Sukses

14-10-1944: Bunuh Diri Jenderal 'Dalang' Plot Pembunuhan Hitler

Tanggal 20 Juli 1944 dipilih sebagai 'hari kematian Adolf Hitler. Namun, plot pembunuhan itu gagal. Seorang jenderal pun dihabisi.

Liputan6.com, Berlin - Sabtu 14 Oktober 1944, tepat pukul 12.00, dua utusan Nazi tiba di rumah Jenderal Erwin Johannes Eugen Rommel. Mereka -- yang semuanya berpangkat bintang alias perwira tinggi -- datang membawa pesan khusus dari Adolf Hitler.

Peristiwa hari itu tak lekang dari ingatan putra sang jenderal, Manfred Rommel, yang kala itu berusia 15 tahun.

Sekitar tiga perempat jam setelah pertemuan itu, Manfred melihat ayahnya keluar dari kamar sang ibu.

"Ayahku lalu berkata...Adolf Hitler memberinya dua pilihan, minum racun atau diseret ke Pengadilan Rakyat (Volksgerichtshof)," kata Manfred, seperti dikutip dari Daily Mail, Kamis (13/10/2016).

Pada sang anak, Rommel mengaku dituduh terlibat dalam plot 20 Juli 1944 -- rencana pembunuhan terhadap Adolf Hitler yang gagal.

Hitler rupanya tak ingin menurunkan status Rommel sebagai 'pahlawan perang Jerman', sehingga ia menawarkan pilihan bunuh diri, dengan menelan pil sianida -- dengan efek mematikan yang luar biasa cepat, hanya 5 detik.

Jenderal Rommel memilih opsi pertama. Apalagi, Hitler menjanjikan, keluarganya bakal aman jika ia bunuh diri.

Jenderal Erwin Johannes Eugen Rommel diduga dalam plot pembunuhan Hitler pada 1944 (Wikipedia/Bundesarchiv)

 
"Setelah mengucapkan selamat tinggal kepadaku...ayah meninggalkan rumah, mengenakan seragam lengkap. Kami mengantarnya menuju mobil, di sana ada seorang jenderal yang menyambutnya dengan salam 'Heil Hitler'."

Jenderal Rommel masuk ke dalam mobil lebih dulu, ia duduk di kursi belakang. Para jenderal menyusul kemudian. Lalu, kendaraan itu pun melaju pergi.

Sekitar 15 menit kemudian, dering telepon terdengar. Itu panggilan dari rumah sakit. "Mereka mengabarkan, ayah dibawa ke RS oleh dua jenderal, dalam kondisi menderita cerebral apoplexy (kerusakan otak akibat tersumbatnya atau pecahnya pembuluh darah)," kata Manfred.

Rommel dinyatakan tewas akibat luka-luka dalam perang pada 14 Oktober 1944. Ia dimakamkan dengan upacara kenegaraan. Baru belakangan terkuak, sang jenderal bunuh diri dalam kondisi terpaksa.

Jenderal Erwin Johannes Eugen Rommel dimakamkan secara kenegaraan (Wikipedia/Bundesarchiv)

Usai perang, sang istri menyatakan bahwa Rommel menentang plot pembunuhan Hitler. Ia ingin menghindari anggapan di masa depan bahwa Jerman kalah di Perang Dunia II karena Hitler ditikam dari belakang. 

Rommel mengusulkan agar Hitler ditangkap dan diseret ke pengadilan rakyat.

Rubah Gurun

Erwin Rommel, yang juga dikenal sebagai Desert Fox (Rubah Gurun) -- julukan yang diberikan oleh Inggris -- adalah salah satu pemimpin militer paling dihormati Jerman di Perang Dunia II.

Jenderal Erwin Johannes Eugen Rommel bersama pasukannya di tengah perang (Wikipedia/Bundesarchiv)


Dia memainkan peran penting dua pertempuran yang sangat signifikan selama perang, di El Alamein, Afrika Utara dan pada insiden D-Day -- pendaratan sekutu di Normandia yang menjadi pertanda awal kejatuhan Nazi.

Rommel konon adalah jenderal Nazi yang manusiawi. Pasukannya tak pernah dituduh melakukan kejahatan perang.

Sang jenderal juga dilaporkan mengabaikan perintah untuk membunuh pasukan musuh, tentara Yahudi, dan warga sipil di wilayah komandonya.

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pun tak segan-segan memujinya di depan parlemen.

"Kita punya lawan yang pemberani dan terampil," kata Churchil. "Yang layak aku juluki seorang jenderal besar."

George Patton, Bernard Montgomery, dan para jenderal Sekutu lainnya juga tak segan-segan memuji Rommel.

Dan tak seperti tokoh Jerman era Perang Dunia II lainnya, Rommel lolos dari beban 'dosa sejarah'. Dua pangkalan militer, sejumlah jalan di jerman masih menyandang namanya. Monumen di kampung halamannya memujinya sebagai sosok yang 'sopan', 'berani', dan 'korban tirani'.

Namun, sejumlah sejarawan Jerman punya pendapat lain. Rommel dinilai 'amat Nazi dan anti-Semit'. Ia juga dituduh menggunakan orang-orang Yahudi di Afrika Utara sebagai budak.

Selanjutnya: Plot Gagal Habisi Hitler

2 dari 3 halaman

Plot Gagal Habisi Hitler

Ini yang ada di pikiran para pejabat kala itu: Adolf Hitler harus mati. Pembunuhan dianggap satu-satunya cara untuk menghentikan malapetaka yang membayangi Jerman.

Setelah bos Nazi itu tewas, kudeta akan menyusul. Lalu, pemerintahan baru di Berlin bakal menyelamatkan negara dari kehancuran di tangan pihak Sekutu.

Tanggal 20 Juli 1944 dipilih menjadi hari kematian Hitler. Kolonel Claus von Stauffenberg ditugaskan sebagai algojo. Ia memasang bahan peledak di sebuah tas, yang kemudian diletakkan di bawah meja di pos komando di Rastenburg, Prusia. Sang eksekutor cepat-cepat pergi dari lokasi, menuju Berlin, untuk melaksanakan Operasi Valkyrie -- untuk menggulingkan pemerintahan pusat.

Tak berapa lama kemudian, Hitler mempelajari peta di ruangan tersebut. Kolonel Heinz Brandt, yang merasa terganggu dengan keberadaan tas itu, menyingkirkannya jauh-jauh dari titik di mana sang fuhrer berdiri.

Pada pukul 12.42, bom itu meledak. Saat kepulan asap hitam kian menipis, Hitler ditemukan dalam kondisi masih hidup, terluka, wajah penuh jelaga, satu tangannya bahkan dalam kondisi lumpuh sementara.

Plot pembunuhan HItler yang gagal pada 1944 (Wikipedia/Bundesarchiv)

Namun, tak ada hal gawat yang dialaminya, sore harinya Hitler masih bisa menemui Benito Mussolini, bahkan memandu tur  Il Duce ke lokasi pemboman. Namun, nasib baik tak dialami empat orang lainnya, mereka tewas akibat luka parah.

Suami Eva Braun itu yakin, suratan takdir lah yang menyelamatkannya. "Aku yakin itu adalah 'pertanda' bahwa masih ada tugas yang harus aku lakukan. Tak ada apapun yang akan terjadi padaku," kata Hitler.

Balas dendam pun dilakukan Hitler. 'Pembersihan' pun digelar, lebih dari 7 ribu orang ditangkap, termasuk pendeta bernama Dietrich Bonhoeffer. Lebih dari 5 ribu di antaranya menemui ajal, baik karena dieksekusi atau bunuh diri.

Selanjutnya: Maut untuk Hitler yang Telat 13 Menit

3 dari 3 halaman

Maut untuk Hitler yang Telat 13 Menit

Bukan kali itu saja plot pembunuhan Hitler dilakukan. Pada 8 November 1939, pemimpin Nazi itu dijadwalkan menyampaikan pidato tahunan di sebuah pub yang khusus menyajikan beer, beer hall atau bierpalast, di Munich.

Di sana, sang fuhrer akan berpidato tentang perjuangan Nazi pada tahun 1920-an. Hitler menggunakan momentum tersebut untuk mengejek musuh-musuhnya dan berkoar tentang keberhasilan Jerman memulai perang.

Namun, Hitler, para pejabat Nazi, juga loyalisnya tak menyadari, hanya beberapa meter dari podium, sebuah bom siap meledak.

Tak ada yang mendengar detak bom waktu tersebut, teredam riuh suara pengunjung, juga wadah dari gabus yang melapisinya.

Rencana pembunuhan Hitler (Wikipedia)


Bom itu dirakit dan ditempatkan secara diam-diam oleh Georg Elser. Sejak setahun sebelumnya, ia merencanakan aksi itu. Pria itu merasa di bawah Hitler 'perang bakal tak terhindarkan'.

Namun aksinya digagalkan. Dalam waktu: 13 menit.

Biasanya, setiap tahun, Hitler menyampaikan pidato dengan durasi yang sama. Namun, kala itu, karena berniat segera kembali ke Berlin, ia menyelesaikan pidato lebih awal.

Tiga belas menit setelah Hitler meninggalkan lokasi, bom meledak, 8 orang tewas dan bangunan rusak parah. Langit-langit tepat di atas podium tempat Hitler berpidato runtuh.

Hitler selamat. Lalu, sampai 1945, ia memimpin Jerman dalam perang yang diwarnai genosida terhadap kaum Yahudi di Eropa.

Koran Nazi, Voelkischer Beobachter, kala itu menyebut peristiwa itu sebagai 'keajaiban yang menyelamatkan fuehrer'.  

Rezim Nazi diragukan akan terus bertahan tanpa Hitler juga tokoh lainnya. Itu mengapa Elser berharap untuk membunuh bos Nazi itu. Sedikitnya itu solusi jangka pendek.

Sejarawan pun yakin, jika Hitler berhasil dihabisi pada 1939, niscaya perang akan dipersingkat, dan mengurangi penderitaan para korban holocaust.

Rencana pembunuhan Hitler (Wikipedia)

 Meski gagal, nama Georg Elser tercatat dalam sejarah sebagai orang  yang berjuang sendirian, mencoba untuk mencegah malapetaka perang yang disulut Hitler. Tindakannya sekaligus menunjukkan, tak semua orang Jerman kala itu adalah Nazi.