Liputan6.com, Jakarta - Sebuah peristiwa dramatis terjadi pada pemilu presiden AS tahun 2012. Saat itu berbagai polling menjelang hari H pada 6 November menunjukkan, selisih poling rata-rata capres Partai Demokrat, Barack Obama dan pesaingnya dari Partai Republik, Mitt Romney sudah sangat tipis, hanya terpaut 0,7 % berdasarkan data RealClearPolitics atau sudah dalam margin of error.
Tim kampanye Romney yang sudah lama meyakini berbagai jajak pendapat lebih condong ke Obama, melakukan olah data tersebut di internal dan menyimpulkan Romney menang telak.
Baca Juga
Euforia menyelimuti seluruh kubu Partai Republik, tidak hanya tim Romney, melainkan juga pejabat-pejabat partai dan para pengamat politik berhaluan konservatif seperti Karl Rove, Charles Krauthammer, George Will, dan Dick Morris yang sangat yakin Romney akan menjadi Presiden AS ke-44. Saking optimistisnya akan menang tim Romney sudah menyiapkan kembang api untuk perayaan kemenangan dan mengabaikan satu hal: menyiapkan pidato kekalahan.
Advertisement
Tapi semua kecele. Romney ternyata kalah telak dari Obama, dengan perolehan suara elektoral 206 vs 332. Tim Romney benar-benar terkejut melihat hasil pilpres: “Suasana di Tim Romney bagaikan keluarga yang baru saja di tinggal mati salah satu anggotanya,” kata salah satu staf Romney kepada majalah Slate.
Situasi politik dalam beberapa hari menjelang Pilpres AS 8 November saat ini mirip dengan situasi empat tahun lalu: selisih polling rata-rata Clinton versus Trump semakin menipis dan memasuki wilayah margin of error.
Hal ini dipicu oleh munculnya beberapa isu terbaru seperti surat FBI ke DPR AS terkait penemuan email Clinton di laptop Anthony Wiener serta pengungkapan WikiLeaks mengenai tindakan Donna Brazile--komentator CNN yang juga ketua sementara Democratic National Congress--membocorkan pertanyaan yang diajukan dalam debat kepada tim Clinton sebelum debat Clinton-Sanders di primary.
Kedua isu ini dikhawatirkan membuat banyak pemilih independen dan pemilih Demokrat yang sebelumnya mendukung Bernie Sanders di primary kembali antipati kepada Clinton dan memilih tinggal dirumah daripada datang ke TPS untuk memberi suara kepada capres Partai Demokrat ini. Sebaliknya, bagi tim kampanye Trump kedua isu ini memberi darah segar kepada para elite partai untuk lebih semangat berkampanye dan mengajak pemilih Partai Republik untuk memilih Trump.
Pertanyaanya adalah dengan isu-isu terbaru yang menerpa Clinton akankah membuat ia disalip Trump di menit-menit terakhir? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami sistem pilpres AS, karakter pemilih, isu-isu dominan dan strategi penggalangan massa yang dilakukan oleh kedua partai. Juga perlu diperhitungkan sejumlah 'Faktor X' yang tidak terbaca sejumlah lembaga poling.
Pilpres AS Bersifat Tidak Langsung dengan Sistem "Winner Takes All"
Pilpres AS merupakan pemilihan tidak langsung. Dan presiden dipilih oleh electoral-college atau "perwakilan pemilih" yang jumlahnya 538 suara elektoral atau electoral votes dari seluruh negara bagian AS. Seorang capres terpilih menjadi presiden jika memenangkan suara elektoral 50 % + 1 atau 270 suara electoral.
Setiap negara bagian memiliki suara elektoral berbeda tergantung jumlah penduduknya, mulai dari Vermont atau Wyoming dengan 3 suara elektoral hingga California yang memiliki 55 suara elektoral. Suara elektoral dipilih melalui pemungutan suara di setiap negara bagian.
Partai yang meraih suara pemilih (popular vote) terbanyak di sebuah negara bagian akan memenangkan seluruh suara elektoral di negara bagian tersebut. Pengecualian berlaku di Negara Bagian Nebraska dan Meine yang menerapkan pembagian suara elektoral berdasarkan distrik.
Pembagian wilayah pilpres AS
Beberapa pakar politik AS meyakini adanya "Blue Wall" atau negara-negara bagian AS yang akan selalu memilih capres Partai Demokrat dan "Red Picket Fence" atau negara-negara bagian AS yang akan selalu memilih capres Partai Republik yang membuat peta politik AS tidak banyak berubah.
Namun mayoritas pengamat berkeyakinan, pilpres AS sangat dinamis sehingga adanya 'tembok' pertahanan Partai Demokrat dan 'pagar' pelindung Partai Republik yang sulit ditembus tidak sepenuhnya benar. Ada negara-negara bagian yang secara tradisional masuk kategori "Blue Wall" atau "Red Picket Fence", tapi dalam situasi tertentu berubah menjadi "Swing States".
"Blue States"
Pada pilpres 2016, negara bagian AS yang hampir dipastikan akan memilih Clinton atau "Blue States" (angka di dalam kurung adalah suara elektoral masing-masing), adalah: California (55), Connecticut (7), Delaware (3), Hawai’i (4), Illinois (20), Maryland (10), Massachusetts (11), Minnesota (10), New Jersey (14), New York (29), Oregon (7), Rhode Island (4), Vermont (3), Washington (12), New Mexico (5) dan DC (3). Ke-16 negara bagian "Blue States" ini memberi Hillary Clinton 197 suara elektoral, sehingga dia perlu tambahan 72 suara elektoral untuk meraih 270 suara elektorat dan memenangkan pilpres.
"Red States"
Negara Bagian yang hampir dipastikan memilih Trump atau "Red States" pada pilpres 2016 adalahsebagai berikut: Alabama (9), Alaska (3), Idaho (4), Kansas (6), Mississippi (6), Nebraska (5), North Dakota (3), Oklahoma (7), South Carolina (9), South Dakota (3), Texas (38), Wyoming (3), Arkansas (5), Kentucky (8), Louisiana (8), Missouri (10), Tennessee (11), Indiana (11), Montana (3), Utah (6) dan West Virginia (5). Ke-21 negara bagian tersebut memberi 164 suara elektoral ke Donald Trump sehingga memenangkan pilpres, Trump harus meraih tambahan 106 suara elektoral.
"Swing States"
Negara-negara yang bisa memilih Clinton atau Trump yang populer dengan nama "Swing States" atau "Battleground States" pada pilpres 2016 ini adalah: Michigan (16), Pennsylvania (20),Wisconsin (10), Iowa (6), Nevada (6), Colorado (9), Arizona (11), Florida (29), Ohio (18), Maine (4), New Hampshire (4), Georgia (16), North Carolina (15) dan Virginia (13), dengan total suara elektoral mencapai 177 dan akan diperebutkan oleh Clinton dan Trump untuk meraih suara elektoral minimal 270.
Faktor-faktor penting yang menentukan pilihan calon di pilpres AS: Ras, Pendidikan dan Gender, Ekonomi
Dari 225.8 juta warga AS yang berhak untuk memilih, 156 juta atau 69 % adalah warga kulit yang terbagi lagi menjadi warga kulit putih lulusan perguruan tinggi (college-educated white) dan kulit putih berpendidikan SMA ke bawah (non-college-educated white).
Pemilih kulit putih lulusan perguruan tinggi memilih Clinton
Mayoritas pemilih kulit putih biasanya memilih capres Partai Republik. Tapi pada tahun ini mayoritas pemilih kulit putih lulusan perguruan tinggi akan cenderung memilih Clinton, sedangkan mereka yang berpendidikan SMA ke bawah akan cenderung memilih Trump.
Pemilih kulit putih lulusan perguruan tinggi akan membantu Clinton untuk mengungguli Trump di "Swing States" penting Colorado, New Hampshire dan Virginia; sedangkan pemilih kulit putih lulusan SMA ke bawah akan sangat mempengaruhi hasil pilpres di "Swing States" penting seperti Iowa, Nevada, Ohio, Pennsylvania dan Wisconsin.
Minoritas memilih Clinton
Pemilih minoritas yang jumlahnya terus meningkat terdiri dari warga Afrika-Amerika mencapai 27.4 juta orang atau 12.1 %, warga Hispanik yang mencapai 27.3 juta atau 12.1 % dan warga Asia-Amerika dan ras lain yang mencapai 9.3 juta atau 4.1 %.
Mayoritas pemilih warga Afrika-Amerika, Hispanik, Asia-Amerika dan warga minoritas lain diprediksi akan memilih Clinton dengan selisih yang sangat signifikan. Pemilih Hispanik jumlahnya cukup besar di Swing States penting seperi Florida, Nevada dan Arizona, sementara pemilih Afrika-Amerika memiliki peran penting di Swing States Florida, Michigan, North Carolina, Ohio, Pennsylvania, Virginia dan Georgia.
Pemilih Asia-Amerika terbesar berada di Nevada dan mereka selalu berada di belakang capres Partai Demokrat.
Wanita memilih Clinton
Lebih dari 50% pemilih di AS di seluruh negara bagian juga AS adalah kaum wanita. Wanita kulit putih memiliki preferensi berbeda dengan pasangan mereka dalam hal memilih capres. Pemberitaan soal pelecehan seksual, baik verbal maupun fisik, oleh Trump membuat mayoritas wanita kulit putih akan memilih Clinton dalam pilpres kali ini.
Situasi ekonomi Swing States yang biasa-biasa saja menguntungkan Trump
Ekonomi juga menjadi faktor yang mempengaruhi warga AS dalam memilih capres Meskipun kondisi ekonomi AS sudah pulih dari krisis ekonomi di akhir pemerintahan ke-2 George W. Bush pada 2008, ekonomi AS tumbuh biasa-biasa saja.
Angka pengangguran rata-rata di AS saat ini mencapai 4.9%, jauh lebih rendah dari angka pengangguran di akhir pemerintahan George W. Bush yang mencapai 7.2%.
Swing States yang mengalami angka pengangguran yang lebih tinggi dari rata-rata nasional adalah Arizona, Georgia, Pennsylvania, Ohio dan Nevada sedangkan Florida, Virginia, Iowa, Wisconsin, New Hampshire, Colorado, Maine dan Michigan, memiliki angka pengangguran yang lebih rendah dari rata-rata nasional.
Di tengah situasi ekonomi yang biasa-biasa saja, sejumlah Swing States penting seperti Arizona, Georgia, Ohio dan Iowa sangat kuat condong ke Trump.
Proyeksi Hasil Pilres AS 2016 Menurut Beberapa Situs Poling Agregator
Sejumlah situs polling aggregator seperti FiveThirtyEight, RealClearPolitcs, PredictWise, HuffingtonPost Pollster, New York Times Upshot dan Princeton Election Consortium (Prof. Sam Wang) telah melakukan analisis terhadap poling-poling yang muncul setiap hari, memasukkan faktor-faktor penting di atas ke dalam perhitungan mereka dan mengeluarkan prediksi hasil Pilpres AS 2016.
Di bawah ini adalah prediksi hasil pilpres dari 6 polling aggregator berdasarkan data hingga tanggal 6 November waktu Indonesia. Mereka rata-rata memprediksikan Hillary Clinton akan menjadi Presiden AS ke-45 sekaligus presiden AS perempuan pertama selama 240 tahun sejak dideklarasikannya kemerdekaan AS:
Advertisement
Faktor 'X'
Menurut perhitungan FiveThirtyEight, peluang Hillary Clinton memenangkan pilpres 2016 hanya sebesar 65 %, sementara dalam perhitungan situs-situs peluang kemenangan Clinton jauh lebih besar yakni di atas 80 %. Princeton Election Consortium bahkan menyebut peluang Clinton untuk menang di pilpres sudah di atas 99 %.
Pesimisme FiveThirtyEight terhadap kemenangan Clinton pada 8 November nanti bukan tanpa alasan mengingat pilpres AS kali ini penuh dengan kejutan atau peristiwa "Black Swan" yang membuat segalanya serba tidak pasti.
Panel FiveThirtyEight mencatat paling tidak 7 "Faktor X" yang bisa menjungkirbalikkan prediksi-prediksi tersebut karena prediksi-prediksi itu diperoleh berdasarkan poling-poling terbaru dan tidak memperhitungkan beberapa hal yang terjadi di lapangan dan kejutan-kejutan lain menjelang hari H: (1) Voting dini atau early voting untuk meraih keunggulan di awal; (2) Mobilisasi pemilih ke tempat pemungutan suara (GOTV); (3) Naiknya atau turunnya tingkat partisipasi pemilih minoritas; (4) Kemungkinan aksi terorisme menjelang menjelang 8 November; (5) Terjadinya chaos akibat sistem voting elektronik pilpres AS diretas; (6) Informasi baru dari FBI mengenai pelanggaran hukum oleh Clinton terkait server email atau Clinton Foundation; (7) Pendukung Trump atau Clinton yang selama ini tidak terjangkau oleh lembaga poling atau "shy voters" secara tiba-tiba muncul dan memilih di pilpres secara signifikan.
Berdasarkan pantauan media, Clinton sejauh ini unggul dalam early voting dan GOTV. Jumlah pemilih Hispanik yang melakukan early voting atau mendaftar untuk memilih meningkat secara signifikan dari pilpres 2012, tapi sebaliknya pemilih Afrika-Amerika yang melakukan hal sama menurun secara signifikan dibanding empat tahun lalu. Jumlah relawan Clinton yang melakukan mobilisasi massa jauh lebih banyak dari relawan Trump.
Apakah dengan sejumlah ‘Faktor X”membayangi di hari-hari terakhir menjelang hari-H, Trump akan secara mengejutkan terpilih menjadi Presiden AS ke-45? Tentunya kita harus menunggu hasil-hasil quick count dan Komisi Pemilu AS mengumumkan hasil resmi pilpres AS paling cepat pada 8 November malam waktu setempat atau 9 November pagi waktu Indonesia!
** Ditulis oleh Didin Nasirudin. Penulis adalah Praktisi Komunikasi, Pemerhati Politik AS dan Kandidat Magister Komunikasi Politik dari Univesitas Jayabaya