Sukses

Korut Bangun Krematorium Baru di Kamp 'Neraka'

Foto satelit yang dirilis Amnesty International menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas di kamp penjara Kwanliso 15 dan Kwanliso 25.

Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara (Korut) menambahkan enam pos penjagaan baru dan sebuah krematorium di kamp-kamp penjaranya sebagai bagian dari penyiksaan "skala besar". Demikian pernyataan dari kelompok pengamat hak asasi manusia (HAM), Amnesty International.

Seperti dikutip dari Telegraph, Jumat (25/11/2016) kelompok tersebut menunjukkan foto satelit dari kamp penjara Kwanliso 15 dan Kwanliso 25. Di kedua tempat tersebut terjadi peningkatan aktivitas.

Menurut sebuah laporan PBB, Korut telah melakukan kekejaman di kamp-kamp penjara berupa pemerkosaan, pembunuhan anak, penyiksaan, dan membuat bencana kelaparan.

"Secara bersama-sama, foto yang kami analisis konsisten dengan temuan kami sebelumnya tentang kerja paksa dan penahanan di Kwanliso, dan infrastruktur fisik yang digunakan pemerintah untuk melakukan kekejaman ketika memerintahkan kerja paksa," ujar seorang analis citra satelit Amnesty International, Micah Farfour.

Penghuni kamp-kamp tersebut diestimasikan mencapai 120 orang. Dan mereka diyakini merupakan tahanan politik di mana banyak yang dijebloskan ke penjara hanya karena mengkritik rezim.

Seorang pembelot Korut yang berhasil meloloskan diri dari kamp penjara tersebut mengatakan, tahanan akan dipaksa bekerja sampai mati. Beberapa bahkan diperintahkan untuk membunuh anak-anak mereka sendiri demi mengurangi jumlah perut yang butuh makan.

"Pemerintah Korut masih menyangkal keberadaan kamp-kamp "neraka" ini, namun tahun demi tahun kami telah mendokumentasikan dan memfoto jaringan yang begitu luas sehingga dimungkinkan terlihat dari angkasa luar," ujar Kerry Moscogiuri, Direktur Kampanye Amnesty International Inggris.

"Puluhan ribu tahanan menghadapi penderitaan yang tak terbayangkan, yaitu penyiksaan melalui kerja paksa, kekurangan gizi yang merajalela, hukuman yang penuh kekerasan, pemerkosaan bahkan eksekusi mati...," kata Moscogiuri.

Sejumlah pembelot Korut yang berada di Inggris mengatakan kemungkinan mantan Duta Besar Myanmar untuk Inggris, Hyon Hak-bong telah dikirim ke kamp penjara tersebut. Hyon disalahkan atas pembelotan memalukan Thae Yong Ho, seorang diplomat senior yang melarikan diri ke Korea Selatan (Korsel) pada awal tahun ini.

"Rezim telah memutuskan untuk menghukumnya sebagaimana yang mereka katakan dia gagal mencegah orangnya lari ke Korsel," ujar seorang ativis hak asasi manusia (HAM) Korut yang melarikan diri pada tahun 1998, Jihyun Park.

"Dia akan dihukum, bisa ke kamp penjara atau kamp kerja paksa. Namun biasanya kriminal "kelas tinggi" akan dikirim ke kamp penjara," imbuhnya.

Sementara itu pada awal pekan ini, muncul laporan bahwa Kim Jong-un berencana untuk melakukan uji coba nuklir lainnya bertepatan dengan pelantikan presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Banyak pihak yang meyakini bahwa terpilihnya Donald Trump dapat menjadi awal perundingan baru antara Korut dengan AS mengingat Kim Jong-un menyatakan bersedia bicara dengan Trump.

Eks tahanan Korut yang menghabiskan waktu tiga tahun di salah satu kamp kerja paksa sebelum akhirnya membelot dilaporkan menulis surat terbuka kepada Trump. Ia meminta miliarder itu untuk mengakhiri rezim komunis Korut.

"Aku tidak meragukan bahwa diktator Korut akan menguji Anda pemerintahan baru Anda dengan provokasi baru, dan aku mendesak Anda untuk melanjutkan kerjasama dengan pemerintahan Korsel dan sekutu regional lainnya untuk menangani ancaman rezim," tulis pembelot tersebut.

"Isu HAM sangat ditakuti oleh rezim Korut dan karena itu harus menjadi inti dari pendekatan apa pun ketika berhadapan dengan Korut," imbuhnya.