Sukses

Kontak dengan Taiwan, Trump Bisa Ciptakan Perang Dingin di Asia

Langkah tersebut dinilai berpotensi memicu konfrontasi diplomatik dengan China.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump telah membuat dunia terkejut setelah ia berbicara dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.

Pembicaraan itu terjadi melalui telepon.

"Selama diskusi, keduanya membicarakan soal hubungan ekonomi, politik, dan keamanan yang erat antara Taiwan dan Amerika Serikat. Presiden terpilih Trump juga mengucapkan selamat pada Tsai atas terpilihnya beliau sebagai Presiden Taiwan awal tahun ini," kata tim transisi, seperti dikutip dari CNN.

Apa yang dilakukan Trump adalah pembicaraan pertama antara pemimpin AS dan Taiwan, yang terang-terangan diungkap kepada publik sejak 1979 -- ketika Washington DC meresmikan hubungan diplomatik dengan China.

Langkah tersebut dinilai berpotensi memicu konfrontasi diplomatik dengan China. Sebab, Beijing menganggap, Taiwan adalah salah satu provinsinya yang 'membangkang'.

Apalagi, pemimpin saat ini Tsai Ing-wen berasal dari Democratic Progressive Party (DPP) yang dikenal memperjuangkan kemerdekaan Taiwan dari China.

Pembicaraan telepon tersebut, yang kali pertama dilaporkan Financial Times, dianggap berisiko membuat hubungan antara AS dan China di ambang ketidakpastian, sebelum Trump mengucap sumpah pada 20 Januari 2017 mendatang.

Terkait hal itu, Tiongkok mengajukan protes diplomatik kepada Amerika Serikat. Atas peristiwa tersebut, China menuding Taiwan melakukan pergerakan kecil.

Perbincangan telepon antara Trump dengan Presiden Tsai berlangsung selama 10 menit. Ini merupakan sambungan telepon pertama yang dilakukan presiden terpilih AS sejak Presiden Jimmy Carter mengalihkan pengakuan diplomatik AS dari Taiwan ke China pada tahun 1979.

Sejak saat itu, AS mengakui bahwa Taiwan sebagai bagian dari kebijakan 'satu China'.

Meski lewat Twitter Trump mengaku presiden Taiwanlah yang menelpon dia duluan, nasi telah menjadi bubur.

Apapun, peristiwa itu membuat ketegangan antara China dan Taiwan meruncing. Menurut opini Zhang Boohui, Professor dari Political Science and Director of Centre for Asian Pacific Studies di Lingnan University Hong Kong, telepon yang dianggap tak penting bagi Trump itu justru petunjuk bagaimana miliarder nyentrik itu tak bisa mengatasi isu sensitif terkait diplomatik.

Tak hanya insiden Taiwan, Trump juga menelpon Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif yang memicu India--sebagai sekutu lama AS-- sedikit meradang.

"Kedua kasus itu menggambarkan kepada dunia betapa presiden terpilih AS itu tak memiliki batas atau tidak peduli dengan batas aturan tradisi diplomatik," katta Baohui seperti dilansir CNN, Minggu (4/12/2016).

"Insiden kasus keduanya mampu memicu Perang Dingin kedua yang mengkhawatirkan," lanjutnya.

Perang Dingin yang dimaksud adalah akan adanya aksi entah itu perang kata-kata atau kontak langsung di wilayah kawasan, terang Baohui.

Selat Taiwan hingga kini masih menjadi titik panas di Asia Timur.

Kembalinya Partai Progresif Demokratik ke pemerintahan, cukup membuat Tiongkok ketar-ketir. Bagi China, Taiwan adalah provinsi yang membangkang. Namun, partai itu secara tradisional mendukung kemerdekaan pulau itu. Jelas, dianggap menghidupkan kembali prospek ketidakstabilan di Selat Taiwan.

Dalam konteks ini, pemerintah Trump harus menghindari mengirimkan sinyal yang salah kepada pemerintah Tsai sebagai yang hanya akan memberanikan dirinya untuk mengejar kebijakan yang lebih revisionis, yang pada gilirannya akan meningkatkan prospek konflik militer langsung antara China dan Amerika Serikat.

Perang di Pasifik barat adalah hal terakhir yang Beijing dan Washington ingin melihat. Demi kepentingan Amerika Serikat untuk terus menahan kecenderungan revisionis Taiwan sekaligus menghalangi Beijing secara sepihak mengubah status quo dengan kekuatan.