, "Â kata seorang sejarawan Indonesia, Dr. Mohammad Iskandar, S.S., M.Hum kepada Liputan6.com.
Seperti yang dikatakan Iskandar, Princen atau yang lebih akrab dipanggil Poncke, merupakan salah seorang 'bule' yang ikut berjasa dalam penyamaan hak-hak warga Indonesia.Â
Poncke yang lahir di Den Haag, Belanda, pada 21 November 1925, memilih untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI), antara 1950-1953, setelah melihat ketidakadilan yang dirasakan warga dan ikut berjuang bersama pahlawan RI.
Serdadu Poncke yang berada di bawah bendera Belanda, muak menyaksikan sikap yang dilakukan oleh negaranya sendiri--walaupun saat itu Indonesia telah merdeka. Pada 26 September 1948, mereka memutuskan meninggalkan KNIL di Jakarta dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Saat Belanda menyerang Yogyakarta pada 1949, ia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta.
Poncke pun bergabung dalam longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Saat bergabung dengan divisi Siliwangi, ia menikahi perempuan Sunda. Malang, belahan jiwanya itu dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit pada Agustus 1949.
Pada 1956, Poncke menjadi politikus populer Indonesia dan merupakan anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Namun, saat itu ia kembali menyaksikan penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi dan kecewa dengan iklim politik. Poncke pun keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan yang otoriter dengan kesewenang-wenangan pihak militer.
Akibat sikapnya yang dinilai terlalu vokal, Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958. Setelah bebas pada awal tahun 1960-an, ia mulai aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi.
Peraih Bintang Gerilya ini kembali ditahan pada 1962 oleh pemerintah Soekarno karena karena aktivitasnya yang dianggap kritis.
Setelah resmi menjadi bagian dari Indonesia, ia bahkan menjadi mualaf, dengan alasan tidak ingin tanggung-tanggung menjadi 'Indonesia' -- yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
"Aku ingin menjadi bagian dari negara ini. Aku melakukan yang warga lainnya lakukan," kata Princen dalam suatu wawancara.Â
"Dia (Princen) salah satu dari sedikit penjajah yang membelok ke RI dan ikut berjuang. Princen bahkan dicekal di Belanda, dilarang menggunakan nama 'Princen' lagi. Dia lebih memilih menjadi WNI dan kemudian menikah dengan Sri Mulyati," lanjut Iskandar.
Beberapa tahun setelah itu, suami Sri Mulyati itu menunaikan ibadah ke Mekah dan mendapatkan gelar Haji. Kini, pria pejuang HAM itu lebih dikenal dengan sebutan Haji Johannes Cornelis Princen.Â
Perjuangan Tanpa Henti
Perlawanan Ponce Melawan Ketidakadilan Rezim Orde Baru
Kekuasaan Presiden Soekarno mulai melemah pada 1966. Orde Lama pun digantikan dengan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Saat transisi kepemimpinan inilah Poncke akhirnya bebas dari tahanan.
Beberapa kali menyaksikan ketidakadilan, keyakinan Poncke untuk menegakkan keadilan dan penegakan HAM akhirnya diwujudkannya dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia pada 1966.
Poncke kembali dikecewakan karena melihat ketidakadilan di rezim yang dipimpin oleh Soeharto. Ia dicap 'komunis' karena membela korban-korban pelanggaran HAM dan pembantaian yang terdiri dari bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Orang-orang pada masa itu sepertinya lupa, bahwa pria itu sebelumnya juga ikut menentang kekuasaan yang didominasi komunis pada masa orde lama.
Pada 1968-1969, Poncke mengungkap sejumlah fakta dan memprotes pembantaian masal PKI di Purwodadi Jawa Tengah lewat sebuah investigasi. Kritik itu membuat penguasa Rezim Orde Baru yang baru menjabat selama dua tahun berang.
Ia juga menyarankan pemerintah membentuk tim independen untuk memeriksa laporan yang ia siarkan ke beberapa media nasional. Hal ini dilakukannya agar masyarakat dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada kasus di Jawa Tengah tersebut.
Poncke dan rekan-rekannya mendirikan sebuah lembaga yang mencoba mengatasi trauma para korban PKI yang ia namakan Pusat Pemulihan Hidup Baru.
Organisasi yang dibentuk oleh kakak Keis Princen itu akhirnya mulai menyebar luas. Namun, bersamaan dengan perkembangan tersebut, Poncke semakin sering menyaksikan ketidakadilan. Akibatnya, pada 1970 Poncke menjadi salah satu orang yang mempelopori berdirinya Lembaga Bantuan Hukum.
Tidak berhenti sampai di situ, Princen kembali terlibat dalam demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, pada 1974.
Pembangunan tersebut dinilai tidak tepat dilakukan pada masa itu, menyangkut kondisi sosial -ekonomi yang masih belum stabil. Akibat aksinya tersebut, Poncke kembali masuk bui selama kurang lebih dua tahun, 1974-1976.
Perjuangan Hingga Akhir Hayat
Sejak bebas dari bui pada 1976, Princen tidak pernah lagi ditahan atau pun dipenjara. Namun, ayah 4 anak itu masih sering diinterogasi untuk dimintai keterangan, terkait beberapa kasus.
Salah satunya adalah Pembelaan HAM di Timor-Timur (sekarang Timor Leste), terkait kasus pembantaian Santa Cruz dan perlindungan mahasiswa Timor-Timur.
Pada 1980, pembelaan HAM Princen semakin ketat. Dia mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Tidak hanya itu, ia juga aktif sebagai seorang pengacara, membela korban pembantaian Tanjung Priok, pada 1984. Dia bahkan juga membela puluhan mahasiswa ITB yang ditahan, karena mendemo Menteri Dalam Negeri Rudini, pada 1989.
Perjuangan Poncke terus berlanjut, walaupun dia harus menggunakan kursi roda. Hingga pada tahun 2002, pria itu dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien Award, sebagai tokoh HAM.
Haji Johannes Cornelis Princen akhirnya menutup mata pada 22 Februari 2002, akibat penyakit yang dideritanya. Ia wafat dan dikenang sebagai seorang tokoh pembela HAM yang dihormati tokoh berbagai kalangan.
Â
Advertisement