Sukses

Obama Tak Habis Pikir dengan Sikap Elite Partai Republik AS

Sikap sejumlah elite Republikan dinilai Obama tak masuk akal. Mereka mengecam Trump, namun masih mendukungnya sebagai capres AS.

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mendesak seluruh petinggi senior Partai Republik untuk secara resmi menarik dukungan mereka dari Donald Trump. Menurut Obama tak masuk akal jika mereka hanya mengecam pernyataan-pernyataan kontroversial Trump sementara masih mendukung miliarder itu.

Dalam kampanyenya mendukung Hillary Clinton di Greensboro, North Carolina, Obama mempertanyakan bagaimana mungkin sejumlah politisi di Partai Republik masih mendukung Trump untuk menjadi presiden.

"Faktanya, mereka mengatakan, "Kami sangat tidak setuju, kami sangat kecewa...tapi kami masih mendukung dia". Mereka masih berpikir dia yang seharusnya menjadi presiden, itu tidak masuk akal buatku," ujar Obama di hadapan massa pendukung Hillary.

Presiden AS ke-44 itu juga menyinggung soal skandal video sang miliarder. Menurut Obama, kata-kata vulgar yang diucapkan Trump itu akan mendiskualifikasinya bahkan dari pekerjaan di sebuah toko.

"Pria ini mengatakan kata-kata yang tak seorang pun akan menoleransinya bahkan jika dia melamar pekerjaan di 7-eleven," kata suami dari Michelle itu.

Ketika tengah bicara, Obama beberapa kali diinterupsi oleh sejumlah orang yang anti-Hillary. Mereka mengenakan kaus bertuliskan 'Bill Clinton seorang pemerkosa'.

Namun Obama dilaporkan tak terpengaruh dengan aksi anti-Hillary tersebut dan ia tetap melanjutkan kampanyenya. Tak lama, para perusuh itu diamankan pihak berwenang.

Masihkah Republik Menyokong Trump?

Beberapa hari lalu, Trump mendapat 'kejutan' tak menyenangkan. Video pada 2005 yang memuat dirinya tengah melontarkan kata-kata vulgar terhadap perempuan beredar. Dan dengan cepat memicu reaksi keras dari berbagai pihak.

Donald Trump dan Hillary Clinton berjabat tangan setelah debat Capres AS kedua yang digelar di Washington University berakhir (Reuters)

Trump pun langsung merasakan dampaknya. Sejumlah elite Partai Republik secara terang-terangan menarik dukungan mereka dari taipan properti itu. Beberapa di antaranya adalah Ketua DPR AS, Paul Ryan dan Senator Arizona, John McCain.

Pada Senin 10 Oktober lalu, Ryan menegaskan ia tidak akan membela Trump atas skandal videonya. Ryan yang pernah menjadi kandidat wakil presiden pun menambahkan ia lebih memilih berkonsentrasi pada pemenangan Partai Republik di pemilu Kongres demi memastikan kontrol legislatif berada di pihak Republikan.

Sikap Ryan ditanggapi Trump. Melalui media sosial Twitter, ia mencuit bahwa 'belenggu' telah dilepas sehingga memungkinkan dia berjuang untuk AS dengan caranya sendiri.

Namun bukan Trump jika tak menyelipkan hinaan terhadap lawan politiknya. Dalam cuitannya ia juga menyebut Ryan sebagai pemimpin lemah dan tak berpengaruh.

Tak hanya Ryan, capres AS itu juga menyerang McCain, memanggilnya dengan julukan 'mulut kotor'.

Setidaknya setengah dari 331 kursi senator incumbent, anggota DPR, dan gubernur asal Partai Republik mengutuk pernyataan vulgar Trump terhadap perempuan. Dan 10 persen di antaranya mendesak agar sosok kontroversial itu segera mundur dari pencalonan presiden AS.

Kendati banyak dikecam, tak sedikit pula yang masih mendukung pemilik kerajaan bisnis The Trump Organization itu. Salah satunya Gubernur New Jersey, Chris Christie meski di lain sisi ia mengaku merasa terganggu dengan komentar vulgar dalam skandal video tersebut.

Menurut Christie, pemilu melibatkan isu-isu yang jauh lebih besar dari skandal video itu. Ada pula sosok Senator Texas, Ted Cruz yang juga mantan rival Trump.

Ia menyatakan masih akan mendukung Trump. Sementara kehadiran Hillary dalam ranah pilpres disebutnya sebagai 'bencana besar'.

Pasca-debat pilpres kedua di Washington University yang berlangsung pada 9 Oktober lalu, jajak pendapat yang dilakukan PRRI dan Atlantic Poll menunjukkan Hillary unggul 11 poin atas Trump, yaitu 49-38.