Liputan6.com, Mogadishu - Fadumo Dayib meninggalkan Mogadishu, Somalia sekitar 26 tahun lalu akibat perang saudara. Sekarang, ia berjanji untuk kembali ke negaranya sebagai presiden perempuan pertama.
Perang saudara di Somalia yang terjadi 26 tahun lalu membuat sebuah keluarga di Mogadishu terpaksa menjual segala harta benda. Demi keselamatan sang putri, mereka mengirimnya ke luar negeri.
Baca Juga
Remaja berusia 18 tahun itu akhirnya tiba di Eropa utara sebagai pencari suaka yang miskin dan berpendidikan rendah. Dayib, nama panggilannya. Ia tinggal di Finlandia sejak 1990 dan kini sosoknya bertransformasi menjadi ahli kesehatan masyarakat dan aktivis pemenang penghargaan.
Advertisement
Perempuan berusia 44 tahun itu akan kembali ke negaranya, mewujudkan mimpinya menjadi presiden perempuan pertama Somalia. Ia bertekad mengakhiri pembunuhan dan korupsi serta membawa tanah kelahirannya menuju stabilitas dan kemakmuran.
Dayib dilaporkan akan ikut serta dalam pemilu presiden Somalia yang akan berlangsung pada Oktober mendatang. Ini adalah langkah besar mengingat ancaman kematian mengintainya, sementara di lain sisi ia juga mendapat dukungan yang cukup besar.
Kesempatannya untuk menang dalam pilpres mendatang diakui Dayib sangat kecil bahkan nol. Namun ia memiliki keyakinannya sendiri.
"Siapa pun yang kompeten dan berkualitas, mereka tidak akan pernah menang. Jika Anda tidak korup, Anda tidak akan masuk ke dalam sistem. Aku tidak akan pernah membayar satu sen kepada siapa pun meski kemungkinanku untuk menang tidak ada," kata Dayib seperti Liputan6.com kutip dari The Guardian, Jumat (9/9/2016).
Meski demikian, kampanye Dayib dinilai cukup sukses 'membuka mata' rakyat Somalia. Mereka mulai mengenal sosoknya, diskusi yang lebih luas tentang kaum perempuan juga mulai sering dilakukan, dan setidaknya kurang lebih 11 juta rakyat negara itu tahu bahwa mereka memiliki calon alternatif.
"Pada 2020 kami akan memiliki pemilu yang demokratis dan kami akan menang. Banyak rakyat Somalia yang sekarang terkejut, mereka tidak tahu aku muncul dari mana tapi berani menantang mereka yang berkuasa. Dan sekarang orang-orang di dalam negeri tahu siapa aku," jelas perempuan itu.
Dayib lahir di Kenya, namun orangtuanya berasal dari Somalia. Ibunya terpaksa meninggalkan negara itu demi mencari perawatan medis yang lebih baik setelah 11 saudara Dayib meninggal akibat sebuah penyakit.
Pada 1989 keluarga itu diusir dari Kenya. Lantas mereka pindah ke Mogadishu sebelum akhirnya negara itu dilanda perang saudara.
Di Finlandia, Dayib belajar ilmu keperawatan. Ia juga melatih spesialis kesehatan untuk PBB. Tak hanya itu, anak pengungsi itu kemudian meraih gelar doktor dan mendapat beasiswa untuk menimba ilmu di Harvard University.
"Aku pijakkan kakiku di tanah, berlari, dan tak akan pernah berhenti. Aku tidak ingin berasimilasi dan kehilangan budaya atau agama, namun aku ingin berintegrasi. Aku berusaha mengkombinasikan yang terbaik dari budayaku dan juga budaya Finlandia. Aku pun tak ingin berada di sini selamanya. Suatu waktu aku tahu aku akan kembali ke Somalia, belajar banyak hal tentang negara itu," tutur Dayib.
Platform kebijakan Dayib di antaranya memberlakukan sistem klan dan tradisi seperti menyunat alat kelamin perempuan, anti-korupsi, meminta negara-negara tetangga menghormati integritas Somalia dan melakukan dialog dengan al Shabaab jika kelompok itu bersedia meletakkan senjata.
Ia juga bertekad menghentikan aksi pembunuhan dan memutus hubungan negaranya dengan organisasi teroris internasional.
Terkait dengan ancaman pembunuhan yang mengintainya, ia memiliki tanggapan tersendiri.
"Aku datang dari sebuah masyarakat di mana perempuan nyaris 'tidak ada', tidak ditanggapi secara serius. Mereka yang mengancam menyadari bahwa saya memiliki kemampuan untuk membawa perubahan," imbuhnya.
Pemilu Dibayangi Kekacauan
Terdapat sekitar 18 calon presiden yang akan bertarung dalam pilpres mendatang termasuk di antaranya petahana yang telah berkuasa sejak 2012, Hassan Sheikh Mohamud. Dayib diketahui adalah satu-satunya perempuan yang mencalonkan diri.
Selama ini, sejumlah pihak mendesak diselenggarakannya pemilu yang demokratis di Somalia. Nantinya, presiden negara itu masih akan dipilih oleh anggota majelis nasional bikameral yang terdiri dari 14.000 delegasi. Mereka ditunjuk oleh tetua suku.
Analis memperkirakan, pemilu nantinya sebagai 'batu loncatan' menuju hak pilih yang universal hingga pemilihan yang benar-benar demokratis akan tercapai pada 2020.
Puluhan tahun sudah Somalia didera konflik. Sektor ekonomi negara itu berada dalam kondisi memprihatinkan sebab sebagian besar rakyatnya dijerat kemiskinan.
Situasi tersebut diperparah dengan isu keamanan di mana kelompok al Shabaab kerap melancarkan aksi teror mematikan. Mereka bahkan telah bersumpah akan menganggu proses pemilu.
"Ini akan menjadi proses yang panjang dan lambat bagi Somalia untuk mengatasi tantangan besar dan kemampuan mereka masih diragukan. Namun negara ini memiliki peluang dalam dua dekade terakhir untuk bergerak ke arah stabilitas," tulis Joshua Meservey, analis dari The Heritage Foundation.
Sementara itu, analis lainnya skeptis bahwa pemilu dapat berbuat banyak untuk mengatasi persoalan di dalam negeri. Beberapa bahkan mengharapkan agar pemilu ditunda kembali meski ini diyakini dapat memicu krisis konstitusional dan akan mempengaruhi kebijakan negara-negara pendonor yang telah menggelontorkan dana ke Somalia dalam beberapa tahun terakhir.
Advertisement