Sukses

Jihad Selfie, Menguak Pola Rekrutmen Teroris Melalui Media Sosial

Film Jihad Selfie mengungkap terjadi pergeseran perekrutan oleh para kelompok teroris dari jemaah pengajian kepada anak muda cerdas.

Liputan6.com, Jakarta - Duar... bom meledak di kawasan Sarinah, Jakarta.

Rekaman peristiwa serangan Jakarta pada 14 Januari 2016 mengawali adegan demi adegan dalam film dokumenter berjudul, Jihad Selfie, karya Noor Huda Ismail. Berdurasi kurang lebih 49 menit, film ini mengisahkan tentang pola perekrutan yang dilakukan kelompok terorisme dunia khususnya, ISIS.

Data yang dimiliki Huda menguak, saat ini terdapat sekitar 300 warga Australia terbang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Sementara di Indonesia terdapat 500 orang dan di Malaysia ada 150-an.

Terdapat dua pola rekrutmen menurut Huda. Pertama ia menyebutnya pola lama, di mana individu yang terlibat dalam aksi terorisme biasanya bergabung dengan kelompok radikal.

Kedua, Huda menyebutnya dengan pola baru, di mana individu dengan mudah mendapat informasi mengenai konflik di luar negeri melalui internet. Dari sana lah mereka membangun jaringan dengan para pelaku hingga akhirnya melakukan aksi kekerasan.

Secara gamblang film "Jihad Selfie" menggambarkan bagaimana media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, dan Instagram mengubah pendukung pasif menjadi pendukung aktif. Inilah yang membuat konflik di Suriah menjadi semakin kompleks.

Pembuatan film dokumenter ini bermula pada 2014 lalu, ketika Huda bertemu dengan pemuda asal Aceh, Teuku Akbar Maulana di sebuah toko kebab. Akbar yang kala itu tengah menempuh pendidikan di Imam Habit School --setingkat SMA-- di Kayseri, Turki, tengah mengalami masa-masa galau.

Menariknya, kegalauan pemuda tanggung ini menggiringnya pada doktrin "hidup mulia atau mati syahid" versi kelompok teroris. Peristiwa tersebut telah lebih dahulu menimpa rekan satu sekolahnya, Yazid Ulwan Falahuddin dan Wijangga Bagus Panulat di mana keduanya bergabung dengan ISIS.

Akbar tak menampik jika ia tergiur dengan janji-janji manis yang ditawarkan kelompok teroris pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu.

"Fasilitas lengkap, makan daging kuda, memiliki gaji, mungkin cara saya untuk keliling Timur Tengah dengan berjihad. Saya pikir negara Arab, Suriah, apalagi Damaskus yang zaman dulu menjadi pusat belajar agama terbaik...saya pikir mungkin akan ke sana," jelas Akbar.

Remaja Cerdas Terjerat ISIS Melalui Media Sosial

Seperti teman-teman seusianya, Akbar memanfaatkan media sosial untuk berhubungan dengan keluarga dan teman serta menggali informasi dunia luar. Ia pun menjalin komunikasi dengan Yazid melalui aplikasi Facebook dan WhatsApp.

Akbar akhirnya mengetahui, Yazid telah berhasil merekrut teman satu sekolah mereka, Bagus. Sementara dalam penelusurannya di dunia maya, ia pun menemukan sosok Wildan Mukhallad, pelajar Indonesia di Al-Azhar University, Mesir, yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Irak.

Demi mengenal lebih jauh sosok Wildan maka Huda pun memuat wawancara dengan Nizam, teman Wildan.

"Awal saya kenal dengan Wildan, dia memang cerdas. Hanya saja sangat pendiam. Nilai ujiannya hampir sempurna," ujar Nizam dalam film Jihad Selfie.

Keinginan Akbar bergabung dengan ISIS pun semakin kuat. Namun seketika, niatnya itu hilang saat mengetahui Yazid berangkat ke Suriah tanpa restu orangtua sehingga selepas kepergiannya, sang ibu mulai sakit-sakitan.

"Saat ingin berangkat saya teringat kembali kepada ibu, perempuan yang telah membesarkan saya. Karena saya teringat ibu, kedekatan dengan beliau maka saya putuskan tak jadi berangkat," tegas Akbar dalam diskusi yang digelar usai pemutaran film dokumenter "Jihad Selfie" yang diadakan kanal Global Liputan6.com.

Dalam kesempatan yang sama, Huda menjelaskan bahwa karyanya ini bukanlah upaya deradikalisasi melainkan digital literacy. Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian itu juga mengungkap, telah terjadi pergeseran rekrutmen yang dilakukan kelompok teroris dari jemaah pengajian ke anak muda yang cerdas dan aktif di media sosial.

Film "Jihad Selfie", tak hanya menguak cerita menarik yang dimiliki Akbar. Namun Huda yang bertindak sebagai produser sekaligus sutradara ini juga menyuguhkan pengakuan gamblang dari para pendukung ISIS di Indonesia, termasuk seorang ayah yang telah menyiapkan putranya untuk menjadi martir.

Pengambilan gambar untuk film ini dilakukan di sejumlah tempat mulai dari Lamongan, Semarang, Jakarta, Turki, Mesir, hingga Pulau Nusa Kambangan.

"Istilah-istilah seperti jihad, khilafah serta daulah Islamiyah serta martir yang banyak dipakai oleh kelompok teroris untuk menjerat anggota baru adalah jargon-jargon yang isinya imajinatif, nggak nyata. Ini akan saya jawab di film dokumenter saya berikutnya," tutup Huda di akhir perbincangan.