Liputan6.com, Jakarta - Seorang pemuda asal Aceh, Teuku Akbar Maulana atau yang akrab disapa Akbar memiliki kisah menarik yang dapat menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja, terutama dirinya sendiri. Pada usia sekitar 16 tahun, ia sempat "terpincut" dengan janji-janji manis ISIS.
Akbar yang kala itu berusia kurang lebih 16 tahun, melanjutkan pendidikan sekolah menengah atasnya di Turki. Remaja itu bersekolah di International Mustafa Germirli Anatolia Imam Khatib High School, setelah berhasil mendapat beasiswa penuh dari Turkey Dinayet Foundation.
Tak main-main, salah satu alumni SMA itu adalah Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki saat ini. Selama bersekolah, Akbar dikenal sebagai siswa berprestasi di mana ia pandai berpidato dalam bahasa Arab, pernah menjuarai kejuaraan bulu tangkis Eurolympique di Prancis, dan di sisi lain ia merupakan seorang hafiz -- penghafal Al Quran.
Advertisement
Dalam wawancaranya dengan Liputan6.com, Akbar menjelaskan apa yang membuatnya tertarik bergabung dengan kelompok teroris pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu.
"Melihat kakak kelas menenteng AK-47, wah kerennya. Terus ketika foto itu dia pamerkan di Facebook, langsung disukai sama teman-teman dan dikomentari apalagi kalau yang komentar itu perempuan pasti hati berbunga-bunga. Ada juga iming-iming bahwa meninggal di sana (Suriah) orangtua kita akan mendapat surga dan kita sendiri dapat 72 bidadari," jelas Akbar.
"Mereka juga bilang sana itu surga dunia, kekhalifahan, makan enak dan juga digaji. Iming-imingnya luar biasa terutama bagi anak-anak muda yang ingin merasa keren dan "dilihat" sama orang lain," imbuhnya.
Namun Akbar beruntung, kala itu pikiran kritisnya masih bekerja dengan baik. Timbul keragu-raguan di benaknya tentang bagaimana mungkin pergi berjihad tanpa diiringi restu orangtua.
"Dia (perekrut) kasih ayat At-Taubah yang sudah ditafsirkan sendiri dengan bahasa mereka bahwa jihad tanpa restu orangtua diizinkan. Lalu saya teringat kembali dengan hadis Nabi Muhammad bahwa jihad yang paling utama adalah berbakti kepada orangtua," ujar pemuda yang kini berusia 18 tahun itu.
Ingatan akan kedua orangtuanya, menghentikan langkah Akbar bergabung dengan ISIS. Ia sampai di satu titik balik kehidupannya, memandang jihad dari kacamata yang berbeda.
Akbar kini sudah kembali ke pangkuan orangtuanya. Ia memilih jihad yang hakiki, berjuang di jalur yang benar demi mengharumkan nama keluarga, agama, dan bangsa.
Pemuda sejuta mimpi yang memiliki segudang prestasi ini kini sudah menelurkan karya, sebuah novel berjudul Boys Beyond The Light.Â
Malang justru dialami dua rekan satu sekolah Akbar, yakni Yazid Ulwan Falahuddin dan Wijangga Bagus Panulat. Yazid yang berhasil merekrut Bagus dan tengah berusaha melakukan hal yang sama terhadap Akbar tewas sebagai martir ISIS di Suriah pada 2015.
Bagus juga meninggal dunia dalam sebuah pertempuran di Suriah pada 2015.
Akbar, Noor Huda, dan Jihad Selfie
Kisah tentang Akbar "ditemukan" oleh Noor Huda Ismail, pemerhati isu terorisme global yang tengah menempuh pendidikan pasca-sarjana bidang ilmu politik dan hubungan internasional di Monash University, Australia.
Huda menuangkan pengalaman Akbar dalam sebuah film dokumenter berjudul, Jihad Selfie. Dalam film yang sama, ia juga menguak metode baru perekrutan calon anggota ISIS, yakni melalui media sosial.
"Kalau dulu biasanya orang yang direkrut terlebih dahulu terlibat dalam kelompok tertentu, sementara sekarang cukup yang memiliki media sosial aja. Yang dulunya collective action sekarang sudah connective action," jelas Huda.
Dalam wawancaranya dengan Liputan6.com, Huda menekankan cara paling sederhana dalam menghalau pengaruh ISIS adalah cinta.
"Saking kompleksnya permasalahan ini, maka pendekatan yang paling memungkinkan adalah memiliki seseorang yang kita cintai dalam hidup ini. Jadi kita bisa menghabiskan waktu-waktu berkualitas dengan mereka kalau nggak depresi hidup ini," jelas Huda.
Selain itu, hal yang penting untuk dilakukan adalah mengajarkan setiap anak untuk berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima. Dan menurutnya, sangat penting bagi seorang anak untuk didorong merayakan perbedaan dalam hidup.
"Bahwa perbedaan itu adalah bagian dari keniscayaan hidup. Tidak mungkin dalam hidup kita harus sama terus," imbuhnya.
Berikut wawancara Liputan6.com dengan Teuku Akbar Maulana dan Noor Huda Ismail: