Sukses

Donald Trump dan Kontroversi Pemilihan Kabinet

Donald Trump kembali membuat sensasi dengan memuculkan beberapa nama yang mengundang pro-kontra dalam kabinetnya nanti.

Liputan6.com, Washington - Sejak memenangkan kursi Presiden Donald Trump tak pernah luput dari kontroversi. Kali ini, beberapa bulan jelang pelantikan dunia kembali dikejutkan olehnya.

Ia memilih beberapa nama yang penuh pro-kontra untuk mengisi jabatan penting di Pemerintahan Negeri Paman Sam.

Tepatnya pada Jumat lalu, kader Partai Republik asal Kansas Mike Pompeo terpilih menjadi Direktur Badan Intelijen AS (CIA), Letnan Jenderal (Purn) Michale Flynn ditunjuk jadi Penasihat Keamanan dan Senator Alabama, Jeff Sesssions menduduki pos Jaksa Agung.

Ketiga nama tersebut dinilai banyak pihak terpilih hanya karena punya kedekatan khusus dengan sang miliarder nyentrik.

Sebelum membuat pengumuman tersebut, Trump beberapa hari lalu sudah membuat hal lebih gila 'lagi'. Otak-atik posisi penting di pemerintahan dilakukan sangat ekstrem.

Pertama, Pengawas Tim Transisi Pemerintah yang dijabat Gubernur New Jersey, Chris Christie diganti oleh Wakil Presiden terpilih AS, Mike Pece. Pergantian ini dilakukan tanpa alasan jelas.

Belum berhenti di situ, salah satu nama paling kontroversial di AS Steve Bannon ditunjuk jadi Penasihat Utama Gedung Putih.

Penunjukan Bannon jadi masalah di AS. Sebab, pria tersebut merupakan sosok rasis dan anti-semit.

Nama-nama di atas merupakan orang-orang yang telah mendapat jabatan. Sementara untuk pengisi pos kabinet, Trump kembali menebar kejutan.

Sosok seperti Pengamat Kebijakan Luar Negeri Kontroversial AS, Henry Kissinger dan salah seorang politisi bermulut tajam yaitu Gubernur South Carolina, Nikki Haley juga digadang-gadang siap jadi Menteri.

Namun, dari semua itu, langkah Trump paling mengejutkan adalah rencananya menemui eks Capres Partai Republik 2012 lalu, Mitt Romney. Demikian dilansir dari CNN, Sabtu (19/11/2016).

Rencananya, disebut-sebut beberapa sumber dekat jika Romney mau, ia akan diberikan jabatan kunci di Kabinet Trump, Menteri Luar Negeri.

Sampai sekarang mantan Gubernur Massachusetts ini masih bungkam. Romney pun bukan sosok kontroversial.

Akan tetapi, masuknya nama Romney adalah kejutan terbesar di AS pada waktu ini. Penyebabnya satu. Selama kampanye Trump kerap mengejek Romney mulai dari soal pribadi hingga di ranah politik.

Penuh Carut-Marut

Tidak hanya saja pemilihan kabinet yang terlihat carut-marut, tapi dalam hal urusan protokoler pun demikian. Berawal dari melanggar tradisi menghindari wartawan Gedung Putih pada pertemuan perdana dengan Presiden Barack Obama, diikuti dengan 'kucing-kucingan' dengan awak media untuk makan steak.

Tak hanya itu, Trump mendapat kritikan tajam dengan pertemuan perdananya dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Salah satunya, adalah ia beserta tim transisinya sekalipun belum mengontak Pentagon, Departemen Luar Negeri, ataupun agen federal lain. Demikian CNN melansir. Pun, tak jelas apa yang ia bicarakan dengan pemimpin negara itu. Dalam daftar acara yang dikeluarkan pada Rabu oleh tim transisinya mengatakan, Trump dan Mike Pence --wakilnya-- akan mengumumkan sesuatu.

Trump yang terpilih tanpa latar belakang pemerintahan setitikpun, membuat kaget tradisi diplomatik AS kala berbincang dengan kepala negara. Hal itu terkuak oleh laporan The Times of London yang membocorkan percakapan miliarder nyentrik dengan Perdana Menteri Theresa May beberapa waktu lalu kala May mengucapkan selamat kepada Trump.

Kepada May, Trum berbicara, "Jika Anda bepergian ke AS, tolong berita tahu saya ya..."

Meski demikian, mantan penasihat Obama, David Axelrod 'membelanya' di akun Twitter.

"Banyak yang mengkhawatirkan transisi @realDonaldTrump,  tapi ingat, semenjak 2008 kita belum pernah merombak habis-habisan kabinet. Saya tidak ingat kami pernah dikritik seperti itu."

Mantan penasihat Romney, Lenhee Chen 'sependapat' dengan Axelrod.

"Carut-marut merupakan proses natural dalam transisi. Perlu dicamkan bahwa Partai Republik telah terpecah semenjak Trump meroket. Yang saya lihat dia sedang berusaha, tak hanya membangun pemerintahan baru, tapi juga menyembuhkan luka atas pertengkaran mereka sendiri."