Liputan6.com, Washington, DC - Ketika Hillary Clinton mengakui kekalahannya dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 dan ia menyerukan agar perempuan tidak "kehilangan harapan", di luar sana setidaknya terdapat 62 juta pendukungnya yang terkejut, sedih, atau mungkin marah.
Hillary yang diharapkan akan mencatat sejarah sebagai presiden perempuan pertama di AS sebenarnya dipilih oleh mayoritas rakyat Negeri Paman Sam. Ini terlihat melalui hasil penghitungan mayoritas suara rakyat (popular vote) yang per 15 November menunjukkan ia telah meraih 62.318.079 juta suara, sementara Donald Trump memperoleh 61.166.063 suara.
Meski penghitungan suara belum sepenuhnya selesai, hasil sementara tersebut telah menunjukkan selisih yang cukup jauh, yakni lebih dari 1 juta suara. Atau secara persentase, Hillary memimpin Trump, yaitu 47,8 versus 46,9 persen.
Namun sayangnya, AS bukan penganut sistem pemilu langsung sehingga capres yang memenangkan popular votes belum tentu menjadi presiden terpilih. Itu karena sejatinya, penentu kemenangan pilpres AS adalah electoral college, lembaga konstitusional yang memilih presiden dan wakil presiden.
Anggota dari electoral college merupakan perwakilan dari setiap negara bagian AS.
Jumlah anggota electoral college ini berbeda-beda di setiap negara bagian tergantung pada jumlah populasi. Yang terjadi dalam Pilpres AS 2016 adalah Trump berhasil mengunci kemenangan di sejumlah swing state seperti Florida, North Carolina, dan Michigan serta sejumlah negara bagian lainnya yang memiliki electoral votes tinggi.
Tak hanya itu, ia juga berhasil mengubah "blue state"--basis Demokrat--menjadi "red state"--basis Republik, seperti Pennsylvania dan Wisconsin.
Seperti dikutip dari The New York Times, per 16 November, Trump yang tercatat sebagai presiden terpilih pertama AS yang tidak memiliki latar belakang politikus maupun militer berhasil mengumpulkan 290 electoral votes, sementara Hillary hanya mampu meraih 232 electoral votes.
Jumlah yang diperoleh Trump tersebut melampaui yang dibutuhkan untuk menang, yakni 270. Meski demikian ini belumlah diumumkan sebagai hasil resmi karena electoral college baru akan melakukan pemilihan presiden dan cawapres pada Desember mendatang.
Selain itu, ternyata pilpres pada 8 November 2016 itu bukanlah menjadi kali pertama seorang capres yang telah memenangkan popular votes, kalah secara keseluruhan. Setidaknya terdapat lima capres yang mengalami nasib serupa dengan Hillary.
Advertisement
5 capres yang memenangkan mayoritas suara rakyat
Liputan6.com kutip dari Independent.co.uk, sistem pemilu AS yang berlaku saat ini sudah dimulai sejak Perang Saudara (Civil War).Â
Pada 1824, Andrew Jackson yang mencalonkan diri dari Partai Demokrat berhasil memenangkan popular votes, tapi electoral votes yang diterimanya kurang dari setengah yang dibutuhkan. Jackson terpaksa menelan pil pahit, kalah dari John Quincy Adams.
Beberapa dekade kemudian tepatnya pada 1876, capres Samuel Tilden asal Partai Demokrat mengalami kekalahan tragis dari rivalnya, Rutherford B Hayes, dengan hanya selisih satu electoral votes.
Grover Cleveland yang maju dalam Pilpres 1888 mewakili Partai Demokrat unggul dalam popular votes, tapi di lain sisi ia hanya mampu meraih 168 electoral votes. Sementara pesaingnya, Benjamin Harrison mengantongi 233 electoral votes.
Lompat ke tahun 2000. Capres asal Demokrat lainnya, Al Gore juga terpaksa menerima kenyataan serupa dengan para pendahulunya. Ia dipilih oleh mayoritas suara rakyat, tapi berhasil dikalahkan George WÂ Bush dengan perolehan electoral votes 271 versus 255.
Teranyar, Hillary. Dengan didampingi oleh sang suami, Presiden Bill Clinton dan cawapresnya, Tim Kaine, Hillary terpaksa mengakui kemenangan Trump. Meluncur permintaan maaf dari bibirnya karena belum mampu memenuhi harapan para pendukungnya, menjadi presiden perempuan pertama di Negeri Paman Sam.
"Kekalahan ini menyakitkan. Tapi tolong jangan pernah berhenti percaya bahwa kebenaran layak untuk diperjuangkan. Dan untuk semua perempuan yang memberikan keyakinan mereka dalam kampanye dan diri saya...saya ingin kalian tahu bahwa tidak ada yang lebih membanggakan bagi saya selain menjadi pemenang kalian," ujarnya.
Sejumlah pendukung Hillary yang tak terima kemenangan Trump mencoba membuat skenario yang disebut mustahil, yakni meyakinkan electoral college untuk menyingkirkan sosok kontroversial itu dalam pemilihan yang akan dilaksanakan Desember mendatang. Dikatakan mustahil karena Trump memiliki margin yang besar di electoral college dan sebagian besar pemilih adalah partisan.
Di luar kegaduhan menang atau kalah, Hillary mencatat sejarah lain. Sebagai capres ia menduduki peringkat ketiga setelah Barack Obama dalam jumlah popular vote. Posisi pertama diduduki oleh Obama dalam Pilpres 2008, yakni 69.456.897. Presiden kulit hitam pertama AS itu pun bertengger di posisi kedua dengan perolehan 65.446.032 dalam Pilpres 2012.
Sementara posisi keempat dihuni oleh George WÂ Bush dengan 62.039.073 dalam Pilpres 2004. Trump sendiri berada pada posisi kelima dengan capaian 61.166.063.
Tak hanya Hillary, Trump pun mengukir sejarahnya tersendiri. Ia berada pada titik puncak bahkan melebihi George WÂ Bush sebagai capres asal Partai Republik terpopuler dalam sejarah AS.
Terkait dengan fenomena menang popular votes, tapi kalah dalam electoral votes ini, muncul gagasan untuk menghapus lembaga electoral college. Ide ini disampaikan oleh Senator asal Partai Demokrat dari California, Barbara Boxer.
Ia mengatakan telah mengajukan undang-undang untuk menghapus lembaga electoral college.
"Ini adalah satu-satunya badan di mana Anda bisa mendapatkan lebih banyak suara, tapi masih kalah pilpres," ujar Boxer seperti dikutip dari Heavy.com.
"Sudah saatnya untuk menghapus 'sistem usang' yang tidak demokratis dan tidak mewakili masyarakat modern kita," imbuhnya.