Liputan6.com, Bogota - Kolombia telah menggelar referendum pada Minggu 2 Oktober waktu setempat, sebagai tindak lanjut dari perjanjian damai yang dilakukan pemerintah dan kelompok pemberontak sayap kiri FARC.
Perjanjian damai tersebut telah ditandatangani pada pekan lalu oleh Presiden Juan Manuel Santos dan pemimpin FARC Timoleon Jimenez setelah empat tahun melakukan negosiasi. Untuk membuatnya dapat berlaku, perjanjian itu perlu diratifikasi oleh rakyat.
Namun, referendum tersebut membuahkan hasil yang mengejutkan sejumlah pihak. Sebanyak 50,24 persen rakyat Kolombia menolak untuk berdamai dengan kelompok FARC.
Advertisement
Dalam sebuah pidato, Presiden Santos menyebut dirinya menerima hasil referendum, namun ia akan terus berupaya untuk mencapai perdamaian. Pria kelahiran tahun 1951 itu pun masih tetap melakukan gencatan senjata dan telah meminta negosiator pergi ke Kuba untuk berkonsultasi dengan pemimpin FARC.
Sementara itu pemimpin FARC mengatakan, kelompoknya akan tetap berkomitmen untuk mengakhiri perang. Demikian seperti dikutip dari BBC, Senin (3/10/2016).
Kelompok pemberontak itu sebelumnya telah setuju untuk meletakkan senjata mereka setelah berkonflik dengan pemerintah selama 52 tahun. Namun sejumlah kritik menyebut, perjanjian damai antara Pemerintah Kolombia dan FARC terlalu lunak.
Mantan Wakil Presiden Kolombia sekaligus pihak yang menentang kesepakatan itu, Francisco Santos, mengatakan bahwa dirinya berharap akan ada kesepakatan yang lebih baik.
"Kemenangan 'tidak' (hasil referendum) adalah kemenangan bagi perdamaian dengan keadilan, itu adalah kemenangan bagi perdamaian dengan kemenangan dan rekonsialisasi. Kemenangan 'tidak' adalah kemenangan perdamaian yang lebih inklusif, damai yang mencakup kita semua, perdamaian yang lebih stabil," ujar Francisco Santos.
Sementara itu, Presiden Santos sebelumnya telah memperingatkan bahwa tak ada plan B untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan sekitar 260 ribu orang.
Hasil referendum itu merupakan kemunduran baginya, yang sejak terpilih pada 2010 lalu telah berjanji untuk mengakhiri konflik yang menyebabkan delapan juta orang tergusur.
Kurang dari seminggu yang lalu, Santos dengan para pemimpin dunia dan para komandan FARC merayakan berakhirnya konflik bersenjata paling lama di Amerika Latin itu dengan menggelar upacara di kota bersejarah Cartagena.
Kelompok pemberontak tersebut membuat rencana untuk mengakhiri peperangan dan menjadi partai politik dalam waktu enam bulan.
Namun saat ini Presiden Santos harus menghadapi momen paling sulit, di mana rakyatnya justru menolak berdamai dengan kelompok pemberontak FARC.
Menurut koresponden BBC, jika Santos tetap bersikeras tak melakukan plan B, gencatan senjata antara kedua belah pihak akan berakhir dan perang kembali berlanjut.