Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina Rodrigo Duterte berniat memperpanjang "perang" yang ia kobarkan untuk mengatasi kejahatan narkoba yang merajalela di negaranya.
Ia minta waktu enam bulan lagi untuk "meletakkan segala sesuatu sesuai aturan".
Mantan Wali Kota Davao itu mengaku awalnya tak menyadari betapa berat permasalahan tersebut, sebelum ia menjadi presiden.
"Masalahnya...aku tak bisa membunuh mereka (penjahat narkoba) semua...meski aku menginginkannya," kata Duterte Sabtu lalu, seperti dikutip dari CNN, Senin (19/9/2016).
"Aku tak habis pikir, ternyata ada ratusan ribu orang yang terlibat dalam bisnis narkoba. Yang lebih buruk lagi, bisnis itu dioperasikan orang-orang di pemerintahan--terutama mereka yang ada dalam posisi terpilih."
Duterte dituduh memerintahkan atau mendorong pembunuhan pada para terduga pengedar dan pengguna narkoba sejak menjabat sebagai presiden pada Juni lalu.
Komentar tersebut disampaikan Duterte dalam konferensi pers pembebasan sandera Abu Sayyaf asal Norwegia, dua hari setelah Edgar Matobato--yang mengaku sebagai tukang pukul Duterte, bersaksi di depan komite senat.
Baca Juga
Matabato mengaku sebagai anggota dari pasukan pembunuh yang diperintahkan untuk menghabisi para pengedar narkoba atas perintah Duterte saat ia menjadi Wali Kota Davao antara 1988 dan 2013.
Juru bicara Duterte membantah bahwa presidennya mendukung pembunuhan ekstrayudisial.
Namun, Human Rights Watch mengatakan, penyelidikan independen perlu dilakukan untuk menentukan sejauh mana peran Duterte dalam pembunuhan ekstrayudisial itu.
Sejauh ini, perang terhadap narkoba membuat Duterte populer di kalangan warga Filipina, dan sebaliknya, membuat sosoknya menuai kritik dari pihak luar.
Pernyataan bombastis, tindakan, dan sikap temperamental Duterte membuat hubungannya dengan Amerika Serikat dan Australia, dua sekutu kunci Filipina, tegang.
Advertisement
Duterte juga mengancam akan menarik Filipina keluar dari PBB, menyusul kritik Perserikatan Bangsa-Bangsa soal tindakan kerasnya melawan narkoba.