Liputan6.com, Manila - Genderang perang terhadap jaringan narkoba yang ditabuh oleh Presiden Rodrigo Duterte di Filipina, mengakibatkan sekitar 2 ribu orang meninggal dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. Korbannya pun tak pandang bulu.
Seperti dikutip dari Washington Post, Sabtu (27/8/2016), salah satu yang menjadi sasaran target operasi adalah seorang anak perempuan bernama Danica May Garcia. Ia masih berusia 5 tahun.
Advertisement
Baca Juga
Menurut laman berita Rappler, dua pengendara sepeda motor awalnya melabrak rumah keluarga anak itu di Dagupan City ketika waktu makan siang.
Mereka melepaskan tembakan untuk membunuh Maximo Garcia (53), kakek anak perempuan malang itu. Kakek tersebut sebenarnya sudah menyerahkan diri kepada polisi setelah namanya disebut ada dalam daftar orang terlibat narkoba.
Garcia lari kembali ke dalam rumah dan menuju ke kamar mandi, ia dikejar oleh para pria bersenjata. Mereka menembakinya. "Ketika itu, Danica keluar dari kamar mandi dan terkena tembakan," demikian menurut Rappler.
Gemma, istri Garcia, mengadu kepada Philippine Daily Inquirer, "Ini sungguh menyakitkan bagi kami."
Gemma Garcia membuka kedai kecil di kota yang berjarak lebih dari 200 km di barat laut Manila tersebut. Kepada Inquirer, ia mengaku kaget suaminya ada dalam daftar dan mengatakan suaminya tidak pernah terlibat dengan narkoba.
Maximo Garcia dulunya adalah seorang penarik becak Filipina. Ia harus berhenti bekerja setelah terkena serangan stroke pada 3 tahun lalu.
Gemma Garcia mengatakan, kematian cucunya membuat ia dan keluarganya ketakutan. Katanya kepada Inquirer, "Kami ketakutan tetap di sini. Masalahnya, kami bisa pergi ke mana?"
Gemma Garcia menambahkan, "Para pembunuhnya bisa kembali lagi mencari suami saya."
Menurut laporan Rappler, Danica selalu semangat untuk sekolah. Ia bangun pagi sekali karena tidak ingin terlambat ke sekolah.
Laporan Inquirer selanjutnya menyebutkan, Maximo Garcia tengah memulihkan diri dari luka tembak di perutnya. Sejumlah polisi menjaganya selama di rumah sakit.
"Ada 26 tersangka narkoba yang telah terbunuh di sana hingga Selasa 23 Agustus lalu," kata Neil Miro selaku komandan polisi Dagupan kepada Inquirer.
Di tingkat nasional, sejumlah media memperkirakan sudah ada 1.900 pembunuhan orang-orang terkait kasus narkoba, sejak Duterte dilantik pada 30 Juni lalu. "Sekitar 700 ribu pengguna dan pengedar narkoba telah menyerahkan diri," demikian menurut Reuters.
Mantan walikota Davao di selatan ini secara keras berjanji melenyapkan persoalan narkoba di negaranya. Zat terlarang, terutama methamphetamine atau dikenal sebagai sabu, telah sangat meluas di Filipina selama beberapa dekade belakangan.
Mantan jaksa penuntut berusia 71 tahun itu secara terbuka mendukung pembunuhan tersangka pidana kasus narkoba, bahkan mengajak warga ikut turun tangan.
Reaksi dari Parlemen
Pada Senin 22 Agustus lalu, para senator Filipina memulai penyidikan atas peningkatan angka kematian di bawah pemerintahan Duterte. Beberapa orang yang wajahnya dilindungi bersaksi tentang bagaimana orang-orang yang mereka kasihi diciduk dan ditembak mati oleh polisi.
Senator Leila de Lima, pimpinan komisi kehakiman di senat, menjadi pimpinan penyidikan. Dalam pidato pembukaannya menyatakan prihatin atas meluasnya pembunuhan yang diduga dilakukan bukan oleh pemerintah.
Kata de Lima, "Secara khusus, yang mengkhawatirkan adalah kampanye melawan narkoba ini sepertinya menjadi dalih bagi sebagian -- saya tekankan, sebagian -- anggota penegak keamanan dan beberapa preman untuk melakukan pembunuhan seenaknya."
Tapi, de Lima malah dituduh melakukan selingkuh dengan mantan pengemudinya dan memberi wewenang kepada kekasihnya itu untuk menerima uang dari para bandar narkoba. Gembong yang dipenjara di penjara Bilibid, Muntinlupa City, di Metro Manila ketika ia menjabat sebagai pejabat kehakiman.
De Lima pun membantah tuduhan itu.
Direktur Jenderal Polisi Nasional Filipina Ronald dela Rosa melapor kepada komisi Senat pada awal minggu ini. Menurutnya, dari semua yang tewas, hanya 756 orang yang terbunuh dalam konfrontasi dengan polisi.
Polisi yang dijuluki "Bato" --artinya batu-- ini mengatakan kepada komisi Senat bahwa para terduga tewas karena melakukan perlawanan penangkapan.
Menurut Inquirer, dela Rosa menegaskan kepada komisi Senat, "Kalau mereka tidak melawan, mungkin mereka masih hidup."
Kebanyakan pembunuhan tersebut -- sekitar 1.160 orang-- dilakukan di luar operasi polisi. Kebanyakan dilakukan oleh preman dan sedang diselidiki, kata dela Rosa. Ia menambahkan bahwa tidak semua kematian berkaitan dengan urusan narkoba.
Advertisement
Protes Internasional
Sementara itu, kelompok pendampingan internasional menyuarakan tentangan terhadap kebijakan Duterte.
Phelim Kine, wakil direktur Divisi Asia untuk Human Rights Watch, pada Kamis lalu menulis tentang kematian Danica May. Kine mencatat bahwa Menteri Kehakiman Vitaliano Aguirre membela pembasmian yang terkait dengan perang melawan narkoba oleh Duterte.
Aguirre mencetuskan, "Kalau kamu ada di Filipina, kamu akan memilih untuk menewaskan para bandar narkoba itu. Saat yang mendesak butuh tindakan yang mendesak. Jadi inilah yang dilakukan oleh sang presiden dan kami mendukungnya."
Amnesty International menyerukan kepada Duterte untuk "menghentikan siklus pelanggaran hak azasi manusia" dan mengurangi pidato "yang menghasut."
Pada Juni lalu, Rafendi Djamin selaku Direktur Asia Tenggara untuk Amnesty International menuliskan, "Presiden Duterte terpilih dengan mandat untuk menegakkan hukum."
"Melegakan rasanya mendengar ia bicara soal menghormati kewajiban Filipina di bawah hukum internasional. Tapi, ia sekarang berkuasa dan perlu bersungguh-sungguh dengan kata-kata itu serta menghentikan sesumbarnya."