Liputan6.com, Ohio - Kampanye Donald Trump masih ramai didatangi oleh para penggemar yang mengantre panjang untuk melihat langsung sang kandidat presiden yang mereka dukung.
Dengan bersemangat, mereka mencemooh lawannya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, dan berseru gembira saat mendengar pesan-pesan Trump.
Baca Juga
Namun, di balik sorak-sorai itu, ada emosi baru yang dirasakan sebagian pendukung Trump saat mereka menyadari banyaknya laporan bahwa ia akan kalah dalam pemilu. Ada ketakutan tentang apa yang akan terjadi jika kandidat mereka gagal memasuki Gedung Putih, demikian dilaporkan oleh New York Times, sebagaimana dikutip Liputan6.com, Selasa (1/11/2016). Beberapa dari pendukung itu takut bahwa mereka akan terlupakan, bersama dengan kekhawatiran dan frustasi mereka. Ada pula yang percaya bahwa negara mereka tengah menuju konflik penuh kekerasan.
Advertisement
Jared Hallbrook, 25, dari Green Bay, Wisconsin mengatakan jika Trump dikalahkan oleh Hillary Clinton, yang menurutnya terjadi karena pemilu telah dicurangi, maka akan terjadi "Perang Revolusi yang selanjutnya."
"Orang-orang akan berarak-arak menuju Gedung Kongres," ancam Jared, yang bekerja di sebuah Call Center. "Mereka akan melakukan apa yang diperlukan untuk mengusirnya ke luar dari Gedung Putih, karena Hillary tidak berhak berada di situ."
"Jika kondisi memaksa," ia menambahkan, "Hillary harus pergi dengan cara apa pun, maka itu akan terjadi."
Hasil wawancara dengan lebih dari 50 pendukung Trump di acara kampanyenya di enam negara bagian dalam waktu seminggu, mengungkapkan perubahan atmosfir yang nyata dibandingkan dengan suasana penuh semangat pada awal tahun ini. Saat itu, keberhasilan Trump yang mengejutkan di pemilihan bakal calon presiden dan kemunculannya sebagai kandidat yang tidak biasa dari partai Republik, telah menimbulkan antusiasme yang luas. Sekarang, para pendukungnya lebih banyak tampak tegang dan cepat sekali marah.
Meskipun beberapa pendukung Trump menolak hasil survei yang mengindikasikan bahwa Clinton akan menang, sebagian menawarkan visi masa depan yang buram tentang seperti apa kehidupan mereka jika Hillary menang.
"Saya mungkin tak akan melakukannya, tapi saya takut negara ini akan rusuh," ungkap Roger Pilath, 75, seorang pensiunan guru dari Coleman, Wisconsin. "Saya tak pernah melihat negara ini begitu terbagi, hanya hitam dan putih, tidak ada kompromi sama sekali. Kampanye Clinton mengatakan bahwa kita akan lebih kuat jika bersama-sama, namun kebersamaan itu tak ada. Negara ini tak pernah begitu terbelah seperti ini. Saya melihat akan ada revolusi saat ini."
Julie Olson, seorang peternak yang datang ke kampanye Trump di Colorado Spring, mengatakan bahwa ia dan suaminya telah merasakan periode ekonomi yang sulit selama beberapa tahun terakhir, dan jika Trump kalah, nasib mereka akan semakin buruk.
"Saya mungkin akan menjadi depresi, karena sekarang saja hidup kami terasa berat," ungkap Julie, 69. "Dan jika Hillary menjadi presiden, keadaan akan memburuk, ketiadaan pendapatan, bisnis kecil, bisnis besar."
Wartawan New York Times berbicara dengan beberapa orang yang menghadiri kampanye Trump di Colorado, Florida, North Carolina, Ohio, Pennsylvania, dan Wisconsin. Di setiap kerumunan suporter, selalu ada yang menggaungkan pesan Trump bahwa hasil survei tidak mencerminkan "silent majority" yang menurut mereka akan muncul pada 8 November dan memenangkan Trump dengan mutlak.
"Jika Anda pergi ke kawasan pemukiman mana pun, dan melihat ada berapa papan nama Trump dan Hillary, saya jamin perbedaannya sangat jauh," ungkap Bill Stelling, 44, asal Jacksonville, Florida. "Satu-satunya cara mereka dapat menang adalah dengan mencurangi pemilu."
Karena mereka hanya mendapat informasi dari situs-situs yang pro-Trump seperti Breitbart News dan Infowars, banyak yang percaya bahwa Trump tidak mungkin kalah, dan bahkan mempertimbangkan kemungkinan itu akan dianggap konyol. "Saya pasti sangat terkejut," ungkap Rick Hill, 58, dari Fort Myer, Florida.
Rick menambahkan, "Jika Anda melihat media sosial, Trump mengalahkan Hillary, tiga banding satu."
Namun ada juga yang mengekspresikan kecemasan tentang apa yang akan terjadi jika Trump kalah.
"Sayangnya, saya bukan orang yang suka kekerasan," kata Richard Sabonjohn, 48, dari Naples, Florida. "Saya orang yang suka damai. Tetapi saya pikir ada banyak orang yang akan sangat kesal dan main hakim sendiri."
Amandemen Kedua
 Trump telah berulang kali menyebut pemilu kali ini "dicurangi," membangkitkan kekhawatiran akan penipuan pemilih, dan menyatakan bahwa ia tidak akan menerima hasil pemilu jika ia kalah, yang membuat baik pendukung partai Demokrat dan Republik merasa cemas apakah peralihan kekuasaan akan berlangsung dengan mulus.
Bahkan beberapa pendukungnya yang menyatakan bahwa mereka akan menerima Hillary Clinton sebagai presiden berikutnya secara damai tetap merasa takut bahwa negara mereka akan memilih jalan kekerasan, terutama jika Clinton mencoba membatasi hak-hak dalam Amandemen Kedua.
Paul Swick, 42, yang memiliki bisnis pemindahan barang, mengajak istri dan putrinya untuk menonton pidato Trump di Green Bay minggu lalu. Paul menganggap dirinya sebagai "penganut Kristen yang taat" dan "liberal seperti Thomas Jefferson," dan ia berharap dapat mengalahkan Clinton di "kotak pemilihan."
Namun Paul, menurut perkiraannya sendiri, juga memiliki "lebih dari 30 senjata," dan dia mengatakan bahwa Hillary akan kesulitan jika ingin menyita senjata yang dilindungi oleh undang-undang. Sebagai catatan, Hillary telah menegaskan bahwa dia mendukung Amandeman Kedua, namun ingin menerapkan batasan tertentu, seperti pemeriksaan latar belakang yang lebih ketat untuk para pembeli senjata.
"Jika ia mengincar senjata, maka ia akan menemui jalan yang berliku dan sulit," kata Paul. "Saya berharap saya tak akan pernah menembakkan satu selongsong peluru, namun saya tidak akan ragu. Sebagai seorang Kristen, saya ingin reformasi. Namun terkadang, reformasi perlu dilakukan lewat pertumpahan darah."
Alan Weegens, 62, seorang pensiunan pengemudi truk dari Colorado Springs, juga bertanya-tanya tentang bagaimana negara yang warganya banyak memiliki senjata, dan menurutnya ia akan akan bereaksi, "seperti menginjak-injak seorang nenek pada saat Black Friday (hari diskon besar setelah Thanksgiving )demi mendapatkan pemanggang roti seharga lima dolar," jika Trump kalah.
"Saya tidak akan mengangkat senjata dan berdemonstrasi di jalan karena pemilu yang tak saya menangkan," ungkap Alan, "namun menurut saya jika terjadi sesuatu, kita perlu melindungi diri kita sendiri, tergantung di mana kita tinggal, jika lingkungan kita tiba-tiba bergejolak."
Ketika ditanya apa yang dapat menyebabkan kerusuhan, ia menunjuk tempat-tempat seperti Ferguson, Missouri, dan Charlotte, North Carolina, yang telah dilanda kerusuhan saat polisi menembak pria kulit hitam, dan mengatakan, "Sebab orang-orang yang lapar dapat menjadi kejam."
Saat Clinton semakin berjaya di survei, sebagian pendukung Trump sulit memikirkan seperti apa masa kepresidenan Clinton bagi mereka.
"Saya mungkin akan pulang ke rumah, dan menangis selama empat tahun," kata Ken Herrmann, 69, dari Punta Gorda, Florida.
Kathy Maney, 61, seorang penata rambut dari Fletcher, North Carolina, menggunakan bahasa kesedihan karena putus cinta. "Saya tidak akan merasa benci, marah, atau yang semacamnya, namun hati saya akan terluka," ungkapnya.
Vicki Sanger, 40, dari Grand Junction, Colorado, menyatakan kecemasan yang lebih sederhana. "Saya hanya cemas jika Hillary akan dilengserkan sebelum menyelesaikan masa jabatannya," katanya.
Namun, Vicki menambahkan, dia akan patuh dan menerima hasil Pemilu. "Saya akan menghormati hasilnya dan mendukung presiden berikutnya," tegasnya. "Mari berdoa untuk presiden yang berikutnya, siapa pun dia."
*Irma Anzia adalah kontributor Liputan6.com di Chicago, Amerika Serikat
Advertisement