Sukses

Kisah Wanita 'Pembunuh Bayaran' di Tengah Perang Narkoba Filipina

Maria melakukan aksinya di tengah perang brutal melawan narkoba atas perintah Presiden Filipina, Rodrigo Duterte. Enam nyawa ia cabut.

Liputan6.com, Manila - Sebut saja namanya Maria. Perempuan itu punya profesi sangar: pembunuh bayaran.

Ia menjalankan aksinya di tengah perang brutal melawan narkoba atas perintah Presiden Filipina, Rodrigo Duterte. Hampir 2.000 orang tewas dalam hitungan minggu di jalanan. Enam di antaranya meregang nyawa di tangan Maria.

Saat melihat sosoknya, tak ada yang menyangka perempuan bertubuh kecil, berwajah keibuan saat menggendong bayinya itu tega mengambil nyawa orang lain.

"Tugas pertamaku datang dua tahun lalu. Aku merasa sangat ketakutan dan gugup, sebab kala itu adalah yang pertama," kata dia, seperti dikutip dari BBC, Jumat (26/8/2016).



Awalnya, hanya suaminya yang menjadi pembunuh bayaran. Akibat situasi tertentu, Maria dilibatkan.

"Suatu ketika mereka membutuhkan perempuan...suamiku memintaku untuk melakukan tugas. Ketika melihat target, aku berjalan di dekatnya dan menembaknya."

Maria bergabung dalam kelompok 'tukang pukul', yang tiga di antara anggotanya adalah perempuan. Keberadaan kaum hawa dianggap berharga, karena mereka bisa dekat dengan para korbannya tanpa memicu prasangka berlebih.

Sejak Duterte terpilih, dan melancarkan perang melawan narkoba, dengan meminta polisi dan rakyat membunuh pengedar obat terlarang yang menolak ditangkap, Maria membunuh lima orang lainnya.

Keterlibatannya dalam perang narkoba bermula saat sang suami diperintahkan membunuh para pengutang. Salah satunya adalah pengedar narkoba. "Bos kami adalah petugas polisi," kata dia.

Maria dan suaminya tinggal di lingkungan kumuh di Manila. Mereka tak punya penghasilan tetap. Sekali beroperasi mereka mendapat upah 20 ribu peso Filipina atau sekitar Rp 5,7 juta -- yang kemudian dibagi menjadi 3 atau empat -- sesuai jumlah anggota kelompok yang berperan.

Perang Narkoba Duterte

Usai disumpah sebagai Presiden Filipina, Rodrigo Duterte langsung mengobarkan perang melawan narkoba.

Salah satu korban penembakan tak dikenal terkait narkoba (Reuters)


"Kita tak akan berhenti hingga bandar narkoba terakhir... dan para pengedar terakhir menyerahkan diri atau dijebloskan di balik jeruji besi atau dilumpuhkan -- jika itu yang mereka mau," kata Duterte seperti dikutip dari Time.

Duterte mengaku punya alasan kuat. Barang haram itu sudah terlanjur jadi pandemik, berdampak negatif pada jutaan rakyat Filipina. Di sisi lain, narkoba sangat menguntungkan para pemainnya.

 

Rodrigo Duterte saat dilantik menjadi Presiden Filipina menggantikan Benigno Aquino, Istana Malacanang, Manila, Filipina, Kamis (30/6). Rodrigo berjanji akan mengatasi kriminalitas di Filipina dengan tegas. (REUTERS/Erik De Castro)



Pemimpin Filipina berusia 71 tahun itu punya daftar 150 pejabat senior, polisi, juga hakim  yang terlibat bisnis narkotika. Lima jenderal polisi termasuk di dalamnya.

Menurut data Kepolisian Manila, lebih dari 1.900 orang meninggal dunia sejak Duterte disumpah jadi presiden pada 30 Juni 2016 lalu. Hanya 756 di antaranya yang kehilangan nyawa akibat peluru polisi karena melawan saat ditahan.

Restituto Castro adalah salah satu yang pertama jadi korban. Pria 46 tahun itu bukan pengedar apalagi bandar. Menurut istrinya, ia membeli shabu atas permintaan temannya.  

Perburuan bandar dan pengedar narkoba juga menewaskan seorang gadis cilik berusia 5 tahun Danica May.

Bukan May yang jadi sasaran, melainkan kakeknya, Maximo Garcia (53) yang sebelumnya menyerahkan diri ke polisi karena namanya ada dalam daftar pengawasan narkoba,

Tiga hari kemudian, seorang pria mendekati rumahnya dan melepaskan tembakan saat Garcia dan keluarganya sedang makan siang. Pria itu lolos, namun peluru mengenai Danica May.