Liputan6.com, Naypyidaw - Menurut relawan, ratusan warga muslim Rohingya menyeberang ke perbatasan Bangladesh selama akhir pekan hingga Senin kemarin. Mereka mencari perlindungan dari kekerasan yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar, yang menewaskan setidaknya 86 orang dan membuat sekitar 30.000 lainnya mengungsi.
Seperti dilansir Reuters, Selasa, (22/11/2016) pejabat dari badan migrasi PBB, IOM, yang enggan mengungkap identitasnya mengatakan bahwa ia menyaksikan lebih dari 500 warga muslim Rohingya memasuki kamp-kamp di bukit dekat perbatasan pada Senin kemarin.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh sejumlah pekerja lainnya. Mereka mengaku melihat sejumlah warga muslim Rohingya yang melarikan diri dari konflik di Rakhine. Mereka tidak menyebutkan berapa banyak yang datang, tapi mengungkapkan keprihatinan terkait hal ini.
Advertisement
Pertempuran yang terjadi di Rakhine saat ini disebut sebagai yang paling parah sejak bentrok komunal tahun 2012 lalu. Pemicu kegentingan yang terjadi saat ini adalah pada 9 Oktober lalu, sekelompok orang bersenjata menyerang tiga pos perbatasan dan menewaskan sembilan polisi. Pascaserangan tersebut, Rakhine pun menjadi target operasi militer.
Moulavi Aziz Khan (60) yang berasal dari sebuah desa di Rakhine utara mengatakan, ia meninggalkan Myanmar pekan lalu setelah militer mengepung rumahnya sebelum akhirnya membakarnya.
"Aku melarikan diri dengan empat putriku dan tiga cucuku ke bukit terdekat. Kami berhasil menyeberangi perbatasan," kata dia.
Sejumlah tudingan miring mengarah ke militer Myanmar. Selama operasi militer, mereka disebut-sebut telah memperkosa perempuan Rohingya, membakar rumah, dan membunuh warga sipil. Namun semua tuduhan itu dibantah.
Organisasi pemantau HAM, Human Right Watch (HRW) melalui gambar satelit terbaru yang diambil pada tanggal 10, 17, dan 18 November lalu menunjukkan terdapat 820 bangunan yang hancur di lima desa di Rakhine utara. Total jumlah yang telah diratakan dengan tanah menurut kelompok itu mencapai 1.250 unit.
'Jawaban' Myanmar
Pemerintah Myanmar membantah laporan bahwa warga Rohingya mencoba melarikan diri ke Bangladesh.
Juru bicara kepresidenan dan anggota gugus tugas informasi yang baru dibentuk di Rakhine, Zaw Htay, mengatakan pemerintah terus menyelidiki laporan tersebut. Namun ia menegaskan sejauh ini laporan tersebut belum dapat dibuktikan.
"Bersama dengan militer dan polisi kami melakukan pengecekan sejak 9 Oktober. Beberapa orang telah melarikan diri dari desa mereka, tapi kami memulangkan mereka kembali," ujar Htay.
"Jika hal tersebut benar terjadi, kita prihatin dan akan melanjutkan investigasi. Kita tidak menolak semua tuduhan...tapi pemerintah akan selalu memeriksanya dan beberapa memang ditemukan tidak benar," ujarnya.
Militer Myanmar telah mendeklarasikan "zona operasi militer" di Rakhine di mana versi mereka menyebutkan terjadi pemberontakan bersenjata dari kalangan warga muslim Rohingya. Karena alasan ini, menurut mereka, tidak memungkinkan bagi wartawan internasional untuk memasuki wilayah tersebut.
Myanmar menjadi rumah bagi kurang lebih 1 juta warga muslim Rohingya. Mereka menghuni sejumlah desa di negara bagian Rakhine.
Namun mayoritas masyarakat Myanmar yang beragama Buddha menganggap warga muslim Rohingya sebagai imigran ilegal asal Bangladesh. Para pengamat HAM mengatakan pemerintah telah membatasi pergerakan warga Rohingya, bahkan mengabaikan hak asasi manusia mereka.
"Hingga 30.000 orang diperkirakan akan mengungsi sementara ribuan lainnya terkena dampak pertempuran yang berlangsung baru-baru ini," demikian menurut PBB.
Badan urusan pengungsi PBB menyerukan pemerintah Myanmar untuk membuka akses ke Rakhine, sehingga memungkinkan pendistribusian bantuan.
"Gagasannya adalah memberi bantuan kepada mereka, sehingga mereka tidak akan terpaksa menyeberang ke Bangladesh," ujar Vivian Tan, salah satu petugas UNHCR.
"Jika mereka terpaksa menyeberang ke negara lain seperti Bangladesh, kami sangat berharap pemerintah Bangladesh akan menghormati tradisi keramahan lama dan membuka perbatasannya kepada para pengungsi ini," ujarnya.