Sukses

6 Alasan Mengapa Donald Trump Dinilai 'Berbahaya'

Kampanye Donald Trump makin tak beraturan, namun demikian terdapat pola tetap tentang perkataan dan perbuatan Trump: yaitu penuh kekerasan.

Liputan6.com, New York - Cara pandang Donald Trump disimpulkan dengan satu kalimat: Dunia ini adalah tempat yang ganas, dan harus ditanggapi dengan ganas pula. Hal itu diperkuat dengan kepribadiannya yang baru-baru ini terungkap bahwa Trump memang menyukai kekerasan.

"Saya sangat pemberontak," kata Trump ketika ditanya oleh penulis D'Antonio mengenai masa kecilnya di Queens, New York. Fakta itu terkuak ketika Michael D'Antonio dengan sadar membocorkan rekaman wawancaranya dengan miliarder nyentrik pada 2015 lalu.

Percakapan intim itu terjadi selama 5 jam mengungkap jati diri Trump sebenarnya. Awalnya, tak ada niatan D'Antonio untuk membocorkan rekaman pribadi.

Namun, sesuatu berubah. Setahun kemudian, Trump memutuskan untuk menjadi presiden AS. D'Antonio pun sontak khawatir ketika kampanye miliarder nyentrik itu penuh dengan umpatan dan kekerasan.

Dengan penuh kesadaran, D'Antonio memberikan rekaman itu kepada wartawan New York Times. Rekaman itu menangkap sisi emosi Trump yang selama ini belum terungkap lewat media.

Kampanye Trump makin tak beraturan, namun demikian terdapat pola tetap tentang perkataan dan perbuatan Trump.

Pada hari-hari terakhir kampanye, Trump berkali-kali mengatakan pemilu kali ini curang. Kata-kata kasar pun kerap terlontar dari mulut pengusaha properti asal New York. Ia menyebut Hillary Clinton, 'Crooked Hillary' dan 'Nasty Woman'.

Polahnya membuat para pengikutnya 'terbius'. Baru-baru ini wartawan New York Times mengikuti kampanye yang digelar oleh Trump. Awak media salah satu majalah tertua di AS itu dibuat terkejut ketika mendengar pengakuan pendukung Trump.

Para pendukung mengatakan mereka percaya Trump dicurangi dan akan membuat revolusi, menggeret Hillary keluar dari Gedung Putih.

Terkait dengan situasi itu, bisa dikatakan Trump adalah kandidat capres paling berbahaya sepanjang sejarah. Hal itu juga pernah diungkapkan oleh Hillary Clinton beberapa waktu lalu.

Mengapa sampai ada anggapan demikian? Berikut 6 alasan bahwa Trump berbahaya. Liputan6.com mengutip dari NBCNews dan berbagai sumber pada Selasa (1/11/2016).

2 dari 7 halaman

1. Retorika Trump

 Menurut Trump, dunia adalah tempat yang kejam, di mana kota-kota adalah "zona perang," dan "para pemerkosa" berdatangan melintasi perbatasan, dan para saingan yang iri padanya berencana untuk mempermalukan Amerika dan Trump secara pribadi.

Untuk dapat bertahan di lingkungan semacam itu, menurutnya, setiap serangan harus ditanggapi dengan segera dan sekeras mungkin.

Ekspresi capres AS dari Partai Republik, Donald Trump ketika melihat rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton sebelum dimulainya perhelatan debat ketiga dan terakhir capres AS di University of Nevada, Las Vegas, Rabu (19/10). (REUTERS/Mike Blake)

Batasan hukum atau tradisi, adalah urusan belakangan.

Dasar pemikiran ini juga tampak dalam kebijakan-kebijakan yang diajukan Trump, seperti melakukan penyiksaan, mengancam pembalasan terhadap keluarga teroris, dan berjanji akan memenjarakan Hillary.

Pemikiran Trump tergambar secara retoris dalam hinaan-hinaannya yang keji terhadap para pengkritiknya dan dukungannya bagi kekerasan yang dilakukan para pendukungnya.

"Dia jahat, tapi saya bisa lebih jahat daripadanya," Trump menyatakan pada The New York Times setelah Clinton mengkritik komentar-komentarnya akan penampilan wanita di debat pertama.

Hari berikutnya, saat berkampanye, ia mensinyalir bahwa Hillary telah berselingkuh, tanpa memberi bukti apa pun akan klaim tersebut.

Dasar pemikiran tersebut juga tercermin dalam bocoran video saat Trump dengan perkataan vulgarnya. Lalu, ia juga menghina penampilan dan mengancam wanita-wanita yang telah secara terbuka menuduh Trump telah melakukan kontak seksual yang tidak diinginkan.

Pemikiran yang sama jelas terlihat dalam kampanye-kampanye Trump, dan para pendukungnya yang merefleksikan nada serupa dengan kandidat jagoan mereka.

"Kami semua pendukung Amandemen Kedua, kami ingin mengembalikan kedaulatan negara kami, seperti yang dikatakan Trump, dan Hillary tak akan memberikannya pada kami," Tammy Wilson, seorang pendukung Trump, menegaskan di sebuah kampanye di Florida pada bulan ini, dan meramalkan bahwa masyarakat akan "memberontak" jika Trump kalah.

"Kami khawatir akan kemungkinan terjadinya kekerasan pada Hari Pemilu dan sesudahnya," ungkap Heidi Beirich dari Southern Poverty Law Center kepada NBC News.

3 dari 7 halaman

2. Prinsip Balas Dendam

 Prinsip balas dendam sepertinya menjadi kebanggaan bagi Trump, yang sering menjual filosofinya ini dalam beberapa kesempatan.

"Jika orang menyerang saya, saya akan menyerang mereka dengan lebih parah, dan biasanya mereka yang meyerang terlebih dahulu," kata Trump kepada Fox News bulan April, "Seperti itulah kita ingin memimpin negara ini." Pada bulan yang sama, Trump mengungkapkan kepada seorang penyiar radio bahwa ayat Injil yang paling memengaruhinya adalah "nyawa dibalas nyawa."

Ia menjelaskan dukungannya terhadap penyiksaan dan kejahatan perang dengan ungkapan "membalas api dengan api." Saat dikritik karena mengejek keluarga pahlawan perang (Gold Star family) yang mengkritik proposalnya untuk melarang masuknya muslim ke AS, Trump bertanya, "Apakah saya tidak boleh membalas?"

Ilustrasi pendukung Donald Trump (Reuters)

 

"Tidak ada kandidat presiden atau presiden yang menggunakan gambaran semacam itu secara berulang-ulang sepanjang kampanyenya," demikian analisa Martin Medhurst, seorang profesor dari Baylor University yang memiliki spesialisasi dalam bidang retorika politik. "Tidak pernah ada yang seperti itu."

4 dari 7 halaman

3. Hobi Kekerasan

Pada debat capres kedua di St. Louis. jutaan penonton menunggu reaksi Trump akan video Access Hollywood tahun 2005 yang berisi sesumbarnya tentang menggerayangi alat vital perempuan secara paksa.

Saat dimintai komentar oleh pemandu debat, Trump meminta maaf secara singkat dan mereduksi ucapannya sebagai "obrolan khas pria di kamar ganti."

Capres AS asal Partai Republik, Donald Trump (Reuters)

Namun kemudian jawabannya berubah menjadi penuh darah dengan menggambarkan tindakan keji ISIS. Ini adalah kebiasaan Trump yang telah dilakukannya berulang kali sebelumnya. Dan dalam pandangan Trump tentang dunia yang penuh konfrontasi, ini masuk akal: selama musuh di luar sana masih melakukan hal buruk, tak ada gunanya membicarakan "kesalahan kecil" seorang Trump.

Menonjolkan kekejaman musuh, dalam hal ini ISIS, sering kali dilakukan Trump dalam wawancara dengan media dan kampanyenya untuk menjustifikasi usulannya untuk melakukan penyiksaan tersangka terorisme.

"Musuh kita memenggal kepala umat Kristiani dan menenggelamkan mereka di kurungan, tapi kita terlalu bersopan-santun dalam menanggapinya," tulisnya dalam surat ke USA Today pada bulan Februari 2016. 

"Kita harus berperang dengan ganas dan keji karena kita berurusan dengan orang-orang yang keji," katanya pada bulan Juni saat mendukung dilakukannya waterboarding (metode penyiksaan dengan menyiram air ke wajah tersangka hingga kehabisan napas), dan eksekusi pelaku terorisme.

Trump telah menempatkan kesediaannya untuk berlaku lebih brutal dari lawannya sebagai inti dari pesan-pesan politiknya. Terbukti, ini merupakan strategi yang efektif dalam kampanye selama pemilihan capres partai Republik, saat lawan-lawannya sebagian besar merasa tidak nyaman saat melenceng dari batasan konstitusi atau asumsi tradisional akan kemanusiaan.

5 dari 7 halaman

4. Blak-blakan

Bagi para pendukung Trump, salah satu daya tarik Trump adalah kebiasaannya untuk "mengatakan apa adanya."

Bagi Ben Johnson, seorang pensiunan petugas pemadam kebakaran, masalahnya bukan pada diri Trump, melainkan orang lain. Politisi lainnya, menurut Ben, menawarkan "gambaran berbunga-bunga" tentang dunia, sedangkan Trump adalah seorang yang realistis, terutama tentang isu-isu seperti terorisme.

Saat Trump berbicara dalam kampanyenya, ia berhenti sejenak untuk membiarkan pendukungnya meneriaki wartawan yang meliput. Seruan "penjarakan Hillary" pernah ia ungkapakan di debat kedua.

Ekspresi Donald Trump yang berdiri belakang rivalnya, Hillary Clinton selama debat Capres AS putaran kedua di Washington University, St Louis, AS, Minggu (9/10). Bahasa tubuh trump ini memicu keheranan dan ejekan di media sosial. (AP Photo/Julio Cortez)

 

Empat hari kemudian, di Greensboro North Carolina, peserta kampanyenya meneriakkan "penjarakan dia" dengan mengacu pada salah satu wanita yang menuduh Trump melakukan pelecehan seksual.

Trump membicarakan para wanita itu sebagai topik utama dalam pidatonya kali ini. Trump, yang terkenal sering menyerang musuh-musuhnya melalui media sosial, juga mendorong para pendukungnya untuk "memeriksa" laman Facebook salah satu penuduhnya.

6 dari 7 halaman

5. Kampanye Penuh Kekerasan

Jika capres lainnya selalu berusaha menjaga jarak dari pendukung yang berangasan atau mengancam, Trump telah menyiratkan atau bahkan menyatakan terang-terangan bahwa bersikap ekstrem untuk membela Trump bukanlah hal yang salah.

Pesan itu memuncak saat pemilihan bakal capres, saat Trump, yang mempromosikan platform "hukum dan peraturan," secara rutin membela pendukungnya yang menyerang pemrotes secara fisik.

Saat pemilihan di Iowa pada bulan Februari, Trump mengatakan pada pendukungnya bahwa ia akan membayar pengacara jika mereka "menonjok hingga KO" pemrotes yang diklaimnya hendak melempar buah tomat. Pada bulan yang sama, Trump mengatakan bahwa ia "ingin menonjok wajah" seorang pemrotes yang sedang diseret ke luar oleh petugas keamanan.

Ilustrasi pendukung Donald Trump (Reuters)

Tindak kekerasan semacam ini merupakan ritual familiar di acara kampanye Trump, hingga terjadi bentrokan antara pemrotes dan pendukung pada acara bulan Maret di Chicago.

Kampanyenya kini disertai rekaman permintaan agar para penonton membiarkan petugas keamanan menangani setiap gangguan. Namun Trump tetap mengancam para pejabat partai Republik bahwa akan terjadi "kerusuhan" jika mereka menolak menominasikannya sebagai capres pada acara konvensi GOP.

"Kita melihat banyak kekerasan di sekitar penampilan Trump, yang membuat pendukungnya berpikir: 'Wah, dia mengizinkan saya melakukan hal itu,' bahkan tanpa perintah langsung," menurut Kim Lane Scheppele, dosen Princeton dan pakar rezim otoriter. "Ini menciptakan budaya permisif."

Trump dua kali membuat gurauan yang menyiratkan himbauan untuk membunuh Hillary. Pada bulan Agustus, ia mengusulkan bahwa "para pendukung Amandemen Kedua" dapat mencegah Hillary dari menunjuk Hakim Agung yang baru. Secara luas, ucapannya itu dianggap mengacu pada tindak kekerasan, meski tim kampanyenya membantah. Pada bulan September, ia mengatakan bahwa para pengawal pribadi Clinton harus melepaskan senjata mereka dan "mari kita lihat apa yang akan terjadi padanya."

7 dari 7 halaman

6. Menular

Dalam minggu-minggu terakhir kampanyenya, Trump telah menggambarkan dirinya sebagai korban konspirasi global yang akan mencegahnya menjadi presiden, menyalahkan hampir semua pihak, termasuk media, pejabat pemilu, bank, penyelenggara survei, Demokrat, Republik, dan wanita-wanita yang menuduhnya melakukan pelecehan seksual.

Tertular capres unggulannya, salah satu pendukung Trump menyatakan pada Boston Globe bahwa ia berencana membuat pemilih minoritas "merasa sedikit was-was" di lokasi pemilihan sebagai tanggapan akan seruan Trump untuk mengawasi penipuan di tempat pemungutan suara.

Pendukung lain mencetuskan kemungkinan terjadinya kerusuhan pascapemilu. Tim kampanye Trump menanggapi artikel tersebut dengan pernyataan bahwa mereka "menolak segala bentuk kekerasan dan tak akan membiarkannya menjadi bagian dari kampanye kami."

Namun eskalasi retorika, dan keengganan Trump untuk membantah pendukung yang ekstrem, membuat kelompok-kelompok HAM khawatir bahwa kondisi akan bertambah bahaya.

Donald Trump saat berkampanye di Daytona Beach, Florida (Reuters)

Ketakutan ini terutama karena Trump telah menyebar target luas, yang sering kali terkait dengan komponen ras, etnis, atau agama. Ia secara reguler membuat klaim-klaim palsu tentang muslim Amerika merayakan terorisme atau menolak menyerahkan pelaku terorisme, serta memberi peringatan bahwa "komunitas lain" (hampir selalu kota-kota dengan populasi minoritas yang besar) telah mencuri pemilu. Baru-baru ini Trump mengatakan pada Fox News bahwa "imigran ilegal telah memilih di seluruh negeri."

"Apa yang akan terjadi pada tanggal 9 November masih belum pasti, namun tren intoleransi dan tindak kekerasan yang makin menjadi dan meluas, serta siratan akan konspirasi jahat merupakan hal yang mengkhawatirkan," menurut Jonathan Greenblat, CEO dari Liga Anti-Pencemaran Nama Baik, dalam sebuah wawancara.

 

*Irma Anzia adalah kontributor Liputan6.com di Chicago, Amerika Serikat

Video Terkini