Sukses

'Keanehan' Keluarga Kerajaan Inggris pada Hari Kematian Diana

Tanpa sorotan kamera, William dan Harry menangis tersedu-sedu ketika mendengar Elton John menyanyikan lagu 'Candle in the Wind'.

Liputan6.com, London - Dalam dunia mode, ia adalah ikon yang belum tergantikan. Sementara gelar Princess of Wales yang melekat di dirinya justru banyak ia manfaatkan untuk melakukan berbagai misi kemanusiaan.

Adalah Putri Diana yang peristiwa kematiannya pada 31 Agustus 1997 nyaris ditangisi seluruh dunia, tak terkecuali kedua buah hatinya William dan Harry. Tak ada pangeran hari itu. Yang ada hanya dua anak yang kehilangan ibu mereka.

Christopher Andersen dalam bukunya yang kontroversial, The Day Diana Died, seperti yang dikutip dari Independent, Jumat (26/8/2016) mengungkap sejumlah fakta menarik setelah meninggalnya Lady Di.

Ia menggambarkan bagaimana William yang ketika itu berusia 15 tahun bersikap cukup tegar meski sejumlah pertanyaan menggelayut di benak pangeran muda itu. Dan di sisi lain William juga merasakan ada banyak keanehan.

Anak sulung Diana-Charles itu bingung mengapa bendera di Istana Buckingham tak berkibar setengah tiang demi menghormati sang ibu. Tak hanya itu, William yang kini bergelar Duke of Cambridge juga mempertanyakan sikap keluarga kerajaan yang lebih memilih "mengurung diri" di Balmoral, Skotlandia, sementara tubuh kaku Diana berada di London.

"Kenapa kita semua di sini, ketika ibu ada di London?" tanya William muda kepada sang ayah, Pangeran Charles, ketika itu.

Pangeran William kabarnya terlibat langsung dalam prosesi pemakaman Lady Di. Menurut Andersen, William-lah yang menentukan rute perjalanan kereta jenazah sang ibu menuju Gereja Westminster Abbey.

"Semua orang terpana dengan karakter kuat yang dimiliki Pangeran William. Ia benar-benar seorang pemuda yang luar biasa yang telah menunjukkan keberanian yang besar," tulis Andersen mengutip pernyataan dari sumber istana.

Karakter kuat William, menurut Andersen, telah disadari sepenuhnya oleh sang ibu. Lady Di bahkan kerap memanggil putra sulungnya itu dengan panggilan DDG--Drop Dead Gorgeous. Ia meyakini William memang terlahir untuk menjadi seorang raja.

Kepada salah seorang temannya, Diana mengatakan ia berharap agar putra sulungnya itu bisa menjadi secerdas John Kennedy Jr--anak dari John F Kennedy dan Jacqueline Kennedy Onassis yang berprofesi sebagai pengacara, jurnalis, dan publisher majalah.

"Aku ingin William mampu menangani banyak hal sebagaimana yang telah dilakukan oleh John," kata Diana.

2 dari 3 halaman

Ungkapan Hati Harry

Kartu selamat jalan dari Pangeran Harry yang diletakkan di atas peti mati Putri Diana bertuliskan

Pada 6 September 1997, kurang lebih 1,5 miliar orang menyaksikan prosesi pemakaman Putri Diana. Tampak berada di belakang mobil jenazah adalah William, Harry, Charles, Pangeran Philip, dan adik Putri Diana, Earl Spencer.

Harry saat itu masih berumur 12 tahun. Ketika sang kakak memilih untuk lebih banyak menundukkan kepala kala mengantar sang ibu ke Gereja Westminster Abbey, Harry justru menatap lurus ke depan.

Seperti dikutip dari CNN, pewaris takhta kelima Kerajaan Inggris itu digambarkan mengepalkan tangannya. Dalam iring-iringan tersebut, tak ada air mata yang mengalir di wajah keduanya.

Namun tangis William dan Harry kabarnya pecah ketika mereka berada di dalam gereja, jauh dari jangkauan kamera.

Kesepakatan antara keluarga Spencer dan kerajaan saat itu memang menegaskan tidak akan menganggu jalannya upacara pemakaman dengan kehadiran kamera, sehingga mereka yang berkabung tak merasa terusik.

Adik kakak itu dilaporkan mulai tak kuasa menahan air mata ketika paduan suara gereja menyanyikan hymne pertama berjudul, I Vow to Thee, My Country. Kabarnya William secara khusus meminta lagu ini dimainkan karena merupakan salah satu kesukaan Diana.

Sementara itu, air mata Harry pun jatuh tak terbendung ketika penyanyi sekaligus salah satu sahabat ibu mereka, Elton John menyanyikan Candle in the Wind tepat di lirik "Good bye, England's rose, may you ever grow in our hearts...".

Seketika pertahanan Harry luluh, ia membenamkan wajahnya di kedua tangannya. Menangis tersedu-sedu.

Sementara pada lirik, "All our words cannot express the joy brought us through the years..." giliran William yang terguncang dengan tangisan.

Di atas peti mati Diana terdapat tiga buket bunga. Satu dari saudara-saudara kandungnya, satu dari sang ibu, dan yang terakhir dari kedua putranya.

Yang lebih menyayat hati adalah kartu ucapan dari Harry. Pada kertas putih polos, pangeran muda itu seolah mengungkapkan jeritan hatinya lewat sebuah kata: Mummy.

3 dari 3 halaman

Mana Perhiasan Diana?

Pangeran William, Putri Diana, dan Pangeran Harry dalam satu kesempatan (Vanity Fair)

Dalam bukunya, Andersen juga menggambarkan reaksi Ratu Elizabeth atas kematian Lady Di. Ia menuliskan, ibu mertua Diana itu lebih peduli dengan perhiasan kerajaan dibanding menenangkan keluarganya.

Segera setelah mendengar kematian Diana, Ratu Elizabeth kabarnya mengirimkan Konsul Inggris di Paris, Keith Moss, untuk menemukan perhiasan-perhiasan kerajaan yang mungkin dibawa atau dikenakan Princess of Wales. Moss pun mendesak otoritas Prancis untuk mengembalikan setiap perhiasan yang ditemukan di tubuh atau sekeliling Diana.

"Ratu khawatir tentang perhiasan. Kami harus menemukannya dengan cepat. Ratu ingin tahu, di mana perhiasan itu?," ujar Moss kepada kepala perawat di Paris Hospital, Beatrice Humbert, seperti dimuat Andersen dalam bukunya.

Namun tak lama, Moss lega menyusul tidak ditemukannya perhiasan kerajaan yang dikenakan Diana. Semua barang miliknya termasuk pakaiannya, telah dikirim ke Inggris oleh Mohammed Al Fayed, ayah dari Dodi Al Fayed--kekasih Diana yang ikut tewas dalam kecelakaan tragis di terowongan Pont de l'Alma.

Karena tak memiliki sepasang baju pun yang tersisa, maka tubuh Diana ketika itu terpaksa harus mengenakan gaun hitam yang dipinjam dari istri Duta Besar Inggris untuk Prancis, Michael Jay. Demikian menurut Andersen.

Buku The Day Diana Died juga memuat bagaimana Ratu Elizabeth menentang sikap Pangeran Charles yang bersikeras ingin menjemput jenazah mendiang mantan istrinya di Paris. Menurut kepala negara Inggris tersebut, Charles tak harus bertindak sejauh itu.

Meski demikian, Charles bersikeras dengan pendapatnya dan ia mendapat dukungan Perdana Menteri Tony Blair. Menurut mereka, publik akan bereaksi keras jika tak ada anggota keluarga kerajaan yang terbang ke Paris.

Akhirnya, bersama dengan dua anggota keluarga Spencer, Charles pun berangkat ke Prancis.

The Day Diana Died juga mengungkap bahwa Elizabeth tak ingin Charles membangunkan William dan Harry untuk mengabarkan kematian ibu mereka. Untuk itu, Charles harus menunggu pagi tiba dan tangisan pangeran-pangeran muda itu pun tak terbendung.

Lalu ketika sarapan, alih-alih memeluk kedua cucunya, Elizabeth dan Philip justru hanya mengucapkan "duka cita mendalam" layaknya orang asing.

Pada hari yang sama, Ratu bersikeras bahwa William dan Harry harus pergi ke gereja seperti yang tertera di jadwal dibanding terbang ke London di mana ratusan ribu orang memenuhi jalan-jalan utama, berkabung atas kepergian Diana.

"Ratu bersikeras mereka semua harus ke gereja seperti biasa dan mereka dipaksa pergi dalam keadaan linglung," tulis Andersen di bukunya.

Pelayanan di Gereja Balmoral juga tidak menyinggung kematian Putri Diana. Khotbah kabarnya justru berisi sejumlah lelucon.

"Itu pasti satu-satunya gereja di planet ini yang tidak pernah menyebut nama Diana. Harry membalikkan tubuh ke Charles dan bertanya, "Apakah kamu yakin ibu telah tiada?" menurut Andersen.

Andersen menegaskan, tulisannya didasarkan pada pengakuan sejumlah narasumber yang terdiri dari kalangan Istana, pekerja rumah sakit, staf Ritz Hotel di Paris, dan sejumlah kalangan elite yang jauh dari pengetahuan publik.

Buckingham Palace mengutuk berbagai hal yang diungkap dalam buku The Day Diana Died, menyebutnya murni fantasi. Istana menggambarkan buku ini tanpa dasar dan merupakan tuduhan yang sangat menyakitkan bagi keluarga Kerajaan.