Liputan6.com, Berlin - Karl Plagge lahir pada 1897. Tubuhnya 'tak sempurna' sesuai dengan kriteria Nazi. Ia menderita cacat permanen setelah tertular polio saat berada di tahanan selama Perang Dunia I.
Meski demikian, otak pria itu cemerlang. Plagge lulus dengan gelar di bidang teknik dan kemudian memperoleh gelar master dalam kimia farmasi dari Universitas Frankfurt am Main pada 1932.
Plagge kemudian menjalankan sebuah laboratorium medis di rumah ibunya untuk membantu keuangan keluarganya yang sedang mengalami krisis. Ia mempertaruhkan hidupnya dengan mengobati pasien Yahudi dan berulang kali mengutuk praktik ilmu pengetahuan yang rasis.
Advertisement
Sebagai seorang veteran Perang Dunia I, awalnya ia tertarik dengan janji-janji Adolf Hitler dan Partai Nazi untuk membangun kembali ekonomi Jerman dan kebanggaan nasional.
Kala itu Jerman melewati tahun-tahun sulit setelah menandatangani Perjanjian Versailles--perjanjian damai yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia I.
Dikutip dari The Vintage News, Senin (19/9/2016), Plagge kemudian bergabung dengan Partai Nazi pada 1931 dan bekerja untuk melakukan peremajaan nasional. Namun, ia mulai mengalami konflik dengan pimpinan partai lokal karena menolak untuk mengajarkan soal teori rasis.
Di Partai Nazi, Karl Plagge merupakan komandan HKP Unit 562 di Vilnius (bengkel kendaraan). Ia merupakan sosok yang liberal dalam pemberian sertifikat kerja dan tak membeda-bedakan kaum Yahudi.
Plagge juga menyediakan sertifikat atau izin kerja tiruan untuk menyelamatkan orang Yahudi dari penjara dan kemudian memindahkan mereka untuk bekerja di unitnya.
Izin kerja tersebut melindungi para pekerja, istri dan dua anak mereka dari sweeping yang dilakukan SS Nazi--organisasi keamanan dan militer--yang dilakukan di Vilna Ghetto, di mana orang Yahudi yang tak memiliki sertifikat itu akan ditangkap dan dibunuh di dekat tempat eksekusi Panerial (Ponary).
Plagge mengeluarkan sekitar 250 izin kepada pria, orang-orang yang tak memiliki kemampuan mekanik, dan melindungi lebih dari 1.000 pria, wanita, dan anak-anak Yahudi dari eksekusi dari tahun 1941 hingga pertengahan 1944.
Plagge juga mendukung kelangsungan hidup mereka dengan melakukan pengadaan ransum makanan tambahan dan memasok makanan hangat untuk pekerja di bengkelnya. Ia juga mengizinkan pekerja laki-laki Yahudi untuk bertukar makanan dengan anak buahnya dalam bengkel sehingga mereka bisa menyelundupkan makanan ke keluarganya di ghetto--pemukiman kaum Yahudi.
Pria mulia itu juga membantu kelangsungan orang-orang Yahudi di bawah wewenangnya dengan memberikan sejumlah komoditas langka, seperti pakaian hangat, obat-obatan, dan kayu bakar.
Pada beberapa kesempatan, ia dan petugasnya membantu mengamankan kebebasan beberapa pekerja atau anggota keluarga mereka yang ditangkap selama SS melakukan sweeping di ghetto.
Plagge Terus Melanjutkan Upayanya
Karena Plagge terus menolak ajaran rasis Nazi, ia dituduh sebagai 'teman Yahudi dan Freemason' oleh kemimpinan Darmstadt Nazi lokal pada 1935. Jabatannya juga dihapus oleh aparat setempat.
Pada musim panas 1944, Tentara Soviet maju ke pinggirian Vilnius. Pasang surut perang tersebut membawa sukacita sekaligus rasa takut bagi kaum Yahudi yang masih hidup di kamp HKP, yang memahami bahwa SS akan mencoba membunuh mereka di hari-hari terkahir sebelum Jerman mundur.
Pada 1 Juli 1944, Mayor Plagge memasuki kamp HKP dan membuat pidato informal di depan para tahanan Yahudi yang berkumpul di sekelilingnya. Di hadapan petugas SS, ia mengatakan kepada orang-orang Yahudi bahwa ia dan anak buahnya sedang direlokasi ke barat, namun ia tak memiliki izin untuk membawa pekerja Yahudi yang terampil bersama dengan unitnya.
Namun Plagge mengatakan kepada tahanan untuk tak khawatir, karena mereka juga akan direlokasi pada 3 Juli dan dikawal oleh SS yang mereka tahu merupakan sebuah organisasi yang ditujukan untuk perlindungan pengungsi.
Setelah perang, Karl Plagge kembali ke rumahnya di Darmstadt, Jerman, di mana ia ditahan pada 1947 sebagai bagian dari proses denazifikasi--inisiatif sekutu untuk membebaskan sisa-sisa ideologi Nazi.
Beberapa mantan tawanan di kamp Stuttgart mendengar dakwaan terhadap dirinya. Mereka pun mengirim perwakilan untuk memberikan kesaksian. Inisiatif tersebut pun mempengaruhi hasil pengadilan Plagge.
Pengadilan ingin memberi penghargaan kepada Plagge dari Entlasteter (orang tak bersalah), namun berdasarkan keinginannya sendiri ia digolongkan sebagai Mitläufer (pengikut). Setelah menjalani masa percobaan, Plagge mengabiskan sisa hidupnya dengan tenang di Darmstadt sebelum meninggal pada Juni 1957.
Semasa hidupnya, Plagge menyelamatkan sekitar 20 hingga 25 persen dari orang-orang Yahudi yang dipekerjakannya. Sebanyak 250 sampai 300 kaum Yahudi yang masih hidup dari kamp HKP merupakan korban selamat terbesar dari genosida di Vilnius.
Advertisement