Liputan6.com, Sao Paolo - Sekira 10 ribu pengunjuk rasa turun di jalanan di beberapa kota di Brasil. Demonstrasi itu dilakukan untuk menolak pemerintah baru.
Pusat demo terjadi di salah satu kota besar, Sao Paolo. Di kota tersebut ada sekitar 50 ribu orang yang ikut serta dalam unjuk rasa.Â
Advertisement
Baca Juga
Awalnya demo tersebut berjalan dengan damai. Namun, tiba-tiba polisi melemparkan granat listrik, gas air mata dan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Akibat tindakan tersebut, aksi damai itu berubah ricuh. Perlawanan pun dilakukan pendemo meneriakkan tuntutan meminta Presiden baru Brasil Michel Temer mundur.
Sesaat setelah kericuhan berhasil diredakan, Kepolisian Brasil segera mengeluarkan pernyataan terkait penggunaan aksi represif tersebut. Mereka berdalih, langkah itu diambil demi mencegah aksi vandalisme.
Merespons demo besar memintanya mundur, Presiden Temer yang tengah ada di China, menyatakan tak mau ambil pusing.
Dia menegaskan, yang melancarkan protes hanya lah sebagian kecil warga Brasil. Gerakan anti pemerintah pun, kata Temer, sama sekali tidak populer di negaranya.
"Mereka sama sekali tidak mewakili populasi kami yang 204 juta orang," sebut Temer seperti dikutip dari BBC, Senin (5/9/2016).
Walau Pemerintah Brasil mengatakan demo sama sekali tak mengganggu pemerintahan, seorang pengunjuk rasa Gustavo Amigo tetap bersikeras meminta pemilu segera digelar. Alasannya, otoritas yang memerintah saat ini adalah ilegal.
"Melalui demo kami menunjukkan warga Brasil tetap punya kekuatan meski ada kudeta yang melanda, kami ada di jalanan kami akan gulingkan pemerintahan menyerukan pemilu cepat dilaksanakan," ucap Amigo.
Dalam beberapa bulan belakangan kondisi politik di Negeri Samba dilanda krisis. Ujungnya, Presiden Dilma Roussef lengser dari jabatannya.
Tokoh dari kaum buruh itu digantikan Wakil Presidennya Michel Temer. Pria 75 tahun tersebut dilantik Senat Brasil pada pekan lalu.
Sampai sekarang kondisi di Brasil masih jauh dari kata kondusif. Pasalnya, loyalis Roussef masih belum menerima penggulingan tersebut dan terus menuding aksi itu sebagai kudeta.