Sukses

Filipina dan Tiongkok Sepakat Soal Sengketa Laut China Selatan

Filipina dan Tiongkok telah sepakat dalam upaya menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan.

Liputan6.com, Beijing - Filipina telah mengumumkan "perceraiannya" dengan sekutu lama, Amerika Serikat (AS), dan memilih merapat ke Tiongkok. Hal tersebut diumumkan Presiden Rodrigo Duterte dalam lawatannya ke Tiongkok.

Duterte menggambarkan hubungan Filipina dan Tiongkok saat ini telah memasuki "musim semi". Presiden yang kerap melontarkan pernyataan kontroversial itu juga mengklaim kedua negara sepakat untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan melalui perundingan.

Dilansir dari Reuters, Jumat (21/10/2016), Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok, Liu Zhenmin, menegaskan hal yang kurang lebih serupa.

"Kedua pihak sepakat akan melakukan apa yang telah disetujui lima tahun lalu, bahwa dalam mencari penyelesaian yang tepat soal isu Laut China Selatan akan dilakukan dialog dan konsultasi bilateral," ujar Liu.

Selama ini, Beijing mengklaim memiliki sebagian besar wilayah di Laut China Selatan yang dilaporkan kaya sumber daya alam tersebut. Selain itu, sejumlah negara seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga memiliki klaim masing-masing atas kawasan yang dilintasi kapal-kapal dagang besar yang berpotensi menghasilkan US$ 5 triliun setiap tahunnya.

Pada 2012, Tiongkok-Filipina sempat tegang di wilayah Scarborough Shoal, sebuah kepulauan kecil di Laut China Selatan. Tiongkok menolak akses nelayan Filipina untuk memancing di kawasan tersebut.

Kini, Liu tak menyinggung soal Scarborough Shoal. Ia juga tak menjawab apakah nelayan Filipina akan diizinkan melaut di wilayah tersebut.

Liu hanya mengatakan bahwa kedua negara telah menyepakati kerja sama penjagaan pantai dan perikanan. Namun, ia tak memberikan penjelasan lebih lanjut.

Pernyataan "manis" Duterte terhadap Beijing kontras dengan bahasa yang digunakannya untuk melawan AS. Ia melontarkan kata-kata kasar kepada Presiden Barack Obama, setelah Negeri Paman Sam mengkritik perang brutal Filipina terhadap narkoba.

Dan pada Rabu 19 Oktober lalu, di tengah sorak sorai ratusan warga Filipina di Beijing yang menyambut kedatangannya, Duterte mengatakan kebijakan negara yang dipimpinnya telah "berbelok" ke Tiongkok.

"Aku tidak akan pergi ke Amerika lagi. Kita hanya akan dihina di sana. Jadi, selamat tinggal temanku," kata dia.

Pada hari yang sama, sekitar 1.000 massa anti-AS berkumpul di luar kedutaan AS di Manila. Mereka menuntut penarikan pasukan AS dari wilayah selatan Mindanao.

Perpindahan haluan kebijakan luar negeri Filipina dari Washington ke Beijing ini tak populer di dalam negeri. Jajak pendapat pada Selasa 18 Oktober lalu menunjukkan rakyat masih mempercayai AS dibanding Tiongkok.

Lebih lanjut Duterte mengatakan, kasus Laut China Selatan yang diajukan ke Mahkamah Arbitrase pada era pendahulunya, Beniqno Aquino III akan didiamkan sementara selama pembicaraan Filipina-China berlangsung. Ia menambahkan, akan memilih untuk menunggu Tiongkok membahas isu ini terlebih dahulu dibandingkan melakukannya sendiri.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri China memuat dalam pernyataannya bahwa Presiden Xi Jinping menyampaikan isu-isu yang tidak dapat segera diselesaikan kedua negara harus dikesampingkan.

Tiongkok sendiri telah menyambut pendekatan yang dilakukan Filipina, meski Duterte pernah bersumpah tidak akan menyerahkan kedaulatan apa pun kepada Tiongkok.

Berbeda dengan AS, Negeri Tirai Bambu telah menyatakan sikap, mendukung perang narkoba yang diterapkan di bawah pemerintahan Duterte.