Liputan6.com, Bangkok - Meski pemerintahan monarki absolut telah berakhir pada 1932, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej bukan sekedar simbol. Ia adalah sosok penengah, dianggap simbol stabilitas bagi bangsanya yang kerap dilanda perpecahan dan kudeta yang berulang.
Dan kini, sosok pemersatu itu telah berpulang. Raja Bhumibol yang dicintai rakyatnya wafat pada usia 88 tahun, Kamis 13 Oktober 2016.
Ratusan warga Thailand berkumpul di depan Rumah Sakit Siriraj di Bangkok, di mana jenazah sang pemimpin disemayamkan untuk sementara.
Sejumlah orang mengkhawatirkan, setelah Bhumibol tiada, Negeri Gajah Putih akan dilanda 'kekacauan politik'.
Hal itu juga disadari pihak penguasa sejak beberapa hari lalu. Ketika kondisi kesehatan sang raja dikabarkan memburuk, pemerintah junta militer Thailand meningkatkan patroli di seluruh negeri.Â
"Peningkatan kehadiran aparat keamanan dan penahanan terhadap pemimpin oposisi mengindikasikan bahwa junta bersiap menghadapi kemungkinan instabilitas terkait pengumuman wafatnya sang raja," kata Ryan Aherin, Analis Senior Asia di Verisk Maplecroft, seperti dikutip dari IB Times, Kamis (13/10/2016).
Ia menambahkan, suksesi takhta kerajaan juga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik. "Sebab, putra mahkota Maha Vajiralongkorn tak populer di kalangan elite politik karena perilakunya yang flamboyan yang kerap tak bisa diterima secara sosial."
Mendekati momentum suksesi, pemerintah Thailand akan meningkatkan penegakkan hukum, yang melarang diskusi atau pernyataan yang dianggap menghina keluarga kerajaan.
Di sisi lain, Pangeran Vajiralongkorn, yang dekat dengan mantan PM Thaksin Shinawatra bisa dianggap sebagai ancaman legitimasi junta.
"Belum bisa dipastikan apakah putra mahkota akan memberikan dukungan pada junta setelah ia menjadi raja," kata Aherin.
Dengan pemilu di Thailand yang tak akan diadakan sampai tahun 2017, seandainya pangeran mencabut dukungan kerajaan terhadap junta, niscaya itu akan memicu kekacauan politik.
Advertisement