Liputan6.com, London - Pada 2010, Sarah Glidden pergi ke Timur Tengah untuk melaporkan krisis pengungsi bagi Seattle Globalist. Berbekal buku catatan, kamera dan perekam suara, ia mencatat semuanya, termasuk wawancara dengan para pengungsi hingga perbincangan terang-terangan dengan sesama jurnalis.
Sebagaimana layaknya seorang jurnalis, ia melaporkan apa yang disaksikan. Tapi, Glidden memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Dikutip dari The Economist pada Senin (24/10/2016), ia menuangkan temuan-temuannya dalam bentuk buku bertajuk "Rolling Blackouts".
Advertisement
Baca Juga
Masa jeda selama 6 tahun tidak digunakannya untuk melakukan proses edit teks beberapa halaman atau menyusun foto-foto. Ia meluangkan waktunya memenuhi buku itu dengan ratusan komik menggunakan cat air.
Ya, Glidden adalah seorang jurnalis komik, seakan seperti komik "Spider-Man" yang berkisah tentang berita kepahlawanan, namun bukan sekedar fiksi.
Ia melakukan pendekatan naratif karyanya dengan memposisikan setiap bagian berkutat pada satu karakter tertentu.
Misalnya, dalam satu segmen bukunya, ia fokus pada seorang pria bernama "Sam" yang terpaksa melarikan diri ke Iran bersama dengan istri barunya setelah desersi dari dinas militer Irak.
Ia menceritakan kisah Sam menggunakan kalimat tokoh, yang dituangkan dalam bentuk 'gelembung' kalimat selayaknya sebuah komik. Demikian juga dengan pencantuman pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh jurnalis itu sendiri.
Teknik itu, ketika dipadukan dengan puluhan lukisan cat air tentang subyeknya, terasa lebih memiliki sentuhan pribadi daripada sekedar teks atau gambar.
Karena membuat pengalaman-pengalaman ini sangat pribadi, Glidden membantu memberi tekanan kepada keseriusan perjuangan para pengungsi.
Bukan Hal Baru
Jurnalisme komik bukanlah hal baru dan sudah ada beberapa dekade lamanya, misalnya seperti yang dilakukan seniman berbakat Joe Sacco.
Ia menggunakan medium tersebut untuk memaparkan segala hal, mulai dari kota hancur lebur akibat perang di Jalur Gaza hingga ke perang di Bosnia Timur.
Tapi, komik itu baru mendapat tempat dalam arus utama selama beberapa tahun belakangan ini. Misalnya The Nib yang didirikan pada September 2013, yang berisi komik seluruhnya, baik fiksi maupun non-fiksi.
The Nib telah menerbitkan lebih dari 2000 karya di situs web mereka dan menerbitkan sebuah buku 300 halaman yang populer, berisi karya-karya terbaik mereka.
The Cartoon Picayune bahkan sudah ada lebih lama, sejak April 2011. Isinya menampilkan jurnalisme komik secara daring dan juga terbitan awalnya yang ditawarkan US$ 4 kepada para pembaca.
Bahkan, terbitan yang lebih mapan seperti New York Times (NYT), juga menggunakan format demikian. Pada Mei lalu, NYT menerbitkan karya 5 bagian besutan Patrick Chappatte yang mengetengahkan kehidupan 4 orang terpidana hukuman mati.
Sebenarnya cukup mengejutkan juga melihat jurnalisme komik bisa bertahan mengingat ketatnya anggaran penerbitan koran dan siklus berita yang 24 jam.
Menurut Glidden, alasannya adalah komik "dapat membuat orang berhenti sejenak dan menyimak."
Orang terus dibanjiri dengan begitu banyaknya gambar dan teks sehingga mereka menjadi kebas akan semua informasi yang dihadirkan.
Dan jurnalisme komik masih baru bagi beberapa orang, sehingga formatnya menggugah orang untuk meluangkan lebih banyak waktu untuk benar-benar mencerna informasi yang dihidangkan.
Pada 2013, Daryll Holliday dan E.N. Rodriguez dari Illustrated Press memproduksi "Bagaimana caranya menyintas penembakan", yaitu suatu karya tentang hidup Nortasha Stingley setelah putrinya yang berusia 19 tahun tertembak hingga meninggal.
Kisah seperti itu diceritakan berulang kali, tapi karya ini memberi dampak yang membekas kepada para pembaca. Mungkin karena komik itu membuat perubahan dari sekedar statistik tak berwajah sebagaimana artikel-artikel lain terkait senjata.
Atau, lebih lugas lagi sebagaimana dijelaskan dalam Columbia Journalism Review, "Kata-kata Stingley, dikemas bersama ilustrasi Rodriguez, meluluhkan hati menurut cara yang hanya bisa diraih sejumlah artikel atau video."
Holliday dan Rodriguez meraih tempat pertama dalam kategori Innovation/Format Buster untuk penghargaan bergengsi Association of Alternative Newsmedia.
Advertisement
Sejumlah Kendala Bagi Informasi yang Hakiki
Hebatnya lagi, format itu bisa diadaptasi untuk penggunaan dalam jurnalisme investigatif. Misalnya dalam dokumenter anyar "Audrie & Daisy".
Para pembuatan film menggunakan gambar animasi dua dari beberapa pelaku penistaan wanita untuk menggambarkan dampak meluas dari serangan seksual.
Penggunaan animasi dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan identitas para pelaku dan "sebisa mungkin mempertahankan mereka sebagai manusia", demikian menurut salah satu sutradara, Bonni Cohen, kepada NPR.
Cara tersebut memungkinkan pemirsa "melihat" dua pemuda itu dan mengerti kejahatan yang telah dilakukan oleh orang sebenarnya, bukan sekedar layar hitam atau individu yang gambarnya diburamkan.
Lagipula, dengan penggambaran menggunakan kartun, para pelakunya tidak mencuri welas asih yang ditujukan kepada para korban.
Jelas ada beberapa kendala ketika melaporkan berita menggunakan komik. Misalnya masalah kecukupan waktu untuk menggambar dan ruang dalam penerbitan, walaupun internet tidak terlalu bermasalah dengan ruang terbitan.
Walaupun demikian, penerbitan pada platform digital juga mensyaratkan paparan secara ringkas, demikian menurut Glidden. Katanya, "Orang harus benar-benar memikirkan bagian informasi yang hakiki."
Kalau terlalu banyak informasi dijejalkan dalam sekat-sekat kecil, nantinya bisa membosankan dan melelahkan. Namun demikian, masalah terbesarnya mungkin terletak pada namanya.
Orang dengan gampangnya mengharapkan sesuatu yang lucu ketika mendengar kata "komik". Dengan demikian, sumber-sumber yang tidak familiar dengan medium tersebut jadi enggan ketika ditanyai tentang hal-hal yang serius.
Perlu tambahan perhatian publik agar jurnalisme komik bisa terbebas dari masalah yang oleh Glidden disebut "masalah penamaan". Semoga karyanya bisa mempersingkat mengatasi masalah tersebut.