Sukses

Pertengkaran Suami-Istri Nyaris Batalkan 'Takdir' Kekalahan Nazi

Pada 6 Juni 1944 terjadi pendaratan besar-besaran pasukan Sekutu di Normandia, yang merupakan awal dari kehancuran Nazi.

Liputan6.com, London - Tanggal 6 Juni 1944 tercatat ke dalam sejarah sebagai D-Day. Hari Penentuan.

Saat itu menjadi momentum pendaratan besar-besaran pasukan Sekutu di Normandia, yang merupakan awal dari kehancuran Nazi di Eropa. Kejadian tersebut juga menandai akhir dari Perang Dunia II.

Juan Pujol Garcia memainkan peran penting dalam peristiwa tersebut. Ia adalah agen ganda -- yang dipekerjakan Unit Intelijen Militer, Bagian 5 (MI5) Inggris sekaligus Jerman. Kodenya untuk Britania Raya: Agen Garbo.

Pria Spanyol itu membantu meyakinkan Nazi Jerman dengan informasi sesat, bahwa pendaratan pasukan Sekutu akan dilakukan di Pas-de-Calais, bukan di Normandia.

Selama masa-masa genting di tengah Perang Dunia II itu, Garbo dan keluarganya tinggal di Harrow, barat laut London.

Sebuah insiden nyaris menggagalkan misinya, juga hampir membalik roda sejarah.

Kala itu, istri Garbo, Araceli Gonzalez de Pujol merajuk. Ia tak betah tinggal di Inggris, benci pada cuaca juga makanan di sana. Perempuan itu juga protes karena suaminya jarang ada di rumah.

Pujol juga merasa terkekang karena ruang geraknya dan dua buah hati mereka dibatasi.

Pasangan itu bertengkar hebat pada Juni 1943, setahun sebelum 1943, demikian terungkap dalam dokumen MI5 yang diungkap baru-baru ini.

"Pertengkaran antara agen mata-mata dan istrinya selama Perang Dunia II nyaris mengagalkan operasi D-Day," demikian diungkap dalam dokumen rahasia MI5, seperti dikutip dari The Week, Rabu (28/9/2016).

Sang istri mengancam akan mengungkap identitas Garbo ke Kedutaan Besar Spanyol -- yang kala itu menganut kebijakan fasis -- di London jika ia tak diizinkan pulang untuk menjenguk ibunya.

"Aku tak ingin tinggal 5 menit lebih lama bersama suamiku," teriaknya kepada staf MI5, Tomas Haris, seperti dikutip dari BBC. "Meski mereka membunuhku, aku tetap akan pergi ke Kedutaan Besar Spanyol."

Staf MI5 itu awalnya datang ke pasangan tersebut untuk menyampaikan kabar palsu -- bahwa Garbo telah dipecat sebagai mata-mata.

Namun, itu saja tak akan cukup meyakinkan perempuan itu. Bagaimanapun Pujol tak boleh pergi ke Spanyol.

Garbo dan agen lain terpaksa membuat tipuan rumit untuk membungkam mulut istrinya.

Pujol akhirnya dibawa ke kamp penahanan, dipertemukan dengan suaminya yang pura-pura dikurung. Selama di sana, ia diyakinkan  untuk membantu kerja penyamarannya.

Kepada perempuan itu, penasihat hukum MI5, Mayor Edward Cussen mengeluarkan ultimatum.

"Cussen memperingatkan perempuan itu bahwa ia tak mau buang-buang waktu untuk melayani orang-orang yang melelahkan," tulis Harris.

"Dan jika sampai nama Pujol yang bermasalah sampai ke telinganya lagi, ia akan memerintahkan perempuan itu ditahan."

Perempuan itu kemudian mengucap sumpah tak akan lagi mengancam untuk menguak identitas sang suami. Ia memohon pasangannya bisa pulang.

Pujol akhirnya pulang ke rumahnya. "Ia mendapat cukup teguran untuk menanti kepulangan suaminya yang dijanjikan segera dibebaskan."

Garbo dianggap salah satu mata-mata paling penting sepanjang sejarah. Pihak Jerman tak pernah mengetahui bahwa ia agen ganda dan bahkan menganugerahkan Iron Cross pada 1944 -- pada tahun yang sama ketika ia mendapatkan penghargaan dari Inggris.

Setelah perang usai, MI5 membantu Garbo dan pasangannya pergi ke Amerika Selatan. Khawatir bakal jadi target balas dendam, mata-mata itu memalsukan kematiannya sendiri.

Namun, pernikahannya tak langgeng dan berakhir dengan perceraian. Garbo menikah lagi dan meninggal di Venezuela pada tahun 1988.