Liputan6.com, Ankara - Turki mengatakan telah memberhentikan 10.000 pegawai negeri sipilnya (PNS) dan menutup 15 media yang dicurigai memiliki hubungan dengan organisasi teroris dan ulama Fethullah Gulen.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menuduh Gulen sebagai dalang dari kudeta militer yang terjadi pada Juli 2016 lalu.
Sejak kudeta gagal itu, lebih dari 100.000 orang telah dipecat atau ditangguhkan dan 37.000 lainnya ditahan. Hal tersebut dilakukan pemerintah Erdogan untuk membersihkan aparat negara dari pendukung Gulen.
Advertisement
Ribuan akademisi, pengajar, pekerja kesehatan, penjaga penjara, dan ahli forensik merupakan mereka yang baru-baru ini diberhentikan dari jabatannya melalui dua surat keputusan eksekutif yang diterbitkan lewat berita resmi pada 29 Oktober.
Partai-partai oposisi menggambarkan langkah tersebut sebagai kudeta itu sendiri. Tindakan keras itu juga telah memicu keprihatinan atas fungsi negara.
"Apa yang pemerintah dan Erdogan lakukan sekarang merupakan kudeta langsung terhadap supremasi hukum dan demokrasi," ujar seorang anggota parlemen dari Republican People’s Party (CHP), Sezgin Tanrikulu.
Surat keputusan itu juga meminta penutupan 15 surat kabar, jaringan berita, dan majalah. Total, organisasi media yang ditutup sejak Erdogan mengumumkan keadaan darurat di Turki pada Juli lalu hampir mencapai 160.
Seperti dikutip dari Huffington Post, Senin (31/10/2016), tindakan lain yang menyulut kemarahan penentang Erdogan adalah dihapuskannya kewenangan universitas untuk memilih rektornya sendiri. Erdogan saat ini menunjuk langsung rektor dari kandidat yang dinominasikan oleh Dewan Pendidikan Tinggi (YOK).
Tindakan keras tersebut telah mengkhawatirkan kelompok hak asasi manusia. Banyak sekutu Turki juga mengkhawatirkan bahwa Erdogan menggunakan aturan darurat itu untuk memberantas ketidaksepakatan.
Sementara itu pemerintah membenarkan tindakan tersebut menyusul upaya kudeta yang terjadi pada 15 Juli lalu, di mana menewaskan lebih dari 240 orang.
Anggota parlemen dari CHP lainnya, Lale Karabiyik mengatakan, tindakan itu jelas merupakan penyalahgunaan dari keputusan keadaan darurat. Ia menggambarkannya sebagai kudeta pada sistem pendidikan tinggi.
Oposisi pro-Kurdi mengatakan, keputusan itu digunakan sebagai alat untuk membangun one-man regime.
Pemerintah Turki memperpanjang keadaan darurat hingga pertengahan Januari. Erdogan mengatakan, pemerintah membutuhkan lebih banyak waktu untuk melenyapkan ancaman dari jaringan Gulen serta militan Kurdi yang telah melakukan pemberontakan selama 32 tahun.
Ankara ingin Amerika Serikat menahan dan mengekstradisi Gulen sehingga dapat dituntut di Turki dengan tuduhan bahwa ia mendalangi upaya penggulingan pemerintah. Sementara itu, Gulen yang telah tinggal di pengasingannya di Pennsylvania sejak 1999 menyangkal keterlibatannya.