Sukses

Kuil 'Payudara' di Kaki Gunung Keramat Jepang

Gunung Koya di Jepang dianggap sebagai kawasan suci. Di kaki gunung itulah terdapat kuil payudara.

Liputan6.com, Wakayama - Kompleks Kuil Jison-In yang terletak di kaki Gunung Koya, di Prefektur Wakayama, merupakan contoh sempurna dari arsitektur Buddha Jepang. Puncak gunung itu sendiri dianggap merupakan kawasan suci.

Ada yang unik di kuil ini. Tepat di depan gerbang memasuki, pengunjung akan disambut oleh replika payudara wanita.

Benda itu digantung dan ditempelkan di berbagai tempat. 'Payudara' itu sebenarnya adalah persembahan yang ditinggalkan oleh pengunjung.

Replika tersebut memiliki berbagai ukuran. Dari yang kecil hingga ukuran terbesar. 

Payudara palsu itu bertekstur lembut, diisi dengan busa, dan diberi puting yang terbuat dari manik-manik kecil. Namun tak jarang pula persembahan itu dibuat dengan menggunakan kayu balok dengan gundukan bundar menyerupai puting berwarna merah muda.

Ada pula beberapa yang dibuat datar saja, tidak tiga dimensi, seperti plakat kayu yang dilukis dengan gambar payudara.

Menurut keterangan kepala kuil, Annen, dikutip dari CNN, Kamis (6/10/2016), tradisi itu dimulai bertahun-tahun yang lalu ketika seorang dokter dari kota yang tak jauh dari Wakayama, mengunjungi kuil untuk mendoakan pasien yang sedang menjalani pengobatan kanker payudara.

Kuil Jison-in mendapatkan persembahan replika payudara oleh pengunjung (CNN)

Dokter itu meminta izin kepada biksu penjaga kuil untuk meletakkan replika payudara sebagai persembahan.

Rumor mengenai permintaan yang tidak biasa itu pun tersebar dan dengan cepat kuil itu menjadi terkenal sebagai tempat sembahyang untuk memohon kesehatan wanita.

"Payudara mewakili kelahiran, jadi pengunjung menggunakan benda itu untuk berdoa meminta keselamatan kandungan, perlindungan dari kanker, dan suplai ASI yang sehat," kata Annen yang telah menjadi biksu Jison-In selama 40 tahun.

Annen juga menyebutkan bahwa pengunjung kuil tidak hanya warga Jepang saja, pengunjung asing juga sering berdoa di tempat itu.

Hal tersebut dikarenakan Kuil Jison-Ji merupakan satu-satunya kuil dengan persembahan payudara di seluruh Jepang.

Kuil Jison-In memiliki ikatan erat dengan permohonan yang berkaitan dengan masalah wanita (persalinan, kehamilan, dll), dimulai sejak 1.000 tahun yang lalu.

Stone Marker Path (www.japan-guide.com)

Jison-In merupakan gerbang menuju puncak Gunung Sakral, Koya atau Koyasan. Gunung itu pertama kali dihuni pada 816 oleh Kobo Daishi -- pendiri Shingon Buddhisme, sekte esoterik yang dipengaruhi kebudayaan China dan diperkenalkan di Jepang pada 806.

Kini Koyosan memiliki populasi sekitar 3.000 jiwa. Tempat itu juga berfungsi sebagai markas besar (headquarters) bagi lebih dari 4.000 kuil di seluruh Jepang dan kancah internasional.

Hingga 1800-an perempuan tidak diizinkan mengunjungi gunung. Mereka menetap di dalam kuil di mana tempat itu menjadi sakral untuk perempuan.

Menurut legenda yang beredar di kalangan masyarakat Gunung Koya, ibu Kobo Dashi sendiri juga menetap di dalam kuil.

Dia dikabarkan mengunjungi ibunya sebanyak 9 kali dalam sebulan dengan berjalan kaki sejauh 24 kilometer.

"Karena itulah gunung ini disebut Kodayama, 'Gunung Sembilan Kali'," kata Annen.

Menjelajahi Choisi Michi

Jison-In juga merupakan gerbang masuk menuju Koyosan Choisi Michi -- dalam Bahasa Inggris disebut Kyosan Stone Marker Path atau Batu Petunjuk Jalan Kyosan.

Tempat itu dijadikan situs warisan nasional pada 1977. Jalan itu dibentuk dari 180 'chiosi' atau batu penunjuk, masing-masingnya memiliki 5 tingkatan yang mewakili unsur-unsur prinsip alam semesta dalam ajaran Buddha esoterik.

Batu penanda nomor 180, di Jison-in, menandai awal dari rute ziarah. Jalan itu sepanjang 24 kilometer -- jarak yang sama dengan yang ditempuh Kobo Dashi -- dan memiliki satu batu penanda setiap 109 meter menuju Kuil Danjo Garan, salah satu tempat paling suci di Gunung Koya.

Menurut keterangan wisatawan lokal sekitar 80 persen dari batu penanda itu masih berdiri kukuh di tempat itu, sejak pertama kali dibangun pada periode Kamakura (1185-1333).

Kini para peziarah Koyosan akan berhenti dan berdoa di setiap batu penanda yang mereka temui dalam perjalanan menuju puncak gunung.