Liputan6.com, Venesia - Dapatkah sebuah kota bertahan sementara populasinya menyusut hanya dalam waktu satu generasi?
Pertanyaan itulah yang menghantui Venesia saat ini, di mana para turis menyesaki tiap sudut kota dan biaya hidup makin mahal. Hal tersebut menyebabkan para warganya memilih untuk meninggalkan kota tersebut.
Populasi di Venesia menurun hingga hanya terdapat 55.000 jiwa pada November 2016, dibandingkan dengan 78.000 jiwa pada 1990. Menurut pemerintah kota, hampir separuh penduduknya berusia di atas 60 tahun, dan 9.000 di antaranya berumur 18 tahun.
Advertisement
"Kami mengadakan pemakaman (tiruan) untuk Venesia pada 2009, ketika penduduk kita menurun menjadi 60.000; saat ini populasi kami hanya 55.000, kami mengadakan unjuk rasa; jika kita terus seperti ini, kami akan berubah menjadi kota hantu seperti Pompeii," ujar Matteo Secchi dari kelompok Venessia.com.
Baca Juga
Pada Sabtu 12 November 2016, warga Venesia melakukan unjuk rasa "Venexodus" yang mereka lakukan di sepanjang Jembatan Rialto hingga balai kota. Sekitar 200 orang bergabung dalam aksi itu, banyak di antara mereka yang membawa koper.
Ancaman utama bagi kehidupan warga adalah pariwisata, yang juga berperan sebagai sumber pendapatan utama mereka. Jumlah pengunjung hampir bertambah empat kali lipat dalam 25 tahun terakhir, di mana hal tersebut memperburuk hubungan antara warga dengan para turis.
Dikutip dari news.com.au, Minggu (13/11/2016), meledaknya jumlah pengunjung menguntungkan para penyedia fasilitas wisata seperti hotel dan gondola, namun warga lain merasa terhimpit.
"Turisme membuat kami kaya dalam waktu singkat, namun akan membunuh kami dalam jangka panjang," ujar Secchi.
"Terlalu banyak yang tak ingin lagi tinggal di kota ini...," imbuh dia.
Di tengah keterhimpitan tersebut, ternyata masih terdapat harapan. Piero Dri misalnya. Ia merupakan pemuda Venesia yang tetap bertahan, meski berada di bawah tekanan untuk pindah dengan menemukan peluang kerja.
Lulusan ilmu astronomi berusia 33 tahun itu, memperkenalkan dirinya sebagai perajin pengait dayung untuk gondola dan juga produsen furnitur dekoratif. Ia merupakan salah satu dari empat orang di Venesia yang menjaga tradisi agar tetap hidup.
Sementara itu pemuda Venesia lainnya bergabung dengan Generazione '90, yakni kelompok komunitas lain yang dibentuk pada lima bulan lalu dan menandai kemunculannya dengan melakukan flash mob di Jembatan Rialto.
"Kami tak ingin merasa seperti orang asing," ujar juru bicara Generazione '90's, Marco Caberlotto.
Para warga meminta adanya pembatasan turis dan lebih terjangkaunya perumahan.
Permintaan mereka baru-baru ini didukung UNESCO, yang mengancam akan mereklasifikasi Venesia dengan "terancam" kehilangan status Situs Warisan Dunia.
"Meningkatnya pariwisata telah mendominasi dan menutup masyarakat tradisional kota bersejarah," tulis UNESCO pada 2015, yang juga menyerukan tindakan drastis, termasuk melarang adanya kapal pesiar di laguna.
Anggota dewan untuk pariwisata, Paola Mar mengatakan bahwa balai kota mengumpulkan saran dari pemangku kepentingan tentang bagaimana mengatasi pariwisata dan krisis perumahan.
Pilihan seperti menaikkan pajak untuk sejumlah kegiatan wisata dan menjaga jumlah turis telah direncanakan, tapi tidak pernah dipraktikkan.
Paolo Lanapoppi dari kelompok Italia Nostra skeptis tentang adanya perkembangan, kecuali pihak berwenang malu atas perlakuan UNESCO yang kemungkinan akan menurunkan status Venesia pada 2017.
"Keyakinan pribadi saya adalah, bahwa politisi di sini memihak pada industri pariwisata, yang tidak memiliki niat sama sekali dalam mengurangi jumlah wisatawan, sedangkan kepentingan para minoritas yang mencari nafkah dengan jalan lain semakin kurang didengar," ujar Lanapoppi.