Liputan6.com, Manila - Pada 21 Agustus 1983, 33 tahun silam, menjadi hari terakhir bagi Benigno Aquino, pemimpin oposisi di Filipina. Dia ditembak mati, saat baru saja tiba di tanah airnya, setelah tiga tahun tinggal di pengasingan di Amerika Serikat.
Ninoy, demikian ia akrab dipanggil, bukannya tak sadar risiko yang menanti di Filipina. Sebelumnya, ia mengaku bahwa keamanannya terancam jika tiba di tanah kelahirannya.
Baca Juga
"Saya menduga bakal ada ancaman bahaya jika saya kembali, karena tentu kalian tahu pembunuhan saat ini sedang merajalela,” ujar Aquino kepada wartawan dalam perjalanan di pesawat sebelum tiba di Manila, seperti dimuat BBC on This Day.
"Jika memang takdirku harus berakhir oleh peluru pembunuh, maka terjadilah," imbuh pemilik nama lengkap Benigno Simeon Aquino Jr.
Ucapannya itu justru menjadi kenyataannya tak lama kemudian. Saat pesawatnya mendarat di Bandara Manila, Aquino dikepung tentara dan digiring keluar pesawat.
Saksi mata dalam pesawat mengatakan, suara rentetan tembakan kemudian terdengar. Ninoy ditemukan terbaring tengkurap dikelilingi genangan darah.
Advertisement
Versi pemerintah, Aquino ditembak di bagian kepala oleh pembunuh bayaran profesional bernama Rolando Galman -- yang kala itu ada di bandara dalam perjalanan menuju penjara.
Terduga pelaku tak lagi bisa ditanya soal motif dan bagaimana bisa ia melakukan pembunuhan di tengah pengawalan ketat. Galman kemudian ditemukan tergeletak tak bernyawa di samping jenazah Aquino.
Aquino, yang kala itu berusia 50 tahun, kembali ke Filipina untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden pada pemilihan umum tahun mendatang. Dia merupakan rival calon petahana Ferdinand Marcos yang saat itu menjabat.
Ninoy dikenal sebagai sosok yang paling lantang mengkritik pemerintah. Ia adalah anggota parlemen termuda di Filipina kala itu, terpilih pada usia 35 tahun.
Namun, ia dilabeli sebagai 'komunis' setelah Marcos memberlakukan UU darurat militer dan dipenjara 7 tahun.
Kemudian, pada 1977, Ninoy dijatuhi hukuman mati karena dianggap berkhianat menggulingkan pemerintah atau subversi.
Namun lantaran kondisi kesehatannya yang memburuk, Ninoy diizinkan istri Presiden, Imelda Marcos ke AS untuk menjalani operasi jantung.
Sehabis operasi, Aquino memilih untuk tetap tinggal di Negeri Paman Sam untuk sementara dan terus melancarkan kritik ke rezim yang sedang berkuasa.
Keluarga Aquino menduga kuat bahwa Ferdinand Marcos adalah dalang di balik penembakan tersebut. Tetapi, kemudian tak ditemukan bukti yang kuat atas dugaan tersebut.
Marcos sendiri menegaskan bahwa bukan dirinya yang menyuruh si pembunuh bayaran. Kata dia, Rolando beraksi atas suruhan pihak lain. Namun rakyat Filipina dan pemimpin dunia waktu itu tak percaya.
Penyelidikan dan persidangan kemudian digelar untuk mengungkap pihak yang bertanggung jawab. Sebanyak 25 tentara militer diajukan sebagai terdakwa. Presiden Marcos kemudian membebaskan mereka. Namun 16 di antaranya kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada pemerintahan selanjutnya, di bawah Presiden Corizon Aquino, janda Beniqno Aquino.
Meski tak sempat jadi presiden, Ninoy adalah suami dan ayah dari Presiden Filipina. Bandara tempat ia meninggal dunia kini menyandang namanya.
Pada tanggal yang sama di tahun 1995. Ratu Beatrix dari Belanda tiba di Jakarta.
Itu adalah kunjungan pertama dari seorang anggota kerajaan Belanda selama 14 tahun, di tengah tekanan agar Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
Sementara pada 1911, lukisan The Mona Lisa raib dicuri. Pelakunya adalah pegawai Museum Louvre Prancis, tempat karya Leonardo da Vinci itu dipamerkan.