Liputan6.com, Manila - Seorang mantan death squad alias tentara pembunuh baru saja mengumumkan bahwa ia adalah algojo setia Rodrigo Duterte kala ia masih menjabat Wali Kota Davao.
Di depan sidang senat, mantan milisi Edgar Matobato mengaku Duterte yang kini Presiden Filipina memerintahkan kelompoknya untuk membunuh kriminal, kelompok agama tertentu, hingga oposisi politik selama Duterte memimpin Davao.
Baca Juga
Quincy Kammeraad, Kiper Filipina yang Gawangnya Kebobolan 7 Kali oleh Timnas Indonesia 7 Tahun Lalu Kini Jadi Pahlawan di Piala AFF 2024
Harga Mentereng Kristensen, Pemain Filipina yang Pupuskan Asa Indonesia di Piala AFF 2024
Piala AFF 2024 Sedang Berlangsung, Tonton Live Streaming Pertandingan Timnas Indonesia VS Filipina di Sini
Atas "kekejiannya" itulah, Rodrigo Duterte diberi nama The Punisher alias sang penghukum. Hal itu disebabkan karena kebiasaannya yang menggunakan kekerasan, bahkan mencabut nyawa siapa saja yang melanggar ketentuannya.
Advertisement
Semenjak Duterte menjadi orang nomor satu pada Juni, lebih dari 3.000 orang yang diduga pengguna dan pengedar obat bius tewas ditembak mati oleh petugas keamanan dan kelompok milisi. Hal itu membuat komunitas internasional mempertanyakan sistem pengadilan yang adil, yang sejatinya menjadi hak para terhukum. Demikian dilansir The Independent, Jumat (16/9/2016).
Di depan anggota senat dan disiarkan oleh TV, mantan anggota milisi, Edgar Matobato, membeberkan bukti kelompoknya terlibat pembunuhan.
Pria berusia 57 tahun itu mengaku terlibat dengan 50 kasus penculikan dan pembunuhan. Termasuk penculikan pemimpin geng yang kemudian dijadikan mangsa buaya pada tahun 2007.
"Pekerjaan kami adalah untuk membunuh para kriminal seperti pengguna narkoba, pemerkosa dan perampok," kata Matobato kepada anggota perlemen. Ia menambahkan, tak semua yang dibunuh adalah kriminal melainkan mereka yang melawan Duterte, atau berseberangan dengan salah satu anak laki-laki sang penguasa.
"Itu sebabnya, ia dipanggil sang penghukum," klaim Matobato.
Matobato mengklaim bahwa ia direkrut oleh Duterte pada tahun 1988 dan keterlibatannya berakhir pada 2013 ketika ia meningkalkan kelompok pembunuh bayaran, "Lambada Boys", yang diduga membunuh lebih dari 1.000 orang.
Matobato mengklaim ia melempar granat ke Masjid Bangkehoran pada 1993. Tapi untung tak ada yang tewas. Ia juga menambahkan Davao Death Squad menculik dan membunuh sejumlah pria muslim dan menguburkan mereka di lahan kosong.
Disanggah
Kendati telah membuat pengakuan secara terbuka, pemerintah menolak kesaksian itu. Salah satu menteri kabinet Duterte mengatakan pengakuan itu "bohong dan dibuat-buat".
"Jelas ia tak berbicara benar," kata Menteri Kehakiman, Vitaliano Aquirre.
Sementara, juru bicara presiden, Martin Andanar mengatakan investigasi kelakuan presiden selama menjabat wali kota sudah melebar ke arah fitnah.
"Saya pikir ia (Duterte) tak mampu memberikan instruksi seperti itu. Bahkan Komnas HAM Filipina gagal mencari bukti keberadaan Davao Death Squad," kata Andanar.
Sementara itu, perwakilan kota Davao, Prospero Nograles menantang Matobate untuk membuktikan kebenarannya.
"Saya tak tahu apa yang dibicarakan pria itu. Saya hanya menduga pria itu dimanipulasi untuk berkata seperti itu oleh beberapa orang yang hanya ingin menonjolkan keinginannya saja."