Liputan6.com, Rakhine - Lebih 1.200 rumah di desa-desa yang dihuni oleh warga muslim Rohingya telah rata dengan tanah. Menurut Human Rights Watch (HRW), peristiwa itu terjadi dalam enam minggu terakhir.
HRW telah merilis gambar satelit baru yang menunjukkan 820 bangunan telah hancur dalam kurun 10-18 November. Militer Myanmar memang sedang melakukan operasi keamanan di Rakhine. Meski demikian, pemerintah membantah telah melakukan penghancuran rumah.
Namun, tingkat kerusakan tersebut tak dapat diverifikasi secara independen karena pemerintah telah menghalangi wartawan internasional untuk mengunjungi daerah tersebut, di mana puluhan ribu orang telah melarikan diri.
Advertisement
Keluarga Rohingya yang berbicara dengan seorang koresponden BBC di perbatasan Bangladesh-Myanmar menggambarkan apa yang terjadi di Rakhine utara sebagai "neraka di Bumi".
Sementara itu, pemerintah Myanmar mengatakan warga Rohingya sengaja membakar rumah mereka untuk menarik perhatian internasional.
HRW sebelum mengidentifikasi hancurnya 430 bangunan di tiga desa melalui gambar satelit yang dirilis pada 13 November. Namun juru bicara presiden, Zaw Htay, menuduh bahwa kelompok tersebut berlebihan dalam menanggapi laporan.
Dikutip dari BBC, Selasa (22/11/2016), sebuah operasi keamanan besar dimulai pada Oktober 2016 setelah sembilan petugas kepolisian tewas dalam serangan di pos perbatasan di Maungdaw.
Sejumlah pejabat pemerintah menuduh kelompok militan Rohingya atas serangan itu. Pasukan keamanan kemudian menutup akses ke Kabupaten Maungdaw dan melancarkan operasi kontrapemberontakan.
Aktivis Rohingya mengatakan, lebih dari 100 orang tewas dan ratusan lainnya ditahan di tengah operasi itu.
Pasukan keamanan juga dituduh telah melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk penyiksaan, pemerkosaan, dan eksekusi. Namun pemerintah dengan tegas membantah tuduhan tersebut.
Mereka mengatakan para militan telah menyerang helikopter tempur yang menyediakan bantuan udara untuk pasukan.
Sementara itu Bangladesh telah meningkatkan keamanan di perbatasan karena ratusan warga Rohingya mencoba melarikan diri ke sana.
Warga Rohingya yang jumlahnya diperkirakan mencapai satu juta sering dianggap sebagai migran ilegal dari Bangladesh. Kewarganegaraan mereka ditolak oleh pemerintah, meski mereka telah hidup di Myanmar selama beberapa generasi.
Kekerasan yang terjadi di Rakhine pada 2012 menyebabkan sejumlah orang tewas dan membuat 100.000 lainnya telantar. Warga Rohingya yang masih tersisa di kamp harus menghadapi diskriminasi dan penganiayaan.
Pemerintahan Myanmar yang secara de facto dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, telah mendapat kecaman dari dunia internasional terkait dengan kondisi yang terjadi di Rakhine.
"Alih-alih menanggapi tuduhan gaya era militer dan penyangkalan, pemerintah seharusnya melihat pada fakta dan mengambil tindakan untuk melindungi semua orang di Burma, apa pun agama dan etnis mereka," ujar Direktur Human Rights Watch Asia, Brad Adams.
"Sebuah pemerintahan yang tak memiliki rahasia seharusnya tak memiliki masalah untuk memberikan akses kepada wartawan dan penyelidik hak asasi manusia," ujar Adams.
Sementara itu, Zaw Htay mengatakan bahwa media internasional salah melaporkan apa yang sedang terjadi.
Delegasi internasional diizinkan untuk mengunjungi daerah tersebut pada awal bulan ini. Namun menurut pelapor khusus PBB soal Myanmar, Yanghee Lee, mereka hanya mencapai hasil terbatas.