Sukses

Janji Hillary Versus Retorika Donald Trump Soal Sains

Bagaimana dua capres AS, Hillary Clinton dan Donald Trump menyikapi soal sains. Siapa yang lebih melek ilmu pengetahuan?

Liputan6.com, New York - Pemilihan presiden AS hanya tinggal 2 bulan lagi. Begitu banyak yang dipertaruhkan warga AS, juga penduduk Bumi. Salah satu yang dicermati adalah bagaimana tiap kandidat dapat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan sains.

Meskipun hanya sedikit hal tentang ilmu sains dan kebijakan tentang ilmu pengetahuan dibicarakan secara langsung, baik kandidat partai Demokrat Hillary Clinton dan calon dari partai Republik Donald Trump memiliki situs resmi berisi daftar isu-isu kebijakan utama, dan bagaimana mereka akan mengatasinya.

Hillary Clinton, sebagaimana hasil penyelidikan The Guardian yang dikutip oleh Liputan 6.com, pada Jumat (16/9/2016) telah memberikan sejumlah pernyataan yang secara luas mendukung sains dan riset ilmiah.

Setidaknya tujuh isu penting di situs Hillary yang secara langsung terkait dengan ilmu pengetahuan dan penelitian.

Hillary menyebutkan tentang pencegahan dan penanganan Alzheimer dan penyakit-penyakit terkait, serta alokasi US$ 2 miliar per tahun untuk riset dalam bidang tersebut.

Mantan Menlu AS itu juga memiliki rencana serupa untuk studi tentang autisme dan HIV/AIDS, dengan komitmen untuk menghapuskan AIDS di AS dan negara-negara lain. Mantan Ibu Negara ini secara spesifik mengundang investasi pada penelitian perilaku otak sebagai untuk secara luas mendukung penelitian tentang perkembangan otak dan perilaku manusia.

Ia juga mendukung riset tentang kecanduan dan penyalahgunaan narkoba, sebagai bagian dari rencana menyeluruh untuk mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat AS saat ini.

Selain itu, terdapat tujuan umum untuk meningkatkan teknologi dan inovasi, yang sejalan dengan ilmu pengetahuan. Calon presiden wanita pertama AS ini juga telah mengungkapkan rencana untuk melindungi flora dan fauna, serta memastikan bahwa taman nasional dan wilayah perlindungan margasatwa tidak diprivatisasi.

Lalu, Hillary juga membuat rencana penting untuk mengatasi ancaman perubahan iklim dan pemanasan global. Situs webnya juga mendata berbagai isu utama yang terkait dengan masalah kebijakan sains, termasuk perawatan kesehatan, Medicare, cuti keluarga dan medis dengan gaji, dan sebagainya.

2 dari 2 halaman

Apa yang Akan Dilakukan Donald Trump?

Sebaliknya, Donald Trump, hanya memiliki susunan daftar kebijakan dalam jumlah minim dan agak 'amatiran' di situs webnya. Tidak ada satu pun yang membicarakan soal sains.

Seperti apa 'kepiawaian' Trump dalam membedah isu sains dan pengetahuan umum? Berikut 5 isu di mana pengusaha tajir menyikapinya:

1. Pemanasan Global

Menjadi rahasia umum bahwa bagi para anggota partai Republik, pemanasan global adalah isapan jempol belaka. Tak terkecuali Donald Trump. 

"NBC News mengabarkan tentang kebekuan besar -- cuaca terdingin selama ini. Apa negara kita masih mengeluarkan uang untuk tipuan pemanasan global," kata dia.

Cuitan semacam itu, ditambah dengan beberapa lagi yang mengklaim bahwa pemanasan global adalah tipuan China untuk menghalangi perusahaan manufaktur Amerika, seperti merefleksikan ketidaksukaannya yang mendalam akan sains tinjauan sejawat, dan keyakinannya bahwa ia lebih banyak tahu daripada para ahli.

2. Faksi Penyebab Autisme

Trump kemudian menegaskan ketidakpercayaannya akan fakta ilmiah, dengan menyatakan, dalam debat kandidat capres Partai Republik, bahwa imunisasi menyebabkan autisme.

"Kita mengalami banyak kejadian, pegawai di kantor saya, hanya beberapa hari lalu, (memiliki anak) berusia dua tahun, anak yang cantik, mendapat imunisasi dan kembali, lalu seminggu kemudian panas tinggi, sakit parah, dan kini dia menderita autisme."

Ia juga mencuitkan, "Banyak sekali yang merespon tentang autisme dan vaksin. hentikan dosis tinggi vaksin, segera. Berikan satu suntikan saja yang akan menyebar! Tak ada salahnya mencoba, bukan?"

Donald Trump tidak memiliki gelar doktor dalam bidang kedokteran, epidemiologi, imunologi, atau ilmu otak dalam kualifikasinya.

Komentarnya tentang menyebarkan dosis vaksin berasal dari takhayul, bukan pandangan yang terkonfirmasi.

Tidak terdapat bukti ilmiah yang mendukung pendapat bahwa dosis vaksin, atau waktu antara imunisasi, menyebabkan autisme.

Bahkan, percobaan, data, riset, pengalaman, dan statistik selama bertahun-tahun telah menghasilkan rekomendasi dari Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) dan Asosiasi Dokter Anak Amerika untuk melakukan imunisasi.

3. Rokok Tidak Mematikan

Banyak yang membahas tentang kesehatan kedua kandidat, dengan Hillary dan Trump yang masing-masing berusia 68 dan 70 tahun.

Diagnosis penyakit paru-paru basah yang dialami Hillary baru-baru ini serta pembatalan sejumlah agenda acaranya dalam beberapa hari ke depan, mempertegas risiko kematian kandidat presiden yang termasuk manula ini. Maka, akan bermanfaat jika kita juga melihat pernyataan yang dibuat oleh dua calon wakil presiden.

Sementara Tim Kaine dari Partai Demokrat secara garis besar sejalan dengan Hillary.

Namun, Mike Pence dari partai saingannya telah membuat beberapa pernyataan yang bahkan melampaui apa yang dinyatakan Trump. "Kini saatnya untuk melihat kenyataan," tulis Mike.

"Meski para politisi dan media histeris, merokok tidak menyebabkan kematian. Dua dari tiga perokok tidak meninggal karena penyakit yang disebabkan merokok."

Jadi, menurut Mike, merokok tidak menyebabkan kematian, namun sepertiga dari populasi memang tewas karena merokok. Mungkin seharusnya Mike Pence yang melihat kenyataan.

 4. 9/11

Pemilu tahun ini tidak seperti pemilu lain sepanjang sejarah AS. Yang lebih penting dari sekedar kebijakan adalah dasar yang membangun ilmu pengetahuan yaitu kebenaran. Sains, sebagian besar, bersifat obyektif, berdasarkan fakta dan penjelasan yang dapat diberikan berdasarkan fakta-fakta tersebut.

Seiring dengan munculnya fakta baru, model dapat dimodifikasi atau diperluas. Atau direvisi seluruhnya. Namun, setiap model/teori/hipotesa harus selalu sesuai dengan fakta. Dan sementara semua politisi cenderung menambah-nambah dan membelokkan fakta hingga batas tertentu, Donald Trump, tak mengindahkan fakta dan malah mempromosikan kebohongan.

Pesawat-pesawat terbang yang dibajak berisi bahan bakar penuh untuk penerbangan lintas negeri tersebut. (Sumber SBS)

Paul Krugman, dari New York Times, menulis artikel opini berjudul Teknik Kebohongan Besar Donald Trump.

Dalam tulisannya, Paul menjelaskan bagaimana Trump secara berulang-ulang berbohong tentang hal-hal yang jelas-jelas keliru, dan saat disanggah, dia masih terus mengulanginya.

Salah satu contohnya, adalah saat Donald bersikeras bahwa ia menentang perang di Irak. Namun, satu-satunya pernyataannya yang telah terekam sebelum terjadinya penyerangan justru bahwa ia mendukungnya.

Atau pernyataan Trump bahwa ia melihat ribuan Muslim bersorak-sorai di Jersey City setelah peristiwa 9/11. Paul berhipotesis bahwa jumlah kebohongan yang demikian besar dari Donald Trump, telah membuat masyarakat dan wartawan Amerika sangat kewalahan, sampai-sampai mereka tidak lagi berusaha membantah kebohongan yang dilontarkannya kemarin karena mereka begitu sibuk membahas kebohongan-kebohongannya hari ini.

5. Hobi Teori Konspirasi

Taipan real-estat ini bukan saja sangat mahir berbohong, ia juga gemar menyebar isu berbau teori konspirasi. Ia sering menggunakan kalimat pembuka seperti "Orang-orang mengatakan pada saya bahwa..." untuk menyebar gosip dan kebohongan.

Ia membicarakan reaksi Presiden Obama terhadap serangan di sebuah klub malam di Orlando dengan menggunakan frasa seperti "Ada sesuatu yang disembunyikan," seolah-olah mensinyalir bahwa presiden merupakan bagian dari konspirasi yang melibatkan penembakan massal itu. Dan kemudian ia menggantungkannya dan melihat para asistennya mempromosikan konspirasi tersebut.

Seorang kandidat yang memiliki hubungan yang begitu jauh dan tidak harmonis dengan kebenaran tidak akan baik bagi sains, baik ia memiliki kebijakan kuat yang mendukung sains atau tidak, dan Donald tidak memilikinya. Namun, sains berfungsi sebagai miniatur untuk segala hal lainnya.

Jika seorang kandidat menolak untuk menerima nasihat dari mayoritas pakar dalam bidang sains, seperti yang dapat membantah adanya hubungan antara autisme dan imunisasi, lalu apakah kandidat ini akan memperdulikan para pakar kebijakan luar negeri tentang urusan internasional?

Atau pendapat para jendral berpengalaman tentang isu-isu militer? Dan nyatanya, ia sudah menyatakan bahwa, "Saya lebih mengerti tentang ISIS dibandingkan para jenderal."

Mungkin, kekhawatiran paling besar akan pencalonan Trump adalah bahwa ini menandakan era baru yang disebut sebagian orang sebagai "politik pasca-kebenaran".

Jika kebenaran sudah tidak berarti lagi bagi para pemilih di Amerika, maka para ilmuwan sebaiknya juga mengemas mikroskop dan tabung percobaan mereka, lalu mencari pekerjaan baru. Namun, sejumlah pihak berpendapat, masih ada dua bulan sebelum pemilihan, dan masih ada waktu untuk mengampanyekan fakta, kebenaran, dan ilmu pengetahuan.