Sukses

12-10-1960: Pembunuhan Ala 'Samurai' yang Disaksikan Ribuan Orang

Otoya Yamaguchi membunuh politisi Inejiro Asanuma di hadapan ribuan orang dalam sebuah acara yang ditayangkan televisi.

Liputan6.com, Tokyo - Hibiya Hall di Tokyo sesak oleh pengunjung saat Yasushi Nagao, fotografer surat kabar Jepang Mainichi Shimbun, tiba di sana lepas siang, Rabu 12 Oktober 1960.

Tak ada yang luar biasa dalam penugasannya kali itu. Hanya memotret para politisi yang sedang berdebat jelang pemilihan parlemen.

Ia kemudian sibuk memasukkan gulungan negatif film isi 12 ke kamera 4x5 Speed Graphic yang dibawanya. Nagao mengambil lima gambar suasana, tiga foto masing-masing kandidat yang jumlahnya dua orang. Tinggal satu jepretan lagi yang tersisa.

Di atas panggung, Ketua Partai Sosialis Jepang, Inejiro Asanuma giliran bicara. Pria berkaca mata itu berpidato berapi-api, dengan suara sedikit serak.

Asanuma adalah tokoh yang tak biasa di Jepang pascaperang. Haluannya yang sosialis dan dukungannya untuk Partai Komunis China, serta sikapnya yang rajin mengkritik Amerika Serikat, menjadikannya sosok kontroversial.

Dari tepi aula berkapasitas 2.085 kursi, para aktivis sayap melontarkan ejekan. Ketika polisi berusaha membubarkan kerumunan itu, seorang pemuda berseragam sekolah sekonyong-konyong berlari ke arah Asanuma.

Otoya Yamaguchi, nama pelaku, langsung mengayunkan pedang samurai atau yoroidoshi sepanjang 30 cm, yang ia curi dari sang ayah, ke arah perut korban. Kala itu jarum jam menunjuk ke pukul 15.03. Versi lain menyebut pukul 15.05.

Pelaku adalah seorang ultranasionalis, anggota kelompok sayap kanan Uyoku dantai. Pemuda 17 tahun itu berencana melakukan serangan kedua, kali itu ia menyasar ke bagian jantung, sebelum akhirnya orang ramai menyerbu ke arah panggung dan melumpuhkannya.

Geger melanda podium kala itu. Kondisi kacau balau. Namun, entah bagaimana, pemandangan di depan Nagao justru tak terhalang. Ia berada di tempat dan saat yang tepat.

Sang fotografer mengarahkan kamera ke arah korban dan pelaku, sesaat sebelum Yamaguchi menyerang Asanuma untuk kali keduanya.

Ada lebih dari 15 fotografer kala itu, namun tak ada yang berhasil mengabadikan momentum tersebut. Dua lainnya sempat menjepretkan kamera, namun gagal fokus.

Jepretan kamera yang menangkap ekspresi Asanuma yang shock berat dan wajah Yamaguchi yang tegang. Foto itu pada 1961 menjadikan Nagao orang non-Amerika pertama yang memenangkan hadiah Pulitzer. Foto yang didistribusikan United Press International itu juga disebar lewat surat kabar hingga Negeri Paman Sam.

Aksi pembunuhan tersebut dilakukan di depan sekitar 3.000 orang, dan disiarkan secara langsung di televisi nasional Jepang atau NHK.

Otoya Yamaguchi (kiri), pelaku pembunuhan politisi Jepang (kanan) (Wikipedia)

Korban meninggal sejam kemudian, sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit. Sementara, pelaku sempat ditahan hingga akhirnya memilih menghabisi nyawanya sendiri.

Hari itu, di dalam sel suram di tahanan remaja Tokyo, Yamaguchi yang berambut awut-awutan itu mencampur segenggam bubuk pasta gigi dengan beberapa tetes air.

Pasta itu kemudian ia torehkan di dinding, membentuk tulisan. "Tujuh nyawa untuk negaraku. Sepuluh ribu tahun untuk Yang Mulia, Kaisar!,"demikian dikutip dari Time.

Ia mengutip kata-kata terakhir samurai Jepang dari Abad ke-14, Kusunoki Masashige yang dikenal loyal.

Pemuda kemudian itu merobek sprei dan memilinnya jadi tali. Berdiri di atas dudukan toilet, ia gantung diri di langit-langit.

Yamaguchi, yang ditahan karena menusuk Inejiro Asanuma memutuskan mengakhiri hidupnya ala 'samurai' pada 2 November 1960.

Tindakan bunuh dirinya itu adalah tindakan owabi -- permintaan maaf pada mereka yang terganggu oleh pembunuhan Asanuma yang ia lakukan.

Meski dianggap kriminal oleh banyak orang, tak sedikit yang menganggapnya sebagai martir. Kelompok sayap kanan fanatik Jepang pergi ke penjara, mempersembahkan baju pemakaman, kimono, dan sabuk pada orangtua pelaku. Jasad Otoya Yamaguchi mereka kawal hingga kediaman. Sebagai 'pahlawan'.

2 dari 2 halaman

Teror Terbesar dalam Sejarah RI

Tanggal 12 Oktober 2002 tercatat dalam sejarah Indonesia. Hari itu, aksi teror paling parah yang pernah melanda Tanah Air terjadi di Pulau Dewata: Bom Bali.

Dua bom pertama meledak di Paddy's Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan selanjutnya terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat, Jalan Hayam Wuruk 188, Denpasar.

Korban tewas mencapai 202 orang. Sebanyak 164 orang di antaranya warga asing dari 24 negara, 38 orang lainnya warga Indonesia 209 orang mengalami luka-luka. Dampak kerusakan hingga radius satu kilometer dari pusat ledakan.

Jika dihitung-hitung, bom yang meledak di dua tempat hiburan di Jalan Legian, Kuta, Bali itu tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari setelah bom yang mengguncang World Trade Center (WTC) Amerika Serikat pada 11 September 2001.

Peristiwa Bom Bali I ini dianggap sebagai aksi terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.

Setelah melewati proses penyelidikan, Polri menangkap para pelaku yang dinyatakan terlibat, di antaranya Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra, dan Ali Gufron.

Ali Imron divonis hukuman seumur hidup. Hukuman untuk Ali Imron yang menjadi "sutradara" pengeboman itu lebih ringan dari tiga tersangka lainnya yang divonis hukuman mati. Ini lantaran Ali Imron dinilai kooperatif dan membantu polisi mengungkap tabir terorisme di Indonesia.

Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom yang digunakan berjenis TNT seberat 1 kg dan bom RDX berbobot antara 50-150 kg.
Amrozi cs dieksekusi mati di Nusakambangan pada 2008.

Sementara, pada 1999,  Pervez Musharraf kembali berkuasa di Pakistan melalui sebuah kudeta tak berdarah.