Sukses

Jepang Kerahkan 'Jaring Raksasa' untuk Atasi Sampah Antariksa

Jutaan keping sampah antariksa berkumpul di dekat Bumi. Ini menimbulkan risiko bagi satelit, sekaligus mengundang maut.

Liputan6.com, Jakarta Banyak dari kita yang tak menyadari, ratusan ribu keping objek buatan manusia mengambang di atas sana. Sekitar Bumi disesaki dengan sampah antariksa -- dari bongkahan satelit atau roket mati yang menumpuk hingga sarung tangan astronot yang copot pada 1965.

Keberadaan sampah itu bukannya tanpa risiko. Pada Selasa 10 Februari 2009. Satelit komersial milik Amerika Serikat Iridium bertabrakan pesawat milik Rusia, Kosmos 2251 -- yang tak lagi berfungsi -- di ketinggian 800 kilometer di atas langit Siberia.

Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengungkapkan, akibat tabrakan tersebut, tercipta "awan" atau kepulan puing-puing yang pergerakannya bisa dilacak pada masa depan.

Sampah antariksa juga pernah jatuh menghujam Brasil. Seorang nelayan menemukan objek seukuran mobil mengapung. Ada logo Badan Antariksa Inggris atau United Kingdom Space Agency yang menempel di sana.

Tak hanya itu, pada September 2016, sejumlah benda misterius berjatuhan dari langit di atas Pulau Madura. Di laut, di darat, bahkan di dekat kandang sapi yang nyaris hancur karenanya. Dua kambing pun mati. Ternyata, itu adalah pecahan bagian roket Falcon 9 FT buatan Space X.

Untuk mengurangi risiko bahaya akibat sampah antariksa, Jepang meluncurkan pesawat kargo yang dilengkapi jaring selebar 700 meter yang akan dihunakan untuk mengenyahkan sejumlah besar puing-puing itu dari orbit Bumi.

Jaring yang berbuat dari helaian aluminium dan kawat baja didesain untuk memperlambat pergerakan sampah antariksa itu, dengan menariknya keluar dari orbit.

Ternyata, peralatan inovatif tersebut dibuat dengan bantuan perusahaan jaring ikan.

Diperkirakan ada 100 juta keping sampah antariksa di orbit Bumi, termasuk bagian satelit tua, segala peralatan buatan manusia, dan pecahan roket.

Kebanyakan dari objek tersebut bergerak dengan kecepatan tinggi di sekitar Bumi. Lajunya bahkan bisa mencapai 28.000 km/jam. Karena itu, sampah antariksa tersebut bisa memicu malapetaka jika sampai jatuh di kawasan padat penduduk.

Atau setidaknya, sampah antariksa juga bisa merusak jaringan telekomunikasi yang berada di orbit.

Ilustrasi sampah antariksa yang ada di sekitar orbit bumi (sumber: mirror.com)

 

Sejak Sputnik 1 diluncurkan Uni Soviet pada 1957, sampah-sampah antariksa terus terakumulasi.

Pesawat kargo otomatis yang dilengkapi jaring-- yang disebut Stork (bangau) atau Kounotori dalam bahasa Jepang -- akan terikat dengan Stasiun Angkasa Luar Internasional (ISS).

Pesawat antariksa itu diberangkatkan dari Tanegashima Space Center di Pasifik Utara.

Para ahli mengatakan, jaring yang dilumasi dan memiliki kekuatan elektro-dinamis itu akan menghasilkan energi yang cukup untuk mengubah orbit sampah, mendorongnya agar terbakar di atmosfer.

Perusahaan pembuat jaring ikan Jepang yang berusia 106 tahun, Nitto Seimo Co, berkolaborasi dengan Badan Antariksa Jepang (JAXA) untuk mengembangkan bahan jaring. 

Upaya ini adalah bagian inisiatif internasional yang dirancang untuk membuat angkasa luar lebih aman bagi astronot dengan menyingkirkan sampah antariksa.

Diharapkan, cara itu juga akan memberikan perlindungan yang lebih baik untuk stasiun antariksa, juga satelit cuaca dan komunikasi yang nilainya miliaran dolar.

Para ahli mengatakan ada keuntungan finansial besar jika upaya itu berhasil -- dengan meminimalkan risiko. Namun, sejumlah ilmuwan memperingatkan, skema Jepang hanya akan bekerja untuk potongan sampah yang besar.