Liputan6.com, Singapura - Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, berjanji bekerja untuk mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi nasional. Namun, peraih Nobel Perdamaian itu menolak menanggapi tuduhan terkait krisis muslim Rohingya.
Dalam pidato yang disampaikannya saat melakukan kunjungan ke Singapura pada 30 November 2016, Suu Kyi tidak memberikan rincian spesifik tentang cara pemerintahnya menyelesaikan kekerasan dan diskriminasi yang terjadi terhadap etnis minoritas Rohingya.
"Kami tidak ingin negara kami menjadi tak stabil. Tapi kami memiliki sejarah panjang perpecahan dalam bangsa kami," ujar Suu Kyi seperti dikutip dari Independent, Kamis (1/12/2016).
Advertisement
Baca Juga
"Jadi rekonsiliasi nasional merupakan hal penting bagi kami. Ini bukan soal pilihan. Ini tidak dapat dihindari," ujarnya
"Kami harus mencapai perdamaian dan rekonsiliasi nasional demi kemajuan negara kami, dan mereka yang ingin berinvestasi di negara kami dapat menemukan apa yang mereka yakini," ujar dia.
Adanya laporan bahwa warga Rohingya mengalami kekerasan seksual, penyiksaan, dan dibunuh oleh anggota militer Myanmar memicu ribuan umat Islam di seluruh Asia turun ke jalan untuk menyerukan protesnya.
Sekitar 30.000 warga Rohingya telah meninggalkan rumahnya di Rakhine. Berdasarkan analisis citra satelit dari Human Rights Watch, ribuan bangunan di desa-desa milik warga Rohingya telah dibakar.
Namun, pemerintah Suu Kyi membantah tuduhan itu dan mengatakan bahwa tentaranya sedang berburu "teroris" di balik serangan mematikan di pos polisi pada bulan lalu.
Meski telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, muslim Rohingya dilarang memiliki kewarganegaraan dan hidup dalam keadaan tertindas.
Sejak kekerasan komunal pecah pada 2012, lebih dari 120.000 warga Rohingya telah meninggalkan rumah mereka dan menempati kamp-kamp kumuh yang sesak dan dijaga oleh polisi. Di sana mereka tidak mendapat akses kesehatan dan pendidikan. Bahkan, gerakan mereka pun dibatasi.
Dilansir oleh NDTV, Suu Kyi sedianya berkunjung ke Indonesia setelah melakukan perjalanan ke Singapura pada 30 November hingga 2 Desember 2016. Namun, seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan bahwa Suu Kyi menunda kunjungan itu.
Suu Kyi memimpin partainya dalam memenangkan pemilu pada tahun lalu. Namun ia dilarang menjabat sebagai presiden oleh konstitusi junta dan memegang pos khusus penasihat negara.
Suu Kyi menunjuk sesama pemenang Nobel dan juga mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, untuk menyelidiki cara memperbaiki perpecahan agama dan etnis di Rakhine. Sementara itu, Annan telah memulai kunjungannya selama seminggu ke Myanmar sejak 29 November 2016.