Liputan6.com, Cary - "Aku menyerah dengan Amerika Serikat," kata istri dari Zeeshan-ul-hassan Usmani pada Jumat 7 Oktober lalu.
Hal itu ia ungkapkan setelah anak bungsu mereka yang masih berusia 7 tahun keluar dari bus sekolah dengan muka babak belur dan tangan terkilir. Bocah malang itu berjalan tertatih-tatih menuju apartemen mereka di Cary, North Carolina.
Baca Juga
Abdul Aziz kecil adalah bocah kelas 1 dan anak bungsu dari Usmani dan Banish Bhagwanee. Aziz kini mengalami trauma, tak hanya fisik namun juga mentalnya. Ia berkata kepada orangtuanya bahwa teman-temannya di kelas memaksanya menyantap makanan non-halal.
Advertisement
Dilansir dari Huffingtonpost, Kamis (10/13/10/2016), ketika Aziz menolaknya, 5 murid di kelasnya mengejeknya dan memukulnya. Menurut Aziz, bocah-bocah itu menampar mukanya, menendang perut, dan memelintir tangannya serta mengejeknya muslim.
"Ia lahir dan besar di AS. Ia lahir di Florida. Ia orang Amerika. Ia menyukai Captain America. Ia juga ingin jadi presiden AS," kata Usmani kepada Huffingtonpost lewat Skype dari Pakistan Selasa lalu.
Tak tahan, dengan perlakuan yang diterima anak-anaknya, mereka 'pulang' ke Pakistan akhir pekan lalu. Usmani dan keluarganya memiliki apartemen di Islamabad dan berencana untuk tinggal di situ --mungkin untuk selama-lamanya-- karena Amerika tak lagi aman baginya dan keluarga.
"Aku sungguh patah hati dan sedih," kata Usmani. Ia bukan sosok imigran biasa, melainkan penerima 2 kali beasiswa Fulbright dan ironisnya, ia adalah pemenang riset komputer untuk melindungi AS dari serangan teror.
Tak hanya itu, Usmani yang mendapat 2 gelar master serta Phd adalah mantan kepala teknologi di PredictifyMe. Ia menggunakan data untuk mencegah warga AS, dan Eropa agar tidak mudah dihasut oleh ISIS.
Dan bersama dengan United Nations Special Envoy for Global Education, ia membuat software yang memperlihatkan kerusakan akibat bom bunuh diri. Software itu adalah usaha untuk melindungi gedung-gedung sekolah dan lainnya di Pakistan, Sudan, Nigeria, dan Suriah dari serangan teror.
Penelitiannya juga diakui dunia dan ia kerap menulis opini untuk Wall Street Journal, CNN dan media besar lainnya.
"Sekarang AS bukanlah negara yang kami kenal, yang kami sayangi, dan tempat di mana kami ingin tinggal," tambahnya.
Usmani ingat anak kedua mereka, berusia 8 tahun marah kala pulang sekolah. Rupanya teman sekelasnya menuduh sang ayah adalah teroris.
"Dia bertanya padaku apakah aku teroris. Semenjak saat itu, Bhagwanee meminta anaknya tak lagi ke sekolah agar ia tak lagi menderita diskriminasi."
Belum lagi masalah yang diterima anak mereka yang pertama yang berusia 14 tahun. Remaja itu melihat seorang temannya membawa pisau dari Colombia. Semua teman mengaguminya.
Ingin mendapat pengalaman yang sama, anak Usmani membawa pisau dari Pakistan namun para murid memanggilnya ISIS dan teroris. Sekolah terpaksa ditutup dan anaknya diskors 6 bulan.
Semenjak insiden itu, anaknya trauma, dan menderita depresi.
Gara-gara Donald Trump
Awal tahun ini, ada seorang tetangga yang kerap kali berbuat kasar terhadap mereka. Pernah menyebut keluarga penerima beasiswa itu bajingan dan berulang kali mengancam sang istri.
"Ia datang ke apartemen kami dua kali pada tengah malam dan pukul 2 dini hari, mengucapkan kalimat rasis dan mengajarkan bagaimana kami harus berperilaku di negeri ini. Ia menyebut Donald Trump yang akan menjadi presiden negara AS," ujar Usmani.
Atas perilaku tetangga itu, Usmani mengirim email kepada Cary Police Departmen pada bulan Juli. Untungnya segera ditanggapi.
Pada bulan Juni, masjid tempat Usmani biasa bersembahyang diancam oleh seorang veteran Perang Irak, Russell Thomas Langford. Bekas tentara itu meletakkan bacon di luar masjid dan mengancam jemaat ia akan membunuh mereka semua.
Pada bulan September, salah satu mesjid terbesar di Florida, Fort Pierce tempat biasa Usmani shalat Id dibakar. Pelakunya adalah Joseph Sceiber dan sebelum menyerang di Facebooknya pemuda itu mengaku anti-muslim dan pengikut Trump.
Insiden itu terjadi di tahun yang sama. Tahun di mana calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump melancarkan kampanye penuh kebencian. Melarang muslim masuk AS, mengatakan AS akan memasang CCTV di masjid, dan seluruh muslim AS wajib diberi penanda nama.
Belum lagi, ia berkoar tentang muslim hanya bisa tewas jika peluru diberi darah babi dan menuduh ibu dari tentara muslim AS yang gugur tak boleh berbicara di atas panggung.
Kekerasan atas nama anti-muslim di AS pun meningkat. Sebuah laporan dari Center for The Study of Hate and Extremism di California State University mendokumentasikan ada 260 kejahatan yang dialami muslim pada tahun 2015. Angka itu meningkat 50 persen dari tahun 2014.
Sementara itu, Huffingtonpost mencatat terdapat hampir 290 insiden terkait dengan kekerasan, diskriminasi, dan pidato kebencian terhadap muslim di AS.
Advertisement