Liputan6.com, Washington. D.C - Selain insiden Pearl Harbor, salah satu tragedi memilukan lainnya yang tercatat dalam sejarah Amerika Serikat adalah insiden hancurnya gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Kedua kejadian itu secara taktik merupakan kemenangan bagi pihak musuh AS.
Namun ada yang berbeda dari kedua malapetaka besar itu. Jepang mencatat kemenangan mutlak atas pelabuhan Pearl Harbor pada Perang Dunia I.
Advertisement
Baca Juga
Tapi berselang 4 tahun dari kejadian tersebut, AS berhasil membuat Negeri Sakura itu bertekuk lutut pada Perang Dunia II.
Sementara itu, salah satu kelompok teror, AlQaeda, menyerang WTC dari udara 15 tahun yang lalu tepatnya pada 11 September 2001 pagi waktu setempat.
Kelompok tersebut membajak pesawat penumpang dan menabrakkannya ke gedung yang juga dikenal dengan sebutan Twin Tower itu. Insiden itu membuat seluruh warga AS bahkan dunia terkejut dan berduka.
Banyak yang tidak percaya bahwa negara adidaya dunia itu dapat 'dilumpuhkan' oleh kelompok teroris kecil itu.
Kejadian itu menimbulkan kerugian besar bagi negara yang kala itu dipimpin oleh George W Bush. Setidaknya 3.000 orang tewas dan AS mengalami kerugian ribuan juta dolar.
Walaupun begitu, ada kegagalan dalam serangan yang dilakukan oleh empat orang bomber Al Qaeda itu.
Rencana awal kelompok itu adalah melumpuhkan sejumlah tempat penting di AS, yaitu WTC, Pentagon, dan Washington D.C.
Namun strategi kelompok yang dipimpin oleh Osama Bin Laden itu tidak berjalan lancar. Seperti dikutip dari CNN, Minggu (11/9/2016), serangan ketiga yang ditujukan ke Washington D.C gagal mendarat di lokasi yang telah ditentukan.
Hal tersebut membuat apa yang diinginkan oleh Osama tidak terpenuhi seutuhnya. Jika AS berhasil mengklaim kemenangannya setelah pasca-perang Pearl Harbor, negeri Paman Sam masih harus bertempur melawan teroris setelah insiden 9/11.
Setelah kemenangan AS melumpuhkan pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden, pasukan Amerika masih harus melanjutkan pertempuran melawan ISIS.
Harapan Osama Bin Laden
Osama berharap bahwa dengan menyerang AS akan membuat pimpinan negara itu menarik pasukannya yang sedang membantu menyelesaikan konflik di Timur Tengah.
Bos Al Qaeda itu percaya bahwa dengan mundurnya AS, hal tersebut dapat membuat rezim Arab hancur dan digantikan oleh pemimpin Taliban.
Secara khusus, dia ingin menekan pasukan bantuan yang berada di Arab Saudi. Memang, Osama bertujuan untuk melangsirkan keluarga kerajaan Arab.
Satu bulan setelah serangan 9/11 dalam sebuah rekaman video, Osama mengatakan menyampaikan pesan yang berkaitan dengan insiden nahas tersebut.
"Tidak akan ada warga AS atau pun orang yang hidup di negara itu akan bermimpi aman sebelum kami merasakan keamanan itu di Palestina," kata Osama.
Belakangan diketahui bahwa video tersebut diambil pada 7 Oktober 2001, bersamaan dengan hari di mana AS berkampanye menentang Taliban dan Al Qaeda di Afganistan.
Dua bulan kemudian Taliban dimusnahkan dari Afganistan. Beberapa minggu kemudian anggota kelompok teror yang berhasil selamat dari serangan udara AS itu melarikan diri ke Irak dan Pakistan.
Keangkuhan dan Kesalahan Strategi
Osama Bin Laden: AS itu 'Macan Kertas'
Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh Osama adalah dia salah menilai respon AS setelah insiden 9/11.
Dia melakukan serangan tersebut dengan beranggapan bahwa AS adalah negara yang 'lemah'.
"AS itu seperti macan kertas. Mereka hanya bicara dan membual soal kekuatan," kata Osama mengomentari mundurnya pasukan militer negeri Paman Sam dari Vietnam pada 1970-an, Lebanon pada awal tahun 1980-an, dan Somalia pada 1993.
Dengan sombong Al Qaeda berpikir bahwa serangan ke WTC dan Washington akan membuat AS menarik pasukan dari Timur Tengah.
Alih-alih menarik mundur pasukan, pasukan AS malah memukul jatuh Taliban dan Al Qaeda yang berbasis di negara Arab, terutama Afganistan.
Bertahun-tahun setelah serangan 9/11, AS semakin memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah. Seperti mendirikan basis di Bahrain, Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab, serta 'menduduki' Afganistan dan Iraq.
Serangan drone CIA pun banyak membasmi pimpinan Al Qaeda. Organisasi itu juga memimpin penyerangan ke markas Osama bersama dengan angkatan laut AS, SEAL.
Penyergapan di Abbottabad, Pakistan tersebut berakhir dengan tewasnya Osama bin Laden, dalang teror  serangan 9/11.
Hal tersebut mengakibatkan Al Qaeda tidak memiliki kesempatan untuk menyerang AS lagi setelah 9/11. Kelompok tersebut hampir menemui 'akhir hayatnya'.
Kekalahan tersebut diakui oleh seorang anggota Al Qaeda dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Khalid Syeik Mohammmed, komandan operasi 11 September 2001.
Surat tersebut berbunyi, "Dengan mempertimbangkan semua bencana fatal yang berturut-turut menimpa kita dalam jangka waktu yang tidak lebih dari enam bulan. Kita mengalami kemunduran demi kemunduran, dari kemalangan hingga bencana."
Strategi yang Membawa Bencana
Pada 2001 seorang teroris yang telah dikenal Osama sejak 1980-an, al Suri, merilis sejarah kelompok tersebut di dunia maya. Al Suri mendeskripsikan strategi penyerangan 9/11 sebagai sebuah 'bencana' bagi Taliban dan Al Qaeda.
"AS telah menghentikan pergerakan yang telah kami kembangkan dari 1970-an dan 1980-an di Afganistan. Setelah 9/11 semua usaha kami hancur berantakan," kata al Suri.
Walaupun begitu, terlepas dari kenyataan bahwa serangan 15 tahun yang lalu itu 'menghancurkan' kelompok teror tersebut, seorang komandan militer A Qaeda, Saif al-Adel, bersikeras mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan sebuah skema pintar untuk memprovokasi AS untuk membuat kesalahan.
"Penyerangan seperti itu akan membuat orang mengambil tindakan acak dan memicu mereka melakukan kesalahan yang serius dan fatal. Reaksi pertama adalah invasi di Afganistan," ujar al-Adel dalam sebuah wawancara.
Walaupun begitu tidak ada bukti yang mengatakan bahwa pimpinan Al Qaeda mempersiapkan diri untuk 'menerima' serangan balik AS di Afganistan. Mereka malah mengosongkan kamp training, karena beranggapan AS akan meluncurkan serangan misil ke tempat itu.
Advertisement