Liputan6.com, Beijing - Kebijakan kontroversial satu anak di China, membuat 60 juta anak perempuan di Negeri Tirai Bambu itu "menghilang".
Meski terdengar seperti kisah horor, namun peneliti memperkirakan sekitar 25 juta anak perempuan itu tak benar-benar hilang. Dalam sebuah studi terbaru, mereka menyebut bahwa anak-anak itu tak dilaporkan kelahirannya.
Baca Juga
"Sebagian besar orang menggunakan penjelasan demografi untuk mengatakan bahwa aborsi atau pembunuhan bayi merupakan alasan mengapa (anak perempuan) tidak muncul dalam sensus dan mereka tidak ada," ujar rekan penulis dan profesor ilmu politik di Kansas University, John Kennedy.
Advertisement
"Namun kami menemukan penjelasan politik," imbuh Kennedy seperti dikutip dari CNN, Jumat (12/2/2016).
Ketika China mengimplementasikan kebijakan satu anak pada 1979, pemerintah mengharap bahwa pejabat perencanaan keluarga di daerah akan menerapkannya.
Namun melaksanakan kebijakan tersebut di pedesaan merupakan suatu hal yang sulit, di mana aparat desa biasanya memiliki kedekatan dengan anggota komunitas.
Kennedy yang melakukan penelitian di China dalam jangka waktu panjang, menemukan bahwa dalam banyak kasus, aparat desa menutup mata jika ada masyarakat yang melanggar kebijakan tersebut.
Aparat akan membiarkan mereka tidak melaporkannya untuk tetap menjaga hubungan baik dengan warga desa.
Kennedy mengatakan bahwa pemerintah China melonggarkan kebijakan satu anak di wilayah pedesaan pada 1980-an, di mana memperbolehkan warganya untuk memiliki anak kedua jika anak pertama merupakan perempuan.
Namun pada 1990-an, Kennedy menemukan bahwa longgarnya penegakan kebijakan membuat keluarga di daerah pedesaan untuk melanggarnya.
Seorang petani yang berbicara kepada Kennedy, memberinya petunjuk ketika ia memperkenalkan putri sulung dan anak laki-lakinya, namun tidak menyebutkan anak keduanya.
"Ia mengatakan kepada kami bahwa putri pertamanya terdaftar, tapi ketika anak kedua mereka yang berjenis kelamin perempuan lahir, mereka tidak mendaftarkannya dan menunggu untuk memiliki anak lainnya. Anak ketiga berjenis kelamin laki-laki. Mereka mendaftarkannya sebagai anak kedua," kata Kennedy.
Untuk menambahkan hasil observasinya, tim peneliti Kennedy mengumpulkan data dengan melakukan wawancara warga di pedesaan China.
Rekan penulis Shi Yaojiang, seorang profesor ekonomi di Shaanxi Normal University, menganalisa data populasi masyarakat China selama periode 25 tahun.
Penelitian itu menemukan, meski keluarga tidak mendaftarkan anak perempuan sesaat setelah lahir, namun biasanya mereka akan melaporkannya saat anak tersebut telah berusia 10 hingga 20 tahun.
Ketika peneliti membandingkan angka kelahiran anak pada 1990 dengan jumlah perempuan dan laki-laki China pada 2010, mereka menemukan penambahan empat juta orang. Dari data tersebut, ada sekitar satu juta perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Pada Oktober 2015, China menghapus kebijakan satu anak di tengah kekhawatiran ekonomi dan penuaan populasi.
Tiongkok merupakan negara yang dikenal dengan ketidakseimbangan gender. Para analis memprediksi sekitar 24 juta laki-laki China kesulitan untuk mencari istri--karena kurangnya jumlah perempuan.