Sukses

Misteri Kematian Lucy Akhirnya Terkuak Setelah 3 Juta Tahun

Pada tahun 1974 silam, tengkorak dan kerangka Lucy ditemukan. Sejak itu, misteri kematiannya berusaha dikuak para ahli.

Liputan6.com, Austin - Pada tahun 1974 silam, tengkorak dan kerangka Lucy ditemukan. Sejak saat itu, teka-teki pun menyeruak, salah satunya apa gerangan pemicu kematiannya sehingga jasad yang berjenis kelamin perempuan tersebut berakhir di sebuah sungai dangkal di Ethiopia.

Kematian Lucy adalah kasus paling tua di dunia. Butuh waktu 3 juta tahun untuk memecahkan misterinya.

Lucy adalah sebutan untuk sebuah fosil manusia purba, yang memberikan petunjuk tentang kehidupan nenek moyang manusia pada sekitar 3,18 juta tahun lalu.

Gambar kerangkanya --  yang diperkirakan 40 persen lengkap dan diyakini sebagai representasi terbaik spesiesnya, Australopithecus afarensis -- menjadi ikonik.

Baru-baru iini, 42 tahun setelah penemuannya, para ahli dari University of Texas di Austin yakin,  fosil Lucy ditemukan tak jauh dari tempatnya tutup usia.

"Saat menangani setiap fosil, kami menyadari bahwa itu berasal dari individu yang dilahirkan, tumbuh, kemudian mati," kata John W. Kappelman, dosen Antropologi dan penulis utama studi terbaru soal Lucy, seperti dikutip dari CNN, Selasa (30/8/2016).

"Namun, sungguh jarang sebuah kerangka memberikan petunjuk bagaimana individu itu meninggal," tambah dia.

Kappelman menambahkan, pihaknya mengajukan hipotesis terkait penyebab kematian Lucy. Studi terbaru tersebut mirip laporan forensik, yang membuat tulang membatu makhluk tersebut lebih terkesan hidup dari sebelumnya.

Dia menjelaskan, fosil asli dan hasil pemindaian atau CT scan patah dan retakan pada tulangnya memberikan gambaran jelas tentang apa yang terjadi pada saat-saat terakhir Lucy.

Meski proses kematian hominid atau makhluk mirip manusia itu diduga kuat berlangsung cepat, bukan berarti tanpa rasa sakit sama sekali.

Apa yang Terjadi pada Lucy?

Lucy memiliki ukuran tubuh kecil. Tingginya sekitar 3,5 kaki atau 106,7 cm, beratnya sekitar 60 pon atau 27 kilogram.

Hasil analisis pada giginya menunjukkan, ia telah memasuki masa dewasa. Namun, tak seperti simpanse, spesiesnya matang dalam usia muda. Kappelman memperkirakan ia berusia 15 atau 16 tahun.

Dengan ukuran tubuh seperti itu, predator seperti hyena, serigala dan, kucing bertaring tajam mengincarnya sebagai mangsa.

Karena itulah, Lucy diduga kuat beralih hidup di pohon -- dari waktu ke waktu demi keselamatan atau bersarang di atas pepohonan tiap malam.

Berdasarkan data, simpanse biasanya bersarang pada ketinggian 46 kaki atau 14 meter di atas tanah, posisi yang membuat mereka merasa aman.

Lucy diyakini berdiri dengan dua kaki. Lutut dan pinggangnya mirip dengan manusia modern.

Para ahli mengatakan, jika seseorang melihat Lucy berjalan dari kejauhan, siluet tubuhnya niscaya akan membuat kita berpikir ia adalah manusia.

Namun, dari dekat, akan jelas terlihat kepalanya yang kecil, dengan otak yang setara milik simpanse, lengannya yang menjulur panjang, dan bulu yang menutupi tubuhnya.

Menjembatani jarak yang senjang (gap) antara manusia dan simpanse, Lucy memiliki jari tangan dan kaki yang melengkung, pergelangan kaki yang mudah digerakkan, dan bahu yang bisa menopang berbagai gerakan.

Bahkan dengan fitur fisik seperti itu, makhluk seperti Lucy lebih punya kemampuan untuk berjalan tegak daripada memanjat.

Namun, Lucy tak punya pilihan. Ia harus naik ke atas pohon -- entah karena merasa terancam, untuk tidur aman pada malam hari, atau ingin memetik buah untuk dimakan.

Misteri kematian Lucy terkuak setelah 3 juta tahun ( John  W. Kappelman)


Apapun, Kappelman yakin, ini yang terjadi kemudian...

Dari ketinggian 14 meter, Lucy jatuh dari pohon, dalam kondisi sepenuhnya sadar. Dengan kecepatan jatuh sekitar 35 mil per jam, kakinya yang lebih dulu mencapai tanah.

Dampak dari posisi jatuh tersebut, ia mengalami patah dan retak di bagian pergelangan kaki, lutut, pinggang juga bahu. Organ-organ internalnya mungkin terkena "hydraulic ram effect".

Secara naluriah, Lucy akan menjulurkan tangan untuk menahan tubuhnya, mengurangi efek jatuh -- hal itu diduga memicu retak pada tulang tersebut. Mungkin, itu tindakan terakhirnya yang dilakukan dalam kondisi sadar.

Kemudian, makhluk tersebut berputar ke kanan, mendarat di sisi itu -- yang kemudian membuat lehernya patah dan kepalanya miring.

Dalam kondisi payah, Lucy berbaring di atas sungai yang dangkal, di bawah pohon. Jika ada air yang mengalir kala itu, mungkin itu akan memindahkan tubuhnya dengan lembut ke tempat peristirahatan terakhirnya, hingga ia ditemukan 3 juta tahun kemudian.

2 dari 2 halaman

Jejak Kematian


Jejak Kematian

Fosil Lucy yang ditemukan terdiri atas elemen tengkorak, tubuh bagian atas, tangan, kerangka aksial, panggul, tungkai bawah dan kaki.   

Sebelumnya, para ahli yakin, kerusakan atau patah pada belulangnya terjadi saat proses menjadi fosil

Namun, Kappelman mengatakan, tak semua patah atau retak terjadi setelah kematian. Menggunakan High-Resolution X-ray Computed Tomography Facility, para ahli memindai keseluruhan tulang Lucy untuk melihat lebih dekat dan jelas tulang-tulangnya.

Patah tulang humerus yang dialami Lucy memiliki jejak unik, yang oleh para ahli bedah ortopedi dikaitkan dengan cedera akibat jatuh yang dialami orang tua maupun mereka yang meluncur dari ketinggian.

Dalam kedua kasus, pasien secara naluriah mengulurkan tangan mereka untuk menahan tubuh saat jatuh.

Kappelman berkonsultasi dengan sembilan ahli bedah ortopedi, dan mereka sepakat bahwa itu adalah pertanda retak.

Secara keseluruhan, patah dan retak menunjukkan Lucy tutup usia dalam kejadian tragis. Ia pasti jatuh dari ketinggian yang lumayan ekstrem sehingga mengalami trauma separah itu.

Hal tersebut juga menunjukkan, meski punya kemampuan memanjat setinggi itu, dengan fitur tubuhnya, Lucy bukan pendaki yang mahir.

Lucy merupakan `nenek moyang` manusia dan termasuk ke dalam keluarga hominid atau kera besar (Doc: Mirror)


"Poin yang masih diperdebatkan adalah, mungkin ia mungkin memiliki sifat-sifat evolusi menjadi bipedal (makhluk yang berjalan tegak), dengan mengorbankan kemampuan memanjat dengan aman dan efisien di pohon. Dan itu berarti spesies Lucy memiliki frekuensi jatuh yang lebih sering," kata Kappelman.

Para peneliti menemukan sejumlah fosil spesies lain yang mirip Lucy yang juga memiliki cedera serupa.

Sebagai seorang profesor antropologi, Kappelman juga menerima pelatihan anatomi manusia, juga pengenalan prosedur medis dan bedah. Awalnya, ia dan timnya juga mempertimbangkan faktor lain seperti kejang, banjir, tersambar petir, atau bahkan dimangsa predator. Namun, tak ada satu pun yang cocok dengan patah tulang yang dialami Lucy.

Kappelman mengaku tersentuh dengan temuannya itu -- dengan kesadaran bahwa fosil yang ia pelajari selama 30 tahun adalah individu yang hidup. Tak sekedar objek.

Itu memberikannya perasaan empati. "Seperti menempatkan diri kita pada kematian seseorang...Seakan pergi dengan mesin waktu ke masa 3 juta tahun, sehingga kita mengamati bagaimana individu kecil ini meninggal. Dengan memahami kematiannya, bagi saya, itu membuat Lucy kian hidup."