Liputan6.com, Jakarta - Tidak semua tokoh termahsyur pada masa lalu terlahir dalam keluarga yang bergelimang harta -- seperti dalam istilah 'born with a silver spoon in their mouth'.
Sejumlah konglomerat paling terkenal dalam sejarah, bahkan keluarga kerajaan yang berkuasa pada zamannya, menghabiskan masa muda mereka sebagai petani, imigran miskin, bahkan budak.
Baca Juga
Meski datang dari masa lalu yang menyedihkan dan melarat, orang-orang ini naik derajat berkat kerja keras, keberuntungan, dan -- dalam beberapa kasus -- menggunakan kekejaman.
Advertisement
Berikut 7 tokoh dalam sejarah yang mengalahkan kemustahilan dan berhasil menempatkan posisi mereka di tengah orang-orang paling kaya dan berkuasa pada masanya, seperti dikutip dari situs History, Kamis (1/12/2016):
1. Catherine I
Dunia mengenal Catherine I atau Yekaterina I sebagai permaisuri Tsar Rusia, Peter
the Great atau Peter yang Agung. Ia memerintah sebagai ratu sejak 1725 hingga
akhir hayatnya.
Perempuan yang lahir pada 1684 sebagai Marta Helena Skowronska berasal dari Polandia, ayahnya adalah seorang petani sederhana.
Usianya baru 3 tahun saat ia menjadi yatim piatu. Ayah dan ibunya meninggal dunia ketika wabah penyakit menyebar ke kampung halamannya.
Diasuh oleh seorang pendeta, ia kemudian menghabiskan masa mudanya sebagai pembantu rumah tangga di Marienburg -- yang kini menjadi Latvia.
Setelah Rusia menduduki kota tersebut pada 1702, Catherine yang berusia 18 tahun ditangkap dan dijadikan tawanan. Ia lalu dibawa ke Moskow.
Kemudian, roda sejarah membawanya nasibnya bak dongeng pengantar tidur.
Chaterine menjadi pelayan di rumah seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Di kediaman megah itu juga, ia bertemu dengan Tsar Peter yang Agung yang terpesona dengan kecantikan dan kecerdasan gadis yang buta huruf itu.
Pasangan tersebut kemudian menjalani hubungan asmara diam-diam, hingga akhirnya menikah pada 1712.
Catherine kemudian menjadi orang kepercayaan Tsar Peter selama periode sweeping politik dan reformasi sosial di Rusia.
Setelah kematian sang raja pada 1725, Chaterine memerintah sebagai ratu pertama Rusia -- menorehkan prestasinya sebagai anak yatim piatu seorang petani miskin menjadi penguasa kerajaan.
Chaterine meninggal dunia 16 bulan setelah bertakhta, namun pada masa kepemimpinannya yang pendek, ia berhasil mengkonsolidasikan kekuatannya dan mengurangi figur militer kerajaan yang bengkak.
Tak lantas melupakan masa lalunya yang sederhana, ia memenangkan hati rakyat dengan kemurahan hatinya.
Advertisement
2. Andrew Carnegie
Ia dianggap mewakili istilah 'rags to riches' -- gembel jadi kaya. Andrew Carnegie adalah memimpin ekspansi besar-besaran industri baja di Amerika Serikat pada akhir Abad ke-19.
Carnegie kerap dijuluki salah satu orang terkaya di muka Bumi -- atau setidaknya paling kaya dalam sejarah Amerika Serikat. Siapa sangka, masa lalunya relatif sengsara.
Ia lahir pada 1835 di rumah kecil yang hanya memiliki satu kamar di Dunfermline, Skotlandia.
Carnegie lahir di tengah keluarga buruh yang miskin. Ia hanya sempat bersekolah sebentar, sebelum keluarganya memutuskan untuk bermigrasi ke Amerika pada 1848.
Tiba di Pennsylvania, ia yang kala itu berusia 13 tahun mendapat pekerjaan sebagai pesuruh di sebuah pabrik tekstil. Upahnya kala itu US$ 1,2 per minggu.
Carniege mengawali pekerjaannya sebagai bocah pembawa pesan dan buruh pabrik sebelum naik tingkat menjadi sekretaris dan operator telegraf di Pennsylvania Railroad.
Pada 1859, pekerja muda yang penuh semangat itu sudah diangkat jadi pengawas divisi barat perusahaan kereta tersebut.
Carnegie menginvestasikan uang pendapatannya dalam beberapa bisnis, seperti perusahaan pembangun jembatan, operasi telegraf, dan -- ini yang paling tenar -- pabrik baja.
Pada pergantian abad, Carnegie Steel Company miliknya berkembang pesat jadi sebuah kerajaan industri.
Carnegie pun menjadi orang terkaya di dunia setelah menjual perusahaannya itu ke J.P. Morgan senilai US$ 480 juta.
"Sungguh memalukan seorang pria yang meninggal dalam kondisi kaya," itu filosofi hidup Carnegie.
Maka, selama bertahun-tahun kemudian, Carnegie mendonasikan harta bendanya untuk amal. Jumlahnya bahkan sampai US$ 350 juta -- nilai yang sungguh luar biasa jika nilainya disetarakan dengan saat ini.
3. Kaisar Hongwu
Kisah hidupnya nyaris tak masuk akal: seorang petani China yang mengalahkan Bangsa Mongolia dan mendirikan Dinasti Ming.
Pada Abad ke-14, pemuda yatim piatu bernama Zhu Yuangzhang bergabung ke sebuah biara. Itu satu-satunya cara yang ia ketahui untuk menghindar dari kelaparan.
Setelah sempat menjadi pengemis, pemuda itu bergabung bersama gerombolan perampok yang melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Yuan yang dibangun Bangsa Mongolia.
Zhu Yuangzhang ternyata berbakat jadi pemimpin militer. Di kalangan para bandit pangkatnya pun melejit. Ia bahkan menjadi panglima pasukan pemberontak pada 1355.
Kejam dan tanpa ampun, sang jenderal pemberontak mengobarkan perang berdarah terhadap Bangsa Mongolia dan rival-rivalnya yang lain.
Pada 1368, pada saat yang sama ketika pasukannya mengusir Bangsa Mongol keluar dari Tiongkok -- Zu menobatkan dirinya sendiri sebagai Kaisar Dinasti Ming dan memilih nama Hongwu.
Sementara ia dikenal berjasa mengembalikan aturan-aturan asli Tiongkok, kekuasaan Kaisar Hongwu selama 30 tahun diwarnai paranoia dan kekerasan ekstrem.
Pada tahun 1380, misalnya, ia memerintahkan eksekusi terhadap 30 ribu orang atas tuduhan konspirasi yang ingin menggulingkannya dari kekuasaan.
Advertisement
4. Justin I
Hampir semua penguasa Bizantium mendapatkan kekuasaan melalui jalur suksesi yang ketat. Namun tidak bagi Justin I. Ia berhasil bertakhta dengan 'kekuatan kehendak' (force of will).
Ia dilahirkan di tengah keluarga petani yang miskin. Masa mudanya dilalui sebagai penggembala di Balkan.
Bertekad mendapatkan keberuntungan sekaligus petualangan, ia mengembara ke Konstantinopel -- kini Istanbul -- pada Abad ke-4.
Justin yang tiba di ibukota Bizantium tanpa membawa apapun, kecuali buntelan pakaian di punggungnya, ia beruntung mendapatkan pekerjaan sebagai pengawal Kaisar Leo.
Meski tak bisa membaca apalagi menulis, Justin dihormati karena keberanian dan keahliannya sebagai petarung. Ia kemudian naik pangkat menjadi komandan pasukan pengawal istana.
Saat Kaisar Anastasius I -- yang tak memiliki keturunan -- meninggal pada tahun 518, Justin menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi sesama tentara dan merebut takhta untuk dirinya sendiri.
Lewat kudeta, ia yang saat itu berusia 68 tahun menciptakan keajaiban -- dari penggembala ternak jadi penguasa Kekaisaran Romawi Timur.
Ia berkuasa selama 9 tahun dan tak dianggap punya arti penting dalam sejarah. Meski demikian, Justin I menciptakan batu loncatan pada penggantinya untuk penggantinya jauh lebih berpengaruh, Justinian I, yang berusaha untuk mengembalikan kekaisaran Romawi lama dengan merebut kembali sebagian besar
Eropa Barat.
5. Biddy Mason
Meski terlahir sebagai budak, Bridget 'Biddy' Mason meraih keberuntungan sekaligus kekayaan sebagai perempuan pertama yang jadi taipan properti di Amerika Serikat.
Masa mudanya dihabiskan dalam kondisi penuh kekangan sebagai budak di Mississippi. Mason kemudian pergi ke Utah pada 1847 setelah pemilihnya memeluk Mormonisme.
Keluarga sang pemilik kemudian pindah ke California, di mana Mason mengajukan petisi dan memenangkan kebebasannya pada tahun 1856.
Kemudian, menghabiskan dekade berikutnya di Los Angeles bekerja sebagai bidan.
Ia kemudian mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai orang kulit hitam pertama yang jadi pemilik tanah, setelah membeli properti kecil seharga US$ 250 -- dilanjutkan dengan sejumlah pembelian lain.
Insting pebisnisnya lantas muncul. Mason menjual sejumlah tanah miliknya demi meraup keuntungan. Ia lalu membangun sejumlah properti komersial di distrik bisnis paling cepat berkembang di Los Angeles.
Kegiatan bisnisnya kemudian mengumpulkan kekayaan berlimpah, hingga lebih dari US$ 300.000 -- nilai yang sangat besar saat itu.
Perempuan yang dikenal sebagai Grandma Mason atau Nenek Mason tak hanya memetik keuntungan. Ia juga menyumbangkan sejumlah uang untuk amal, membantu korban bencana, memberi makan orang-orang miskin, dan mendanai gereja pertama untuk warga keturunan Afrika di Los Angeles.
Advertisement
6. Henry Miller
Ia datang ke Amerika Serikat sebagai imigran yang sama sekali tak punya uang. Namun, Henry Miller kelak menjadi tuan tanah terbesar, yang bahkan ikut andil dalam sejarah pembentukan sejarah perbatasan barat.
Terlahir sebagai Heinrich Alfred Kreiser, ia meninggalkan rumahnya di Jerman pada usia 14 tahun dan tiba di Negeri Paman Sam pada 1846.
Pria itu kemudian pindah ke California, sebagai 'Henry Miller' -- nama yang tercetak dalam tiket kapal yang ia beli dari seorang penjual keliling.
Tiket itu seharusnya tak bisa dialihkan ke orang lain dan nama sang penjual terlanjur tercetak di sana. Maka ia akhirnya menjadikan Henry Miller sebagai nama barunya.
Miller kemudian tiba di San Francisco. Hanya ada uang US$ 6 di kantongnya. Ia kemudian bekerja 7 hari seminggu sebagai asisten tukang daging.
Setelah punya modal cukup, Miller akhirnya membuka tokonya sendiri.
Ketika para pemukim mengalir deras ke California, Miller menganggap itu sebagai kesempatan besar. Ia pun mengembangkan bisnis dengan cara membeli kawanan ternak dan padang rumput untuk menggembalakan ternak seluas ribuan hektar.
Selama 50 tahun ke depan, Miller membangun kerajaan ternak. Tanahnya pun meluas, menjadi sekitar 1,3 juta hektar di California, Oregon, Nevada, dan Idaho.
Dia juga berinvestasi dalam sistem irigasi yang akhirnya mengubah lahan gurun tandus itu menjadi lahan subur.
Saat kematiannya pada 1916, kekayaan Miller diperkirakan mencapai US$ 40 juta.
7. Charles Dickens
Novelis terkenal Charles Dickens seringkali mengisahkan tentang sosok dalam cerita fiksinya yang melalui masa kecil yang sulit. Ternyata, itu tak jauh berbeda dengan kisah nyata sang penulis kala muda pada tahun 1820-an di Inggris.
Saat kecil, Dickens sempat bersekolah. Namun, sang ayah kemudian justru menyia-nyiakan keuangan keluarga dan akhirnya dikirim ke penjara karena tidak membayar utang-utangnya.
Ketika anggota keluarga yang lain satu persatu menyusul ke belakang sel besi, Dickens yang berusia 12 tahun dikirim jadi buruh di pabrik semir sepatu untuk mengais rezeki. Ia dipaksa kerja 10 jam sehari dengan bayaran hanya 6 shilling per minggu.
Dickens bisa kembali ke sekolah setelah ayahnya melunasi utang keluarga, namun kemudian terpaksa drop out dan bekerja sebagai juru tulis untuk membantu keuangan ayah dan ibunya.
Kemudian, ia merintis karier sebagai jurnalis dan penulis. Sukses pertamanya diraih pada 1836 lewat 'The Pickwick Papers'.
Dickens lantas meraih ketenaran dan kekayaan sebagai salah satu master sastra Abad ke-19. Namun, pengalaman buruk bekerja di pabrik penuh tikus menghantui sepanjang hidupnya.
Masa lalunya yang berat saat menjadi buruh cilik ia sisipkan dalam sejumlah novel seperti 'David Copperfield', 'Oliver Twist', dan 'Great Expectations'.
Advertisement