Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Derita Para Perempuan Muda di Balik Video Mesum JAV

Di balik tayangan video mesum, yang bagi sebagian orang dianggap menghibur, ada air mata dan penderitaan para korban.

Liputan6.com, Tokyo - Baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan "bocornya" tayangan video porno di sebuah papan iklan viodeotron di kawasan Jakarta Selatan.

Mengamati isinya, tayangan itu dapat diduga merupakan salah satu produk hiburan dewasa khas Jepang yang dikenal dengan istilah JAV atau Japanese Adult Video.

Jepang termasuk salah satu negara penghasil produk multimedia khusus dewasa dan industri tersebut cukup subur.

Namun, di balik tayangan yang bagi sebagian orang dianggap menghibur itu, ada air mata dan penderitaan mereka yang dipaksa bermain di dalamnya.

Seperti dikutip dari Asia One pada Selasa (4/10/2016), kehadiran para perempuan muda dalam industri video dewasa bisa saja berkaitan dengan kekerasan seksual yang mereka alami.

Masalah tersebut dipandang serius karena para korban kekerasan itu kemudian dipaksa muncul dalam JAV atau menjadi korban "bisnis siswi SMA".

Lebih parah lagi jika video-video demikian beredar di dunia maya. Banyak korban yang menderita karenanya.

"Aku ditipu oleh sebuah perusahaan produksi supaya tampil dalam video dewasa," kata seorang mahasiswi berusia 26 tahun yang tinggal di kawasan Kanto.

Videotron mesum di Jakarta Selatan

Ia masih kuliah tahun kedua ketika didekati seorang pria pada musim panas 2012 di Tokyo. Pria itu mengaku sedang mencari model glamor untuk beberapa penerbitan.

Mahasiswi itu diperkenalkan kepada pemimpin sebuah agensi dan dibujuk untuk menandatangani kontrak yang menegaskan hubungannya dengan perusahaan tersebut.

Namun, dia tidak diberi waktu yang cukup untuk membaca kontrak secara teliti, atau untuk menerima salinannya.

Ternyata, ketika sedang pengambilan rekaman dengan pakaian renang, ia malah diminta telanjang.

Pihak agensi, termasuk sang petinggi, mengatakan, "Kalau kamu tidak tampil dalam video dewasa, maka tidak lagi pekerjaan buatmu."

"Kalau kamu ikut serta, kamu akan bisa berhasil dalam bisnis hiburan," seperti itu ancaman pihak agensi.

Mahasiswi itu melanjutkan, "Di kantor, aku dikelilingi oleh lima atau enam pria yang semuanya mencoba membujuk aku. Aku seakan dicuci otak."

Suatu saat, mahasiswi itu menangis ketika sedang perekaman sebuah video dewasa, sehingga pengambilan gambar ditangguhkan. Ia kemudian mendapatkan ancaman dari seorang pegawai, "Karyawan juga punya keluarga. Kamu sanggup bertanggungjawab?"

Mahasiswi itu kemudian tampil dalam video ke dua, tapi sebelum ia mendapatkan bayaran, perusahaan itu justru bangkrut.

"Aku bahkan tidak bisa lagi menghubungi mereka," kata dia. Padahal, video itu masih beredar di internet.

Telah terjadi kasus-kasus penistaan terhadap para wanita muda agar mereka tampil dalam video-video dewasa.

2 dari 3 halaman

Modus Penjebakan

Mereka biasanya diiming-iming pekerjaan modelling dan akhirnya malah muncul dalam video dewasa setelah menandatangani kontrak yang mereka tidak mengerti.

Mereka dikenakan denda yang besar jika melanggar kontrak atau jika menolak. Dalam beberapa kejadian, agensi-agensi bakat itu malah mengancam akan mengadukan wanita itu kepada orangtuanya.

Sebuah lembaga nirlaba Lighthouse: Center for Human Trafficking Victims memberikan dukungan bagi para korban. Mereka hanya mendapat satu laporan pada 2013, tapi angka itu meningkat menjadi 36 laporan pada 2014, 62 pada 2015, dan 74 laporan hingga akhir Agustus lalu.

Menurut Aiki Segawa, pegiat di organisasi tersebut, para korban biasanya adalah kaum wanita berusia antara 18 hingga 25 tahun dan masih belum banyak memiliki pengalaman hidup.

"Memaksa seseorang untuk melakukan kegiatan seksual dan kemudian menyebarkan videonya ke khalayak adalah pelanggaran berat HAM," kata Segawa.

Para korban berjuang mengatasi gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder, PTSD) dan ada beberapa orang yang bunuh diri.

Dengan membanjirnya video gratis di internet, sejumlah pihak mengatakan bahwa industri video dewasa memaksa para wanita itu tampil, supaya bisa memproduksi video dengan biaya yang lebih rendah.

Segawa melanjutkan, "Para korban mulai angkat bicara, tapi masih banyak yang menderita dalam kebisuan."

Aiki Segawa, pegiat Lighthouse: Center for Human Trafficking Victims. (Sumber yis.ac.jp)

Meluasnya penggunaan internet membuat situasi menjadi lebih suram bagi para korban. Kelompok-kelompok dukungan telah mendengar laporan-laporan bahwa "Tayangan video dari beberapa tahun lalu masih beredar secara daring (online)" dan "Aku tidak mau video itu ketahuan oleh keluarga atau pacarku."

Kelompok-kelompok tersebut mendesak bisnis dan manajer situs web dalam industri itu untuk menangguhkan penjualan dan menghapus konten video. Tapi kenyataannya, sekali video itu beredar secara daring, sulit untuk dimusnahkan seluruhnya.

Pada Juni lalu, mantan presiden sebuah agensi bakat hiburan yang berkedudukan di Tokyo diringkus oleh Kepolisian Metropolitan dengan dugaan pelanggaran Peraturan Layanan Kepegawaian Temporer.

Penangkapan dilakukan setelah salah satu model di agensi itu dikirim untuk rekaman video dewasa walaupun wanita itu menolak. Model itu dipaksa untuk tampil dalam video dan melakukan kegiatan-kegiatan mencakup hubungan seksual dengan paksaan.

Polisi menilai hal tersebut termasuk dalam definisi peraturan tentang pekerjaan yang mengandung bahaya.

3 dari 3 halaman

Tindakan Keji

Beberapa pelaku bisnis dalam industri berusaha mengakali peraturan dengan mempekerjakan para wanita sebagai kontraktor atau istilah lain--bukannya perjanjian kerja langsung. Sementara itu, peraturan pelarangan pornografi anak terbatas pada mereka yang berusia di bawah 18 tahun.

Kazuko Ito, seorang pengacara dan sekretaris jenderal organisasi nirlaba Human Rights Now di Jepang, mengatakan, "Kita memerlukan legislasi mengenai pelarangan tawaran tidak adil dan penangguhan penjualan video-video seperti itu."

Pada Juni lalu, kabinet Jepang menyetujui suatu jawaban tertulis yang menyatakan bahwa rekaman secara paksa untuk video dewasa terhitung sebagai kekerasan terhadap wanita.

Seorang pejabat dari kedinasan pencegahan kekerasan di Kantor Kabinet mengatakan, "Kami akan menelaah situasi itu dan mencari cara penanganan melalui penciptaan sistem yang mempermudah korban melaporkan kasus-kasus dan mendapatkan konsultasi."

Setsuko Miyamoto, seorang anggota kelompok warga yang tergabung dalam People Against Pornography and Sexual Violence, memperingatkan agar masyarakat "sadar tentang kasus keji yang mengorbankan orang lain dan tidak terlibat dalam kontrak apa pun tanpa menimbang-nimbang."

Kontrak-kontrak yang diajukan oleh perusahaan, termasuk agensi-agensi bakat hiburan, pada umumnya sulit dimengerti. Ada beberapa kasus ketika para korban dipaksa menandatangani kontrak tanpa pemberitahuan bahwa tugasnya mencakup kesertaan dalam video dewasa.

Jika para korban dipaksa main film setelah menandatangani kontrak dan kemudian menghubungi kelompok-kelompok dukungan, mereka dapat menerima bantuan untuk negosiasi dengan agensi-agensi tersebut.

"Kebanyakan korban menyalahkan diri sendiri, tapi hal ini bukanlah sesuatu yang harus dihadapi sendirian. Beranikan diri untuk datang dan bicara kepada kami."

Video Terkini