Liputan6.com, Ankara - Penyelidikan pembunuhan Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrey Karlov, difokuskan pada kemungkinan hubungan antara sang pelaku dengan jaringan Fethullah Gulen, seorang ulama yang dituduh mendalangi pemberontakan di Turki pada Juli lalu.
Sebelumnya, otoritas Turki berhasil mengidentifikasi pelaku penembakan, Mevlut Mert Altintas. Pria itu berusia 22 tahun dan berprofesi sebagai polisi anti huru-hara di Ankara. Demikian seperti dilansir Al Jazeera, Selasa (20/12/2016).
Setelah menjalankan aksinya, Altintas diketahui sempat meneriakkan kata-kata dalam bahasa Turki, "Jangan lupakan, Aleppo! Jangan lupakan, Suriah!"
Advertisement
"Hanya kematian yang akan membawaku keluar dari sini. Siapa pun yang berperan dalam penindasan (di Suriah) akan mati satu per satu," ujar pemuda itu.
Dubes Karlov ditembak mati ketika tengah memberikan sambutan dalam pembukaan pameran foto bertajuk "Rusia dari Pandangan Orang-Orang Turki" di Gedung Cagdas Senat Merkezi, Ankara, pada Senin 19 Desember 2016 waktu setempat.
Kani Torun, seorang anggota parlemen Turki dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pelaku penembakan adalah perwira aktif yang sah. Ia tidak memiliki bukti menjalin kontak dengan kelompok-kelompok yang terlibat dalam pertempuran di Suriah.
"Menurut temuan awal, dia bukanlah orang yang telah berkunjung ke Suriah dan sangat tidak mungkin dia telah menjalin kontak dengan kelompok-kelompok di Suriah," kata Torun yang juga menjabat sebagai wakil ketua komite parlemen untuk urusan luar negeri.
"Dengan demikian, satu-satunya kemungkinan pelaku serangan ini adalah FETO. Mereka telah sangat aktif dalam kepolisian. Meski kelompok ini telah banyak disingkirkan dari kepolisian, kami yakin mereka bisa melakukan serangan bom bunuh diri seperti ini," ujarnya.
FETO adalah julukan Turki bagi organisasi Gulen yang mereka klaim sebagai teroris. Menurut pemerintahan Recep Tayyip Erdogan, gerakan Gulen telah menjalankan "sebuah negara paralel" dalam birokrasi sipil dan militer dan memiliki agenda tersendiri.
Gulen sendiri telah hidup di pengasingannya di Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), sejak 1999.
Sejak kudeta yang berujung kegagalan meletus pada 15 Juli lalu, Turki telah meminta AS untuk mengekstradisi sang ulama. Namun, hal tersebut urung dilakukan pemerintahan Barack Obama.
Setidaknya 290 orang tewas dalam kudeta tersebut. Sementara itu puluhan ribu pegawai negeri sipil dan militer dipecat atau ditahan terkait kudeta tersebut.