Liputan6.com, New York - Semboyan Donald Trump adalah, 'Make America Great Again'. Tapi, selama kampanye , justru retorika penuh yang kebencian kerap dilontarkan.
Janji-janjinya yang berlebihan bahkan cenderung berbahaya ternyata dapat memikat para pendukungnya. Belum lagi cara dia mengolok-olok lawannya, Hillary Clinton. Mulai dari memanggilnya 'crooked Hillary' hingga 'nasty woman'.
Bahkan, di debat kedua capres AS, Trump mengancam akan memenjarakan Hillary jika ia jadi presiden.
Advertisement
Kini Trump terpilih jadi Presiden ke-45 AS. Akankah ia akan mewujudkan ancamannya?
Apa sajakah ancamannya? Liputan6.com mengutip dari CNN dan berbagai sumber pada Kamis (10/11/2016).
1. Tembok Pembatas
Ucapannya yang paling kontroversial adalah ia ingin Meksiko membangun tembok tinggi di perbatasan dengan AS.
"Karena mereka mengirimkan masalah. Orang-orang Meksiko membawa obat-obatan, mereka kriminal, mereka pemerkosa, meski saya berasumsi, ada orang baik juga," ucapnya pada Juni 2015.
"Oleh sebab itu saya akan membangun tembok -- yang 'cantik' -- terkait kebijakan imigrasi saya," lanjutnya.
Trump pun bersikeras bahwa Meksiko yang akan membayarnya. Meskipun saat ia datang ke Meksiko dan bertemu Presiden Enrique Peña Nieto pada Agustus, tak disinggung isu itu.
Partai Demokrat dan pemilih moderat pun mengecam kebijakan itu. Namun, rencana liar itu didukung oleh para pemilihnya.
Advertisement
2. Penjarakan Hillary Clinton
Retorika penjarakan Hillary bergaung saat Konvensi Nasional Republik. Semenjak saat itu, kalimat 'tahan Hillary' menjadi sebuah ritual di dalam kampanye Trump.
Dalam debat kedua, ancaman itu terlontar secara langsung oleh Trump.
"Hillary tak tahu apa maksud huruf C di email-email yang dimaksud," potong Trump. Miliader nyentrik itu makin keras terkait dengan skandal email mantan Menlu AS itu.
Trump mengatakan, sangat tidak mungkin Hillary menghapus 30.000 email.
"Kalau saya jadi presiden, Hillary akan saya bawa ke penjara," potong Trump.
Banyak politikus baik dari sayap kiri maupun kanan merasa tertampar oleh komentar Trump. Namun tidak bagi pendukungnya.
Pada 11 hari menjelang hari pencoblosan, direktur FBI, James Comey mengatakan ada email baru --yang berbeda dengan email sebelumnya.
Namun hanya dalam hitungan hari, Comey membersihkan nama Hillary. Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. Pengumuman skandal email terbaru itu diduga menjadi andil penyebab kekalahan capres Demokrat itu.
3. Pelarangan Muslim
Hampir setahun lalu, tak lama setelah insiden penembakan di San Bernardino, California, Trump mengeluarkan rencana paling dramatis: "menutup pintu bagi muslim untuk masuk ke AS sampai perwakilannya mengetahui apa yang sedang terjadi."
Proposal itu kemudian berkembang 11 bulan kemudian, sehingga sulit untuk mengidentifikasi posisi yang tepat Trump tentang masalah tersebut.
Dia akhirnya mengatakan larangan itu diterapkan untuk imigrasi "dari bangsa yang dicap penghasil terorisme.
Bulan lalu, pasangan Trump, Mike Pence, menyebut rencana itu "ofensif dan inkonstitusional," mengatakan bahwa Trump tidak lagi mendukung larangan umat Islam memasuki AS.
Tapi para Republikan tampaknya percaya Trump akan melaksanakan itu.
Data exit poll dari awal tahun ini menemukan mayoritas pemilih GOP pemilih mendukung larangan sementara terhadap Muslim memasuki negara itu.
Advertisement
4. Hapus ObamaCare
Partai Republik mencoba menolak rencana Presiden Obama terkait asuransi kesehatan Obamacare semenjak digelontorkan tahun 2010. Namun, baru kali ini Grand Old Party akhirnya punya seseorang di Gedung Putih untuk membatalkannya.
Trump mencela Affordable care Act, atau Obamacare yang dianggap bencana. Ia akan menggantikannya dengan skema, yang katanya, lebih baik.
Padahal, semenjak adanya Obamacare, lebih dari 20 juta warga AS kini punya asuransi kesehatan.
5. Pembatalan NAFTA dan TPP
Kemenangan mustahil Trump didorong sebagian besar oleh kemenangannya negara bagian di sepanjang jalur Rust Belt. Negara-negara seperti Wisconsin dan Pennsylvania beralih ke GOP untuk pertama kalinya sejak tahun 1980-an, dengan kemenangan telak di Michigan.
Trump menginspirasi pemilih di sana dengan pesan populis seperti perdagangan bebas dan berjanji mengembalikan masa-masa kejayaan.
Kedua penawaran tersebut, the North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan the Trans-Pacific Partnership (TPP), memberi Trump peluang terbuka bagi para pemilih Rust Belt - dan terbukti menjadi titik lemah politik untuk Clinton.
Hillary yang tak setuju TPP, ditentang oleh banyak Demokrat. Ketidakkompakan antara Hillary dan partainya membuat Trump mengambil kredit.
Dan posisi Hillary pada NAFTA, yang ditandatangani menjadi undang-undang oleh suaminya mantan Presiden Bill Clinton, sulit untuk dijabarkan.
Sebaliknya, Trump telah tegas dalam penentangannya terhadap keduanya. Dia telah bersumpah untuk negosiasi ulang persyaratan dari NAFTA dengan Meksiko dan Kanada, menarik keluar dari perjanjian itu , dan mengatakan ia tidak akan menyetujui TPP jika ia terpilih sebagai presiden.
Advertisement