Liputan6.com, Hong Kong - Seorang mantan bankir Inggris, Rurik Jutting (31), mengaku tidak bersalah atas pembunuhan dua perempuan asal Indonesia, Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih. Kedua WNI tersebut tewas di apartemen sewaan Jutting di Distrik Wan Chai, Hong Kong pada Sabtu, 1 November 2014.
Seperti dilansir CNN, Senin (24/10/2016) di hadapan Mahkamah Tinggi Hong Kong, Jutting menolak telah melakukan dua pembunuhan berencana. Ia mengaku mengalami gangguan mental.
Namun di lain sisi ia mengatakan akan mengaku bersalah atas dua tuduhan pembunuhan tak disengaja dan upaya mencegah penguburan yang sah.
Advertisement
Baca Juga
Pengakuan yang dilontarkan Jutting itu diduga agar dirinya mendapat putusan yang lebih ringan. Meski demikian, jaksa menolaknya dan tetap pada keyakinan akan menjeratnya dengan pasal pembunuhan berencana.
Pembunuhan Sumarti dan Seneng terkuak setelah pada dinihari di 1 November 2014, polisi Hong Kong mendapat telepon dari Jutting. Ia yang kala itu berusia 29 tahun meminta polisi datang ke apartemennya.
Menurut rilis polisi pada 2014, mereka menemukan dua jasad perempuan di apartemen Jutting. Setelah diidentifikasi, keduanya diketahui bernama Sumarti Ningsih (25) dan Seneng Mujiasih (30) atau dikenal juga sebagai Jesse Lorena.
Seneng Mujiasih ditemukan dengan luka tusukan di bagian leher dan bokong. Sementara jasad Sumarti yang telah membusuk berada dalam sebuah koper di balkon apartemen Jutting dengan cedera pada leher.
Jutting pertama kali muncul di pengadilan lokal pada 2014 di mana ia mengenakan kaus dan kacamata berwarna hitam serta celana jins. Namun pada 2014, pria itu sama sekali tidak memberikan pembelaan. Sementara itu, laporan psikologi menunjukkan ia dalam kondisi sehat untuk diadili.
Sebelum peristiwa pembunuhan itu terungkap, pria yang diketahui merupakan lulusan dari Cambridge University tersebut menuliskan di akun LinkedIn bahwa ia sempat menjadi karyawan di Bank of America Merril Lynch dan baru saja mengundurkan diri.
Baik Sumarti maupun Seneng merupakan buruh migran asal Indonesia di Hong Kong. Negara mantan koloni Inggris itu selama ini memang dikenal sebagai "rumah" bagi banyak buruh migran Indonesia dan Filipina di mana rata-rata dari mereka bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Sumarti merupakan seorang ibu dari tujuh orang anak.
"Dia hanyalah seorang perempuan biasa. Seperti aku dan banyak perempuan lainnya, dia terpaksa bekerja ke luar negeri untuk menghidupi keluarganya," ujar sepupu Sumarti, Jumiati.
Seneng juga datang ke Hong Kong sebagai pekerja migran, tapi pihak Konsulat Jenderal RI Hong Kong mengonfirmasi bahwa visa kerjanya telah berakhir pada 2012
Pada akhir pekan kemarin, sejumlah buruh migran asal Indonesia menggelar unjuk rasa di Victoria Park--tempat mereka berkumpul di akhir pekan. Para buruh migran ini menuntut keadilan bagi kedua korban dan mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan kepada pihak keluarga.