Liputan6.com, Naypyidaw - Dua remaja perempuan di Myanmar mengaku disekap dan disiksa selama lima tahun di sebuah toko penjahit. Mereka berhasil dibebaskan dengan bantuan seorang jurnalis.
Pengakuan mengejutkan muncul dari pihak kedua keluarga remaja tersebut. Mereka mengklaim telah beberapa kali melaporkan peristiwa itu kepada polisi, namun berkali-kali pula laporan mereka tidak digubris.
Seperti dilansir BBC, Jumat (23/9/2016) kedua remaja ini berhasil bebas pada pekan lalu. Dan setelah kasus ini mencuat sebagai berita utama di media massa pada Rabu lalu, polisi baru bergerak menangkap sang penjahit dan dua anaknya.
Advertisement
Kedua perempuan itu diketahui baru berusia 11 dan 12 tahun ketika dikirim orangtua mereka ke Yangon untuk bekerja sebagai pembantu di sebuah toko penjahit. Namun dalam praktiknya pekerjaan ini berubah menjadi perbudakan modern.
Anak-anak tersebut tidak diizinkan untuk berkomunikasi dengan keluarga, mereka disekap, dan tidak dibayar. Lantas dugaan terkait penyiksaan pun muncul setelah diketahui adanya luka di sejumlah bagian tubuh mereka.
"Saya memiliki bekas luka setelah setrika ditempelkan ke kaki saya dan ada pula yang terdapat di kepala saya," ujar salah seorang korban yang kini telah berusia 16 tahun.
Lantas ia pun menunjuk bekas luka lain yang terletak di hidungnya. "Ini luka akibat pisau karena masakan saya tidak enak," jelas anak perempuan itu.
Seorang korban lainnya yang kini berusia 17 tahun juga menyimpan luka yang menunjukkan bahwa penyiksaan sadis pernah dialaminya. Jari-jari tangannya yang memiliki luka bakar bengkok, ini didapatnya sebagai hukuman.
Memicu Kemarahan Publik
Tuduhan terhadap penganiayaan yang dialami kedua remaja itu mengejutkan, namun pengabaian kasus ini oleh otoritas berwenang lah yang telah membuat publik marah. Banyak yang melihat hal tersebut sebagai bukti bahwa sistem peradilan tak berlaku bagi kaum miskin dan mereka yang paling rentan diserang.
Pembebasan kedua remaja tersebut tak lepas dari bantuan seorang wartawan bernama Swe Win. Ia mendekati polisi yang menolak laporan keluarga korban sebelum akhirnya membawa kasus ini ke komisi nasional hak asasi manusia (HAM).
Lembaga tersebut mengambil tindakan, bernegosiasi dengan tukang jahit demi membebaskan kedua remaja tersebut. Angka US$ 4.000 atau setara Rp 52 juta pun muncul sebagai 'syarat' pembebasan.
Sementara di saat yang bersamaan, publik tak mampu menutupi kemarahan mereka ketika mengetahui tak ada tindakan lebih lanjut yang diambil untuk menghukum pelaku.
"Kami pikir pada saat itu kita bisa memecahkan kasus ini untuk memuaskan semua pihak yang terlibat dengan penyelesaian kompensasi ini," ujar salah seorang anggota komisi nasional HAM, U Zaw Win.
Kini setelah mendekam di balik jeruji besi, sang penjahit dan kedua anaknya dihadapkan pada tuduhan perdagangan manusia. Pertanyaan pun mencuat terkait peristiwa ini, mengapa butuh waktu lama bagi aparat kepolisian untuk terlibat.
Dalam intervensi publik yang jarang terjadi, Presiden Myanmar Htin Kyaw pun merilis pernyataan. Ia memerintahkan kementerian terkait untuk membantu dan melindungi anak-anak beserta keluarga mereka dan wartawan Swe Win dari kemungkinan aksi balas dendam.
Presiden Htin Kyaw pun telah meminta laporan terkait cara polisi menangani kasus ini. Selain itu, peran komisi nasional HAM juga akan mendapat perhatiannya. Sementara itu, Swe Win disebut mendapat penghargaan dari presiden atas tindakannya membantu membebaskan kedua remaja malang tersebut.
Mengirim anak-anak di bawah umur untuk bekerja adalah hal lazim di Myanmar. PBB memperkirakan setidaknya satu juta anak di negara itu dipaksa melepas pendidikan mereka untuk pergi bekerja.
Â