Sukses

Kisah 3 Eks Anggota ISIS yang Insaf dari 'Cuci Otak' Mati Syahid

Banyak yang pada akhirnya menyadari bahwa bujuk rayu ISIS tak lebih dari sekadar fatamorgana. Ketiga pemuda ini di antaranya.

Liputan6.com, Washington, DC - Kelompok ISIS yang dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi selama ini memakai banyak "jurus" untuk memburu calon anggota baru. Segala cara mereka tempuh, mulai dari menjual jargon hidup mulia atau mati syahid hingga menawarkan kehidupan bak surgawi.

Tak sedikit orang dari berbagai latar belakang yang terjerat dengan rayuan maut ISIS. Mereka rela meninggalkan keluarga, mengorbankan harta benda atau mungkin kehidupan mapan untuk terbang ke sejumlah ladang konflik, seperti Suriah dan Irak demi bergabung dengan kelompok teroris itu.

Banyak pula yang di antaranya "disulap" menjadi martir. Ya, dalam waktu yang begitu singkat mereka didoktrin perkara mati syahid sehingga tanpa sedikit pun keraguan mereka siap meledakkan diri, membunuh mengatasnamakan agama.

Namun tak sedikit pula yang pada akhirnya menyadari bahwa apa yang ditawarkan ISIS adalah fatamorgana. Hal tersebut diakui para mantan anggota kelompok teroris itu yang memutuskan hengkang setelah mereka mendapati bahwa tak ada kenikmatan "surga" yang dijanjikan.

Berikut pengakuan dari tiga mantan anggota ISIS seperti Liputan6.com kutip dari berbagai sumber:

1. Khweis, mantan anggota ISIS asal Virginia

Mohamad Jamal Khweis (26 thn), eks anggota ISIS asal Virginia, AS (NBC News)

Nama lengkap pria itu, Mohamad Jamal Khweis (26). Pada Maret 2016 lalu, ia hengkang dari ISIS dan memilih menyerahkan diri kepada, Peshmerga, kelompok bersenjata Kurdi.

Khweis mengaku didera penyesalan mendalam karena telah bergabung dengan ISIS yang memproklamirkan diri mereka sebagai kekhalifahan. Ia menegaskan telah "membuat keputusan yang buruk" dan "tidak berpikir jernih".

Melalui sebuah wawancara dengan stasiun televisi Kurdistan 24 dan dikutip Fox News, Khweis menjelaskan ia berangkat ke Mosul, Irak, yang dikuasai ISIS setelah bertemu dengan seorang perempuan di Turki semasa bepergian ke negara tetangga Suriah itu.

"Kami menghabiskan waktu bersama dan ia mengatakan bahwa ia berasal dari Mosul, Irak," ujar Khweis yang menambahkan bahwa mereka berangkat dari Istanbul ke Mosul dengan menumpangi bus dan kendaraan pribadi sebelum akhirnya tiba pada 16 Januari.

"Dalam perjalanan ke sana, saya sangat menyesal dan ingin kembali ke rumah setelah banyak hal tidak berlangsung sebagaimana mestinya dan mendapati diri saya harus tinggal di lingkungan seperti itu," jelas dia.

Khweis bahkan tak bisa memastikan identitas perempuan yang berangkat bersamanya ke Mosul. Kepada The Daily Beast, sejumlah pejabat Amerika Serikat (AS) mengatakan, ISIS telah membentuk sebuah jaringan perempuan yang bertanggung jawab untuk merekrut anggota baru.

Lebih lanjut, pria itu menjelaskan bahwa ia hanya mampu bertahan tinggal di Mosul selama satu bulan. "Saya merasa sangat sangat sulit untuk hidup di sana. Saya menemukan seseorang yang bisa mengantarkan saya kembali ke Turki. Awalnya dia mengatakan bisa, namun ternyata sulit. Dia hanya mampu membawa saya ke dekat perbatasan Turki," jelas Khweis.

Di dekat Kota Sinjar, pria itu akhirnya menyerah kepada kelompok bersenjata Kurdi.

Pria keturunan Palestina itu menceritakan, di Mosul ia banyak menjumpai anggota ISIS yang berasal dari negara-negara di Asia Tengah dan Asia Selatan. Ia masuk ke Turki melalui Eropa yakni melintasi London dan Amsterdam.

"Hidup di Mosul benar-benar mengerikan. Orang-orang yang mengendalikan kota itu tidak memiliki agama. Daesh --nama lain ISIS-- tak punya agama. Saya tidak melihat mereka sebagai muslim yang baik," imbuhnya.

2 dari 3 halaman

Harry Sarfo

2. Sarfo, mantan anggota ISIS asal Bremen

Harry Sarfo (27 thn), eks anggota ISIS yang berasal dari Jerman namun besar di Inggris (news.com.au)

Tampil dalam sebuah video propaganda ISIS, seorang pria berdiri di atas mobil sembari mengibarkan bendera hitam. Ia dikelilingi sejumlah laki-laki bersenjatakan Kalashnikov (AK).

Selanjutnya, pemimpin mereka menyerukan kepada warga Eropa untuk bergabung dengannya demi berjihad sebelum akhirnya ia menembak mati dua tahanan. Dan sosok pria pengibar bendera itu adalah Harry Sarfo, mantan tukang pos yang menempuh pendidikan dan masuk Islam di London, Inggris.

Dikutip dari The Independent, pada April 2016 lalu Sarfo (27) tengah dipenjara dan menunggu persidangan atas tuduhan teror. Pria yang berhasil melarikan diri dari ISIS itu mengatakan, realitas berdarah yang disaksikannya jauh dari fantasi jihad dalam video propaganda yang membuatnya tertarik bergabung dengan kelompok itu.  

"Ketika mereka bicara melalui sebuah video dengan memegang senjata, rasanya mereka seperti menelepon Anda, "Kami (ISIS) membutuhkan Anda disini! Saudara-saudara Anda membutuhkan Anda! Kami membawa perdamaian, martabat, dan kehormatan" kata mereka," ujar Sarfo.

"Namun pada kenyataannya, semua yang ditampilkan video itu bohong. Mereka memerintahkan agar kami membunuh sementara mereka tidak melakukannya sama sekali. Itu seperti sebuah film, setiap orang memainkan perannya masing-masing," cerita pria itu.

Sarfo yang lahir di Jerman selanjutnya besar di Inggris ini menegaskan, ia tak pernah secara pribadi menghabisi nyawa orang lain. Tapi ia mengaku banyak menyaksikan eksekusi dan kekejaman ketika dilatih sebagai "pasukan khusus" di Raqqa pada April hingga Juli 2015.

Ia ingat pernah menyaksikan enam orang ditembak dengan Kalashnikov. Sementara di lain kesempatan Sarfo juga menyaksikan bagaimana tangan seorang pria dipotong.

"Saudara membunuh saudara, bukan hanya tidak Islami, namun juga tidak manusiawi," tegasnya.

"Seorang saudara yang memiliki hubungan darah membunuh saudaranya sendiri karena dicurigai sebagai mata-mata. Lantas ISIS memerintahkan untuk dieksekusi," kata Safro.

Pria ini pun memperingatkan para pemuda untuk tidak tertipu dengan apa pun bentuk propaganda ISIS. Kelompok teroris ini diketahui kerap mengunggah rekaman berdarah yang mempertontonkan pembunuhan sandera asing dan tahanan, namun di lain sisi juga menyebarluaskan video yang berusaha menampilkan kehidupan "normal" dan menjanjikan yang mereka jalani.

Namun yang terkenang dalam memori Sarfo selama empat bulan bergabung dengan ISIS adalah kesulitan demi kesulitan dan kebrutalan. Ia pun mengingatkan, jangan lagi ada pemuda yang mengikuti jejaknya.

"Setelah Anda berada di sana, Anda baru akan menyadari terlalu terlambat untuk kembali. Perempuan bergabung dengan ISIS dengan berpikir itu adalah sebuah roman, bahwa mereka akan menikah dan hidup bahagia selamanya. Faktanya, sangat berbeda," ungkap pria itu.

"Tak ada kebebasan selain dikurung di rumah. Anak Anda akan lahir dan mati sia-sia. Jika suami Anda meninggal, maka Anda harus menikah lagi demi bisa melihat sinar matahari kembali. Jika coba-coba kabur, penjara dan eksekusi menanti," jelas dia.

Sarfo menyerukan pemuda muslim untuk tidak menyia-nyiakan hidup mereka dan membiarkan ISIS "mencuci otak dan menghancurkan jiwa" mereka.

"Banyak yang telah berusaha melarikan diri, tapi mereka tewas atau ditahan dan menunggu eksekusi. Beberapa di antaranya adalah warga Inggris. Banyak dari mereka ingin pergi, meski mengakui bahwa hal itu tidak mungkin," tutur Sarfo.

Diakui Sarfo alasannya melarikan diri adalah upaya mempelajari Al Quran yang dilakukannya secara mendalam mengantarnya pada satu kesimpulan bahwa ISIS "benar-benar tidak Islami".

"Saya sampai pada kesimpulan bahwa ini bukan jalan menuju surga, melainkan neraka. Alih-alih membebaskan rakyat Suriah, mereka justru menciptakan rezim lain," imbuhnya.

Pria itu berhasil melarikan diri setelah ia mengarang cerita bahwa istri dan anak-anaknya dipenjara di Turki. Ia mencoba meyakinkan ISIS agar diizinkan pergi, namun trik itu ternyata diketahui petinggi kelompok teroris tersebut.

Ia pun nekat membebaskan dirinya. Setelah mengalami pengejaran, ditembak, dan terpaksa sembunyi di lumpur selama sembilan jam demi menghindari penjaga ISIS di dekat perbatasan ia berhasil selamat tiba di Turki sebelum akhirnya terbang kembali ke kampung halamannya di Bremen, Jerman di mana kedatangannya pada 20 Juli 2016 disambut polisi.

3 dari 3 halaman

Mohimanul Alam Bhuiya

3. Bhuiya, mantan anggota ISIS asal Brooklyn

Bhuiya (25 thn), mantan anggota ISIS asal Brooklyn, AS (NBC News)

Pemuda lainnya yang juga terjerat pesona ISIS adalah Mohimanul Alam Bhuiya (25) asal Brooklyn, AS. Pada akhir Oktober 2014, ia mengirimkan email kepada FBI yang isinya kurang lebih ia ingin diselamatkan dari cengkeraman kelompok brutal itu.

"Saya seorang warga AS yang mencoba kembali pulang dari Suriah. Saya hanya ingin kembali pulang. Semua yang saya inginkan adalah, pembebasan dari tuduhan lengkap setelahnya dan memiliki kehidupan normal kembali dengan keluarga saya," tulis Bhuiya dalam email-nya kepada FBI seperti dikutip dari The Washington Post.

Ia menambahkan, "Saya muak dengan kejahatan ini".

Ketika itu, FBI masih memverifikasi identitasnya, namun Bhuiya akhirnya berhasil melarikan diri seminggu kemudian. Ia kembali ke Negeri Paman Sam dan menjalani serangkaian proses hukum atas dakwaan memberikan dukungan material dan menerima pelatihan militer dari ISIS.

Pada November 2014, dalam sebuah sidang tertutup di Brooklyn, ia mengaku bersalah atas kedua dakwaan itu. Bhuiya pun divonis 25 tahun penjara.

Pria ini telah masuk dalam pantauan FBI sebelum ia bepergian ke Suriah. Ketika otoritas mewawancara Bhuiya di rumahnya di Brooklyn, ia menyatakan tertarik dengan apa yang terjadi di Suriah dan mendukung "kelompok pemberontak" namun ia tidak memiliki biaya untuk berangkat ke negara pimpinan Presiden Bashar al-Assad itu.

Beberapa hari kemudian, ia terbang ke Istanbul, Turki dan tak butuh waktu lama ia berhasil masuk ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Meski demikian ia meminta agar tidak dikirimkan ke garis depan dan mengatakan dirinya dapat membantu dengan cara lain.

Pemuda itu pun lantas kecewa dengan ISIS dan menyebut mereka distopia. "Anda bisa melihat kegilaan di mata mereka," ujar pria yang akhirnya memutuskan melarikan diri.

Dalam email-nya kepada FBI, ia mengatakan ia tidak memiliki paspor karena telah dirampas ISIS. Pemuda itu meminta pertolongan agar seseorang bisa menjemputnya di perbatasan.

"Tolong bantu saya pulang," katanya kepada FBI.

Menurut dokumen pengadilan, Bhuiya berhasil melarikan diri melintasi perbatasan ke Turki dan tiba di kantor perwakilan AS di Adana, bagian selatan negara itu.

Dia mengaku sudah bergabung dan bekerja untuk ISIS. Bhuiya mengatakan ia membawa senjata, namun tidak pernah terlibat dalam pertempuran.

Sebelum memutuskan bergabung dengan ISIS, Bhuiya diketahui memiliki masa depan yang cerah. Ia sempat mengenyam pendidikan di sekolah menengah di Brooklyn dan menghadiri Sekolah Studi Umum di Columbia University selama satu semester, yakni dari Januari hingga Mei 2013.

Melalui sebuah esai yang ditulisnya pada 2008 berjudul "Sample College Essay: My Superhero" ia menyiratkan ketertarikan serius dengan Albert Enstein dan Thomas Edison.