Liputan6.com, New York - Dari sudut pandang Amerika Serikat (AS), Perang Vietnam telah usai pada 1975. Namun, tidak demikian halnya dengan pihak Vietnam.
Sejak 1975, lebih dari 400 ribu warga Vietnam yang diduga terbunuh dan sekitar 600 ribu orang telah menjadi cacat karena amunisi yang belum meledak, baik dalam bentuk ranjau darat, peluru meriam, bom klaster, dan sejenisnya.
Provinsi Quang Tri yang berada di perbatasan Vietnam Utara dan Vietnam Selatan di masa lalu merupakan kawasan yang paling dihujani bom. Di tempat ini bom lebih banyak dibanding bom yang jatuh di Jerman dalam Perang Dunia II.
Advertisement
Baca Juga
Bahan peledak aktif menjadi sasaran para pemulung besi bekas atau didekati anak-anak yang tidak sadar bahaya. Misalnya Ho Van Lai yang masih berusia 10 tahun pada Agustus 2000. Kala itu, ia dan dua sepupunya bermain-main dengan bekas bom klaster.
Salah satu sepupu tak sengaja memicu ledakan bom dan meninggal dunia. Lai, yang sekarang berusia 26 tahun, lebih beruntung walau kehilangan dua kaki dan hampir semua lengan kanan.
Seperti dikutip dari New York Times pada Senin (31/10/2016), dalam wawancara di Da Nang untuk dokumenter Retro Report, ia mengatakan, "Terbayang oleh saya akan menjadi manusia tidak berguna. Saya seharusnya hidup dalam damai, tapi masih saya terperangkap dalam perang itu."
Laporan video dokumenter itu fokus pada Vietnam, walaupun amunisi gagal ledak menjadi kekhawatiran dunia, mulai dari perang di abad lalu hingga perang di masa modern di Afghanistan, Suriah, Yaman, Irak, dan Ukraina.
Bom dan peluru artileri gagal ledak masih bertebaran di Belgia, Inggris, dan Prancis. Ada beberapa perkiraan yang menyebutkan lebih dari 100 juta ranjau antipersonel masih bertebaran di seluruh muka Bumi.
Paul Heslop, direktur program untuk United Nations Mine Action Service, suatu badan PBB, mengatakan, "Bisa dibilang, ranjau darat itu tentara yang sempurna. Mereka tidak pernah tidur. Mereka tidak perlu istirahat. Tinggal ditanam, diaktifkan, dan mereka terus bertahan hingga 20, 30, 40, atau 50 tahun."
Ada sejumlah pandangan yang menyebutkan bahwa bahaya itu memang tetap ada, tapi sudah berkurang bahayanya karena upaya global untuk mengatasinya. Pada 2014, tahun terakhir statistik, ada 3678 korban dari beraneka ragam jenis senjata lama, sebagaimana tercatat oleh organisasi pelacakan Landmine and Cluster Munition Monitor.
Angka 2014 itu 12 persen lebih tinggi daripada angka tahun sebelumnya, tapi masih lebih rendah daripada 9.220 korban meninggal dan cedera pada 1999. Pada tahun inilah perjanjian pelarangan ranjau mulai diberlakukan.
Kampanye Putri Diana
Perjanjian itu mulai diadopsi pada 1997, antara lain karena kampanye Putri Diana yang banyak mendapatkan liputan. Pada 2008, perjanjian serupa untuk pelarangan amunisi klaster telah disepakati dan diberlakukan pada 2010.
Putri Diana mengunjungi Kito di Angola, kota yang memendam ranjau darat terbanyak. Ia mengenakan helm pasukan huru hara, jaket antipeluru, dan mengikuti Paul Heslop dari Halo Trust ke sebuah ladang untuk meledakkan bahan peledak tersembunyi.
Namun, tak semua senang dengan apa yang dilakukan mantan istri Pangeran Charles itu. Salah satu menteri di Inggris menudingnya tak berbuat banyak dan hanya mencari popularitas.
Diana kemudian membantah. "Aku hanya berusaha untuk menyoroti masalah yang terjadi di seluruh dunia," kata dia seperti dikutip Newsweek. Apapun, apa yang dilakukan ibu Pangeran William dan Harry itu terbukti meningkatkan kepedulian terhadap ranjau darat.
Secara khusus, bom klaster yang mulai dikenal pada 1940 adalah yang paling ganas. Satu bom berisi puluhan bahkan ratusan 'butiran bom' seukuran bola bisbol. Ketika bom induknya membuka, butiran bom itu menyebar ke segala arah dan mengoyak apapun yang ada dalam lintasan mereka.
Tidak ada batasan waktu bagi kemampuan rusaknya. Jika butiran bom tidak langsung meledak, ia akan aktif selama beberapa tahun lamanya ketika tergeletak di tanah.
Seringkali, korbannya adalah anak-anak yang tertarik melihat adanya benda ganjil, sebagaimana yang dialami Ho Van Lai dan sepupu-sepupunya. Walaupun angka korban sudah menyusut sejak 1990-an, bahan peledak itu masih terus membunuh dan melukai rata-rata 10 orang setiap hari.
Sejauh ini, sudah ada 162 negara bergabung dengan perjanjian ranjau darat dan 119 negara sudah melarang amunisi klaster. Tapi, mereka yang tidak ikut tandatangan justru para pemain yang paling digdaya, semisal China, Iran, Israel, Korea Utara, Rusia, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat.
Pihak berwenang AS membela kebijakan mereka sebagai kehati-hatian. Pada 2008, jurubicara State Department mengatakan bahwa "peledak klaster telah membuktikan peran militer, dan penghapusannya dari cadangan AS menyeret nyawa tentara kita dan koalisi kepada risiko."
Mengenai ranjau darat, Pentagon menyebutkannya sangat membantu di kawasan demiliterisasi pemisah Korea Utara dan Selatan. Para pelontar kritik menyebutkan penyebaran ranjau di sana sebagai peninggalan tak berguna dari Perang Dingin, tapi para ahli strategi AS memandangnya sebagai garis pertahanan pertama melawan kemungkinan invasi dari Utara.
Advertisement
'Hantu' Ranjau Darat
Walaupun demikian, perjanjian-perjanjian yang ada telah berdampak kepada warga AS. Ranjau darat juga sangat dihindari sehingga AS tidak banyak menggunakannya dalam Perang Teluk 1991. Cadangannya sebanyak 3 juta ranjau dan sedang berkurang.
Pemerintahan Obama sepertinya berniat menandatangani perjanjian anti ranjau. Pada awal September, Obama mengunjungi Laos, suatu negara yang secara diam-diam dihujani bom sedemikian banyaknya selama Perang Vietnam.
Ia menjanjikan menggandakan bantuan AS ke angka US$ 90 juta dalam 3 tahun ke depan demi membantu pihak Laos menemukan dan melucuti bahan peledak aktif yang tersembunyi di ladang dan hutan.
Ketergantungan AS kepada peledak klaster juga berkurang, setelah puncaknya pada 2003, saat awal Perang Irak. Jurubicara militer mengatakan bahwa tidak ada peledak klaster yang dipakai dalam serangan udara melawan ISIS di Suriah dan Irak.
AS memang terus melakukan ekspor senjata jenis itu dengan syarat agar tidak dipakai di kawasan sipil dan dirancang untuk segera meledak atau kemudian meledak sendiri.
Di akhir 2018, para pembuat senjata harus memastikan kegagalan ledak butiran bom tidak boleh melebihi 1 persen agar mengurangi potensi risiko masa depan di kalangan warga sipil.
Yang jelas, dunia bukan berada dalam damai. Pihak Landmine and Cluster Munitions menyebutkan ada 57 negara yang terancam oleh ranjau-ranjau. Rusia dicurigai menggunakan bom klaster di Suriah dan Saudi Arabia menggunakan bom klaster buatan AS di Yemen, termasuk di kawasan-kawasan sipil.
Sementara itu, pasukan-pasukan anti pemerintah mengandalkan bom pinggir jalan di negara-negara seperti Afghanistan, Kolombia, Irak, Libya, Myanmar, dan Ukraina.
Vietnam menjadi contoh betapa rumitnya masa depan akibat masalah tersebut. Chuck Searcy adalah seseorang paham akan hal itu. Searcy adalah seorang petugas intelijen Amerika di Vietnam pada 1960-an.
Ia sekarang menjadi penasehat bagi Vietnam sebagai bagian Project Renew dalam upaya membersihkan amunisi gagal ledak sekaligus membantu korban-korban seperti Lai.
Ia mengacu kepada militer AS ketika mengatakan, "Ini tanggung jawab kita. Kita yang telah menciptakan masalah itu."
Mungkin diperlukan satu abad lagi untuk membersihkan seluruhnya, karena negara-negara dunia masih dalam konflik, kata Searcy, sehingga "Menghadapi masalah yang sama 20, 30 atau 40 tahun ke depan seperti yang dialami Vietnam."