Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang sejarah kedokteran, tak terhitung banyaknya fenomena, kecelakaan, penyintasan (survival), kondisi medis atau kedokteran aneh pada manusia.
Beberapa di antaranya seakan tak bisa diterima akal sehat. Misalnya kisah "American Crowbar Case" yang terjadi pada 13 September 1848.
Advertisement
Baca Juga
Karena adanya peristiwa ledakan di lingkungan pekerjaan, sebuah batangan baja terlontar menembus tengkorak Phineas Gage. Mandor pengerjaan rel itu selamat, tapi ada masalah.
Phineas P. Gage (1823–1860) waktu itu adalah seorang mandor pembangunan rel di negara bagian Vermont, Amerika Serikat. Pada hari nahas tersebut, ia sedang menggunakan baja kopong seberat 7 kilogram untuk memadatkan bubuk mesiu ke atas cadas.
Batang baja itu menimbulkan percikan api ketika bertumbukan dengan cadas sehingga menyulut mesiu yang meledak lalu melontarkan batang baja itu menembus tengkorak Gage yang saat itu berusia 25 tahun.
Benda keras itu masuk dari pipi kiri dan tembus hingga ke langit-langit tengkoraknya dan meremukkan hampir semua bagian lobus depan sebelah kiri di otaknya.
Ia tetap sadar dan seakan tak terpengaruh oleh kecelakaan itu, namun segera dilarikan menggunakan gerobak rel ke tempat tinggalnya untuk mendapatkan pertolongan medis. Katanya kepada dokter di sana, "Nah, ini bisnis lumayan buat kamu."
Dr. John Harlow merawat lukanya, membersihkan darah, dan memastikan tidak ada serpihan tengkorak yang tertinggal dalam otak pasien.
Sayangnya, luka itu menjadi terinfeksi karena Harlow menggunakan jari-jarinya untuk mengambili serpihan-serpihan tulang tengkorak. Karena itu, Gage kemudian mengalami setengah koma.
Keluarganya putus asa mengenai penyintasannya dan kehilangan semua harapan untuk menghidupkannya kembali. Ajaib, korban belakangan pulih kembali dan bersiap pulang ke New Hampshire.
Dampak Berkepanjangan
Tampaknya kecelakaan itu bukannya tanpa akibat. Kecelakaan itu merusak lobus depan di otaknya dan ia kehilangan satu mata serta mengalami retak tengkorak.
Kesehatan mental dan kecerdasan emosionalnya juga dipertanyakan. Menurut laporan Harlow tentang perubahan mental Gage, korban disebutkan sebagai "gelisah, kurang sopan, beberapa kali tak senonoh secara menjijikkan...berubah-ubah dan terombang-ambing..."
Pasien itu telah kehilangan kemampuan sosialnya dan terganggu perilakunya sehingga tugas-tugas biasa dan pembuatan keputusan menjadi rumit.
Teman-teman dan rekan-rekan kerjanya mengenalnya sebagai seorang rekan yang disegani dan pria yang santun. Mereka merasakan perubahan tak biasa atas sifat korban dan mengatakan bahwa dia "bukan lagi Gage yang dulu."
Perusahaan rel kereta menolak menawarkan kembali pekerjaannya dalam keadaan mental yang membahayakan seperti itu. Ia pindah bekerja ke peternakan kuda di New Hampshire, bahkan menjadi pengemudi gerbong.
Dilaporkan, pekerjaan-pekerjaan itu memberikan dampak menenangkan bagi ketidakstabilan mentalnya. Ia mulai menjadi seperti dirinya dahulu. Setelah beberapa tahun setelah kecelakaan, Gage jauh lebih fungsional dan beradaptasi secara sosial.
Gejala-gejala yang dialami Gage tidak dianggap remeh oleh para ilmuwan karena membantu dalam sejumlah penelitian psikologi syaraf (neuropsikologi) dan memperkuat dugaan bahwa beberapa daerah di korteks depan dalam otak bertugas dalam hal perilaku, amarah, dan karakter.
Kasus yang dialaminya adalah yang pertama kalinya menunjukkan korelasi antara trauma otak dengan perubahan kepribadian.
Phineas Gage meninggal pada usia 35 tahun yang disebabkan oleh kejang-kejang akibat trauma otaknya.
Sejak saat itu, ia dikenang dalam banyak buku ilmu syaraf dan membuka jalan bagi beberapa penelitian kedokteran.
Jasadnya diangkat lagi dari kuburan pada 1867, lalu tengkorak dan batangan baja saat kecelakaan dikirim kepada Dr. Harlow untuk penelitian lanjutan.
Dua benda itu sekarang berada di Warren Anatomical Museum, bagian dari Fakultas Kedokteran Harvard University.
Advertisement